Penilaian
Kinerja Guru, Siapa Takut?
Tri Marhaeni PA ; Guru Besar Antropologi Jurusan
Sosiologi dan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Unnes
|
SUARA
MERDEKA, 30 Oktober 2012
MEMBACA berita di Suara
Merdeka, edisi Rabu, 24 Oktober 2012 yang menjadi headline halaman Edukasia,
“Penilaian Kinerja Guru Diperketat”, saya merasa tergelitik. Judul berita itu
seolah-olah “menakut-nakuti” para guru, padahal sebenarnya tidaklah seseram
yang dibayangkan.
Tentulah yang
dibutuhkan oleh guru adalah informasi yang membumi, menyejukkan, dan
memotivasi, bukan “menakut-nakuti”. Sebenarnya jika guru sudah membaca
Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi (Permenpan & RB) Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional
Guru dan Angka Kreditnya, tak seharusnyalah muncul kerisauan. Persoalannya,
banyak guru belum membaca peraturan tersebut, sementara informasi yang sering
tersampaikan seolah-olah “seram dan menakutkan” agar guru “mau membaca dan
melaksanakan”.
Mengapa Takut?
Dalam ranah
apa pun, penilaian kinerja merupakan hal wajar, sebagai ukuran untuk menilai
kemampuan seseorang dalam bekerja. Demikian pula penilaian kinerja guru,
yakni penilaian dari tiap butir kegiatan tugas utama guru dalam penguasaan
pengetahuan, penerapan pengetahuan, dan keterampilan.
Penilaian
Kinerja Guru (PKG) bukan untuk menyulitkan melainkan sebaliknya, untuk
mewujudkan guru yang profesional. Lebih jauh lagi penilaian itu justru
merupakan penghargaan atas profesionalitas guru sebagai penghargaan atas
prestasi kerja. Penilaian itu juga dipakai sebagai bahan pengembangan karier
dan promosi untuk kenaikan pangkat dan jabatan.
Angka kredit
untuk kenaikan pangkat diperoleh dari pendidikan, PKG, Pengembangan
Keprofesian Berkelanjutan (PKB), dan unsur-unsur penunjang. Manakala guru
sudah melakukan PKB dengan baik, benar, dan konsisten, saya yakin
penilaian kinerjanya juga baik. Persoalan mendasar bukanlah guru tidak bisa
melakukan pengembangan keprofesian berkelanjutan melainkan pada konsistensi
mendokumentasikan kegiatan tersebut. Padahal penilaian kinerja didasarkan
pada dokumentasi dan instrumen yang banyak didukung oleh dokumen.
Andai guru
sudah terbiasa menuliskan tiap kegiatan pembelajaran, saya yakin PKG bukanlah
“hantu yang menakutkan” melainkan akan menjadi “sesuatu yang diharapkan”
karena justru dengan PKG akan terlihat perbedaan guru yang profesional dan
yang tidak profesional. Maka janganlah berkutat pada ketakutan-ketakutan yang
tidak perlu tetapi mulailah “menuliskan” kegiatan pembelajaran sebagai bagian
dari pengembangan profesi.
Jenis PKB
Dari
pengalaman saya berbagi pengetahuan dengan guru di berbagai pelosok Tanah Air
lewat pelatihan-pelatihan, ternyata masih banyak yang belum paham: apa itu
PKB? Apa saja jenisnya? Bagaimana cara membuatnya?
Ketidakpahaman
ini, saya yakin bukan karena ketidakmampuan guru melainkan informasi, atau
lebih tepatnya sosialisasi tentang PKB memang masih belum memadai. Andaikata
sudah ada sosialisasi pun, terkadang dilakukan dengan penuh “kesangaran”,
seolah-olah PKB adalah “makhluk” yang menakutkan.
Pengembangan
Keprofesian Berkelanjutan meliputi tiga hal yakni, pengembangan diri,
publikasi ilmiah, dan karya inovatif. Masing-masing unsur tersebut secara
rinci dan lengkap sudah dijelaskan dalam Buku 4 dan Buku 5 Lampiran Permenpan
& RB Nomor 16 Tahun 2009.
Apa definisi
masing-masing unsur tersebut, apa saja jenisnya, besaran angka kredit, dan
sistematika atau kerangka penyusunannya, semua sudah ada. Guru tinggal
memilih dan mempelajari, terutama membaca dulu. Tidak harus Penelitian
Tindakan Kelas, bisa jenis publikasi ilmiah atau karya inovatif yang ada.
Tentu apa yang dilakukan itu kemudian ditulis dan didokumentasikan.
Peran LPTK
Dari kenyataan
itu, alangkah lebih baik andai calon guru sudah mendapat bekal memadai tentang
peraturan-peraturan yang terkait dengan peningkatan keprofesian. Kalau sejak
masih menjadi mahasiswa calon guru sudah terbiasa dengan berbagai hal terkait
dengan pengembangan profesi, termasuk Permenpan & RB Nomor 16 Tahun 2009,
saya yakin ketika menjadi guru mereka menjadi terbiasa. Ada pepatah kuno yang
bagi saya tetap aktual, “alah bisa karena biasa”.
Karenanya,
peran institusi penghasil guru, yakni Lembaga Pendidik dan Tenaga
Kependidikan (LPTK), menjadi sangat penting dan strategis dalam membantu
calon guru untuk menjadi profesional, tidak saja dalam ilmu pengetahuan
tetapi juga terkait dengan beberapa peraturan yang harus dihadapi ketika
mereka menjadi guru. Pengajar di LPTK harus meng-up date pengetahuan tentang
peraturan-peraturan yang terkait dengan guru, menjadikannya sebagai bagian
dari mata kuliah proses belajar mengajar.
Dengan
demikian LPTK dituntut untuk selalu meng-update materi terkait pengembangan
keprofesian guru, agar calon guru yang dihasilkan benar-benar mempunyai ilmu
pengetahuan dan bekal keprofesian memadai. Alangkah baiknya apabila ada mata
kuliah “keprofesian” di tiap jurusan di LPTK. Maka mari kita melakukan
sesuatu yang besar dimulai dari hal kecil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar