Balada
Partai-Partai Islam
M Alfan Alfian ; Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas
Nasional, Jakarta
|
SINDO,
25 Oktober 2012
Mengapa prospek partai-partai Islam
diopinikan suram belakangan ini? Tentu karena adanya berbagai hasil jajak
pendapat yang memberi sinyal bahwa kalau tidak ada perubahan mendasar,
partai-partai Islam mandek kalau tidak malah turun popularitas dan
elektabilitasnya.
Berbagai penjelasan telah dikemukakan, baik oleh penyaji jajak pendapat maupun para pengamat politik. Saya hanya menambah perspektif untuk memicu diskusi lebih lanjut. Yang dipakai sebagai ciri pembeda, bagi masyarakat awam, barangkali lebih pada simbol-simbol yang dipakai. Ketika penegasan ideologis tidak lagi dipandang penting, penegasan simbolik seolah menjadi yang utama, termasuk ikonografi tokohtokohnya. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengedepankan tanda gambar Kakbah, kiblat kaum muslim sedunia. Partai Bulan Bintang (PBB) bergambar bulan sabit, mirip bendera Republik Turki.Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sudah dimodifikasi simbolnya sedemikian rupa. Simbol Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mirip lambang Nahdlatul Ulama (NU) dan simbol Partai Amanat Nasional (PAN) mirip lambang Muhammadiyah. Dari kalkulasi tokoh-tokohnya, sesungguhnya, partaipartai Islam tidak terlalu mengalami krisis tokoh.Tapi, barangkali mereka kurang aksentuatif dalam menampilkan diri sebagai “pembela umat Islam”.Ketua Umum PPP Suryadharma Ali disibukkan sebagai menteri agama yang tidak otomatis representasi “pembela umat”, melainkan representasi pemerintah. Demikian juga Ketua Umum PKB dan PAN yang juga sibuk sebagai menteri. Muhaimin Iskandar adalah menteri tenaga kerja dan transmigrasi, Hatta Rajasa menko perekonomian. Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaq terkesan kurang banyak tampil keluar. Yusril Ihza Mahandra semakin dikenal sebagai praktisi hukum ketimbang petinggi PBB. M Amien Rais dari PAN,sekarang ke mana saja? Tokoh sangat penting bagi partai-partai simbolik.Tokoh sering dipandang sebagai model ideal atau uswatun hasanah partai-partai Islam. Tidaklah ada ceritanya kebesaran partai Islam Masyumi tempo dulu tanpa Mohammad Natsir, Kasman Singodimedjo,Mohamad Roem, dan yang lain. Belajar dari Masyumi tempo dulu, ia punya kekayaan tokoh yang satu sama lain memiliki kekhasan dan mampu tampil sebagai benar-benar representasi umat.Partai NU masa lalu juga demikian. Kiai-kiai politiknya beragam dan mewarnai. Bukan semata-mata KH Abdul Wahab Chasbullah, tetapi juga KH Saifuddin Zuhri dan sebagainya. Inklusif Para politikus Islam di Indonesia biasanya menolak pengategorian secara diametral, misalnya nasionalisme versus Islamisme. Mereka berdalih pendahulunya juga berjuang untuk kemerdekaan bangsa dan perjuangan politik mereka pun ditempuh dengan caracara demokratis dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.Pengategorian yang dipandang lebih tepat adalah ke dalam himpunan partaipartai catch-all versus segmented, yang mewadahi semua versus yang tersegmentasi. Namun, kategori yang terakhir itu pun bisa ditolak. Misalnya, ketika partai-partai Islam membuka kesempatan bagi nonmuslim untuk dapat berkiprah, mereka pun sudah mengarah ke catch-all. Di sinilah pentingnya operasionalisasi paradigma inklusif. Inklusif atau tidak eksklusif bisa dimaknai beyond the symbols,keluar dari makna-makna politik yang mempersempit diri justru karena simbol-simbolnya. Selanjutnya, memperbaiki pendekatan komunikasinya dengan umat dan seluruh spektrum politik Nusantara ke dalam format komunikasi politik yang empatik atau merakyat. Ini penting karena simbol, tokoh, aktivitas, dan bahkan program partai-partai Islam masih terasa menyimpan jarak dengan rakyat kebanyakan. Label Islam justru sering membuat banyak pihak merasa rikuh dan bahkan salah paham. Partai-partai Islam perlu belajar dari dakwah politik Walisongo, sembilan wali penyebar agama Islam di tanah Jawa yang, sebagaimana Abdurrahman Wahid (Gus Dur) rangkum ke dalam pendekatan pribumisasi Islam. Dari sisi ini, mestinya partai-partai Islam kita itu partai-partai Nusantara yang Islam, bukan Islamnya dulu baru Nusantaranya. Jadi partai-partai Islam kita tetap Indonesiawi. Kesenjangan jarak antara simbol dan tokoh itu perlu diatasi secara cerdas.Saya pernah mendengarkan keluhan tokoh sebuah partai Islam yang menyatakan bahwa partainya terpinggirkan karena merebaknya arus politik pragmatisme- transaksional. Bahkan, sampailah ia pada semacam kesimpulan bahwa yang mengalahkan partai-partai Islam adalah bukan sentimen nasionalisme atau yang bersifat ideologis, tetapi karena ketidakmampuan mereka dalam memobilisasi kapital politik atau dana partai yang besar. Tapi sesimpel itukah analisisnya? Saya kira tidak.Uang bukan segalanya dalam politik. Fakta di lapangan memang, masyarakat pun banyak yang sudah terkondisikan bermental pragmatis. Tapi justru di situlah partai-partai Islam harus tampil beda.Pendekatan dakwahnya harus lebih kreatif sehingga umat Islam percaya dan mendukung. Saya sepakat apabila partai-partai berlabel Islam tidak turut larut ke dalam pendekatan pragmatisme- transaksional yang dilakukan di luar batas-batas kewajaran sehingga merusak akhlak politik semua. Partaipartai Islam harus menang dengan cara-cara yang mengedepankan keluhuran akhlak, bukan sebaliknya. Ciri Pembeda Ketika partai-partai catchall juga hampir semuanya punya sayap-sayap Islam, partai-partai Islam memiliki pesaing ganda dalam berebut pendukung.Pertama bersaing dengan sesama partai Islam, kedua dengan partai-partai catch-all yang semakin tampak “Islami”.Apa kemudian yang membedakan? Kreativitas dan ketepatan dalam mendekati pemilih muslim. Karakter pemilih muslim di Indonesia sesungguhnya sudah bisa dipelajari karena pengalaman kita berpemilu sudah sejak 1955. Stabilisasi politik model Orde Baru yang membuat fusi politik terjadi dan membaiknya hubungan Islam dan negara pada masa Orde Baru pada 1990-an juga turut memengaruhi karakter pemilih muslim masa kini. Tidak adanya ketegangan antara Islam dan negara justru membuat tantangan partaipartai Islam tidak ringan karenaseolah sudah tidak ada tantangan lagi. Partai-partai Islam juga semakin susah dibedakan dari yang lain karena pilihan-pilihan politiknya yang pragmatis di level pemerintahan. Masuknya mereka dalam koalisi pemerintahan mengandung konsekuensi bahwa pilihan-pilihan sikap politik yang kritis tertahan. Risikonya, apatisme publik atau umat terhadap mereka pun meningkat. Di level kepengurusan, demokrasi internal juga dipertanyakan. Tidak hanya itu,arus pragmatisme-transaksional juga sudah bukan rahasia umum. Embusannya masih sangat terasa.Di level grass root proses pengakarannya juga belum optimal. Singkat kata, “tiga wajah partai”, yakni di pemerintahan, kepengurusan,dan akar rumput, perlu diperbaiki sehingga prospeknya ke depan tidak menjadi semakin suram. Wallahu a’lam. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar