Generasi
Transformasional
Kurnia JR ; Sastrawan
|
KOMPAS,
31 Oktober 2012
Hal menarik dari Joko Widodo dan Basuki
Tjahaja Purnama dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang
baru usai adalah ketegasan menyinggung penyakit birokrasi, khususnya dalam
hal pelayanan sipil dan kebusukan proses perizinan.
Sementara kontestan lain menyodorkan janji
kesejahteraan, kiat menyiasati masalah banjir dan kemacetan, juga pendidikan
dan layanan kesehatan gratis tanpa kesungguhan menyinggung kelemahan utama
birokrasi, Joko Widodo (Jokowi) terang-terangan mengungkapkan apa yang dia
sebut negosiasi transaksional.
Contohnya pembuatan KTP dan proses perizinan,
yang mestinya lancar tanpa pungutan liar karena prosedurnya jelas, tetap
mengisap darah rakyat dengan cara mempersulit. Birokrat besar mencaplok
mangsa besar, birokrat kecil memalak rakyat kecil.
Borok birokrasi ini pula yang melukai hati
kalangan minoritas pada masyarakat kita yang heterogen. Etnis atau komunitas
tertentu mengalami perlakuan tidak adil ketika berurusan dengan instansi
pemerintahan, tanpa bisa melawan atau memprotes, karena seakan-akan
diskriminasi aparat disokong sistem dalam piramida pemerintahan.
Pada praktiknya, jajaran birokrasi
menerapkan anekdot: ”kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah?” Kepala
daerah dan seluruh jajaran aparatnya hadir bukan sebagai fasilitator warga
negara, melainkan sebagai para tuan besar peminta upeti.
Puluhan tahun di bawah sistem ”birokrasi
pungli dan palak” yang dikukuhkan rezim Orde Baru dengan memberi gaji kecil
dan celah untuk mencari duit tambahan dari aneka proyek dan ”jasa pelayanan
publik”, bercokol di benak rakyat pemakluman bahwa pungli atau pemalakan
aparat terhadap diri mereka merupakan hal yang wajar. Menjadi semacam sebagai
balas jasa bagi pelayanan perizinan, pembuatan KTP, dan lain-lain.
Sudah sepatutnya tumbuh tunas-tunas baru
dalam masyarakat kita yang menumpas semua takhayul, yang menganggap wajar
pemalakan aparat birokrasi terhadap warga masyarakat. Kehadiran pasangan
plural Jokowi dan Basuki laik dipandang sebagai simbol mewujudnya demokrasi
yang sejati dalam kemajemukan publik Indonesia.
Kedewasaan kita menerima para eksponen
pemimpin dari komunitas mana pun, termasuk etnis minoritas, merupakan
keniscayaan buah reformasi 1998. Terlalu picik kalau kita kukuh berpegang
pada kriteria sempit pemimpin daerah dan pemimpin nasional tanpa menimbang
aspek kompetensi dan komitmen moral serta kematangan kepribadian figur-figur
bersangkutan.
Para politikus masih berpikir rakyat
gampang dibujuk untuk memilih jago mereka dalam pemilihan kepala daerah atau
kepala negara dengan iming-iming kesejahteraan dan kemakmuran. Mereka belum
insaf bahwa yang terutama dibutuhkan pada sebuah negara adalah fasilitator
publik. Sesungguhnya, untuk urusan perut dan kebutuhan dasar lainnya, rakyat
bisa mencari sendiri. Bahkan, di ”negeri autopilot”, rakyat jelata tetap bisa
mencari makan, sementara pemerintah mungkin tidak tahu bagaimana mereka mengais
rezeki dan bertahan hidup di tengah situasi dan kondisi ekstrem.
Kebobrokan Birokrasi
Generasi baru dalam kepemimpinan nasional
dan daerah masa kini sepatutnya bermakna dan berkonteks transformasional.
Setelah berlalu hampir 15 tahun sejak rezim tua tumbang, dan negara masih
dipimpin oleh eksponen-eksponen dari ”generasi masa lalu”, harus
diproklamasikan kebangkitan generasi baru yang mengembuskan napas segar bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Telah terbukti, pemerintahan yang dikelola
oleh generasi yang masih memiliki hubungan dengan rezim Orde Baru gagal
mengisi era reformasi guna menghabisi korupsi dan aneka kebobrokan birokrasi.
Situasi dan kondisinya bahkan makin parah.
Ada peralihan tongkat estafet
praktik korupsi dari generasi tua ke angkatan muda di berbagai lembaga di
semua jenjang. Sejak awal telah terbaca bahwa elektabilitas Jokowi-Basuki,
sebagai contoh kasus, disokong oleh harapan akan perbaikan birokrasi. Sebab,
aspek itulah yang diperjuangkan Jokowi semasa memimpin Solo dan dikampanyekan
untuk Jakarta.
Di negara modern, rakyat tak butuh centeng
atau tukang pukul pribadi, seolah-olah hidup di terminal atau pasar yang
dikuasai preman dan jagoan jalanan. Gaya pemerintahan Orde Baru yang
menyuburkan premanisme dalam politik dan bisnis telah menciptakan momok yang
menakutkan orang-orang yang tak mampu membayar pelindung. Anasir- anasir yang
merajalela di luar hukum tak mendatangkan faedah justru melembagakan
ketakutan. Premanisme demikian merasuki segenap instansi pemerintah, nyaris
sepanjang usia republik ini.
Orang Jawa mengenal nubuat Raden Ngabehi
Ronggowarsito mengenai apa yang disebut satria boyong pambukaning gapura,
pemimpin yang bakal membuka gerbang kejayaan bangsa. Satria bisa bermakna
kiasan, yakni personifikasi dari kondisi ideal, atau generasi yang
diidealisasi di seberang dekadensi dan keputusasaan massal.
Dengan demikian, visi pujangga abad XIX itu
dapat ditafsirkan sebagai harapan besar bakal datangnya generasi
transformasional. Sebuah generasi yang berkomitmen pada cita-cita reformasi,
takzim pada pentingnya proses ketimbang hasil instan, memiliki kesadaran
tinggi akan harga diri dan aktualisasi diri.
Generasi ini konsisten mengambil pelajaran
dari banyak kekeliruan para pendahulunya. Mereka konsekuen mentransformasikan
inspirasi dan gagasan mengenai pemerintahan bersih dengan tekad suci,
sehingga mampu menumbangkan berhala-berhala yang dirasuki spirit jahanam
penyebar kesesatan, yang membuat kaum birokrat menjadi korup. ●
|
thanks atas informasinya gan :)
BalasHapus