Sabtu, 27 Oktober 2012

Sumpah Pemuda Masa Kini


Sumpah Pemuda Masa Kini
Novriantoni Kahar ; Direktur Yayasan Denny J.A.
KORAN TEMPO, 27 Oktober 2012



Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 adalah momentum yang tak terhentikan dari tren kultural dan politik kalangan muda progresif Nusantara ke arah Indonesia merdeka. Dilihat dari masa kini, idenya tampak sederhana saja: satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. Namun, sebagai sebuah peristiwa bersejarah, Sumpah Pemuda merupakan refleksi dari munculnya pendirian penuh kesadaran di kalangan pemuda Nusantara bahwa mereka pertama-tama adalah orang Indonesia. Menurut kitab A History of Modern Indonesia, atribut-atribut kesukuan dan kultural di masa itu-pemuda Minang, Batak, Jawa, Kristen, muslim, atau apa pun yang telah mereka sandang sejak lahir-senantiasa menempati posisi kedua (Ricklefs, 2001: 233). 
Signifikansi Sumpah Pemuda lebih jelas kalau kita melihat gagalnya berbagai upaya mengukuhkan keindonesiaan sebelum itu. Dalam puisi M. Yamin, Indonesia, Tumpah Darahku (1928), kebimbangan akan embrio Indonesia tampak jelas: "tanahku bercerai seberang-menyeberang". Slogan "bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh" belum lagi kukuh. Karena itu, perjalanan menuju "semuanya sedarah-sebangsa, bertanah air di Indonesia" tidaklah mudah. Segenap kekuatan yang direkabayangkan akan bersifat integratif harus ditemukan dan direkatkan. Pada 1928 itu, rumusan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa merupakan modal hebat untuk bernegara.
Sumpah Pemuda juga merupakan terobosan penting pemikiran kalangan muda. Sebelum ia tercetus, aliansi-aliansi pemuda masih bicara soal bangsa-bangsa dan tanah air nan terpisah: negara Bali, Jawa, Sumatera, dan lainnya. Dalam buku lain dengan judul yang sama tentang Indonesia, A History of Modern Indonesia, Sumpah Pemuda diklaim telah bertuah membuat kata "Indonesia" untuk pertama kalinya dipakai sebagai penyebut kesatuan bangsa. Memang sebelumnya kata itu telah akrab di telinga para pelajar Indonesia di Belanda (Vickers, 2005: 79), tapi Sumpah Pemuda memanifestasikan kerinduan akan tegaknya suatu bangsa.
Artinya, sejak detik-detik Sumpah Pemuda, Indonesia telah mulai membangsa untuk kemudian menegara pada 1945. Momentum-momentum sejarah Indonesia setelah itu ditandai dengan berbagai upaya yang tak selalu mudah untuk mencari sintesis tentang keindonesiaan. 
Kontekstualisasi Sumpah Pemuda
Berdasarkan bacaan saya terhadap sejarah Sumpah Pemuda, semangat paling dominan yang hendak diusung adalah upaya untuk mencari sintesis-sintesis keindonesiaan yang tidak berkesudahan. Indonesia yang dibayangkan para pendiri bangsa adalah suatu kesatuan yang memungkinkannya untuk menaungi segenap tumpah darah Indonesia. Demi itu, impian akan persatuan terus-menerus dikukuhkan oleh spirit kesetaraan dan anti-peminggiran terhadap segenap potensi anak bangsa. Dilihat dari beragamnya pemuda yang berikrar pada masa itu, kita menangkap betapa kuatnya semangat kesetaraan dan anti-diskriminasi di kalangan anak bangsa.
Setelah 84 tahun diikrarkannya Sumpah Pemuda dan 68 tahun diteriakkannya Indonesia merdeka, komitmen berbangsa yang tak dibangun berdasarkan ide-ide yang sektarian telah mulai menampakkan hasilnya. Beberapa indikator menunjukkan semakin matangnya kita berbangsa dan bernegara. Isu etnik dan agama, yang berpotensi membelah anak bangsa, sedikit-banyak tak lagi bertuah. Dilihat dari keragaman etnik Indonesia yang tiada tandingnya di dunia, terbukanya kesempatan yang setara bagi semua anak bangsa untuk berkarya adalah anugerah yang luar biasa. Tak selalu ampuhnya gagasan-gagasan yang bersifat meminggirkan kesamaan kesempatan bagi segenap warga negara adalah berkah.
Namun bukan tidak tersisa pekerjaan rumah. Reformasi dan demokratisasi telah membuka lebarnya kesempatan mobilisasi massa berdasarkan sentimen-sentimen primordial dan ide-ide yang sektarian. Di banyak tempat di Indonesia, kita masih menyaksikan berbagai kebijakan dan produk perundang-undangan yang bersifat meminggirkan, bukan merangkul semua. Sebagian anak bangsa, sekalipun tak sah dianggap sebagai warga negara kelas dua, tetap mendapat berbagai pengabaian hak oleh negara. Sebagian tak hanya ditangkal untuk menyatakan keyakinan mereka sesungguhnya, tapi bahkan dipaksa untuk menganut apa yang tidak datang dari sanubari mereka yang sejatinya.
Berbagai bentuk pengabaian dan diskriminasi-baik berbasis etnik, agama, gender, ataupun orientasi seksual-masih dialami sebagian warga negara Indonesia. Para buruh migran Indonesia di mancanegara banyak yang tak mendapat pembelaan maksimal dari negara untuk merebut hak-hak mereka yang selalu dibanggakan sebagai "pahlawan devisa". Kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak sensitif dan adil gender juga masih meminggirkan potensi separuh dari warga negara. Di era reformasi ini, mereka yang berlainan akidah dari arus utama tak hanya mengalami restriksi dan intimidasi, tapi juga tidak mendapat pembelaan dari negara. Mereka yang berorientasi seksual berbeda, tak hanya mengalami berbagai stigmatisasi dan diskriminasi, tapi juga tak kunjung coba dipahami negara. 
Survei-survei sosial terbaru bahkan mengindikasikan bahwa kalangan muda Indonesia juga terjebak dalam pola pikir sempit dalam menyikapi keragaman anak bangsa. Padahal Indonesia adalah taman sari dan pelangi yang indah dalam keragaman bunga dan warnanya. Indonesia yang dikonsepsikan para pendiri bangsa bukanlah Indonesia yang memeluk erat-erat ortodoksi, melainkan merupakan himpunan heterodoksi yang menyimpan potensi kreativitas yang tak terduga. Diskriminasi terhadap berbagai potensi kreativitas anak bangsa merupakan bidah yang tak seharusnya terjadi di Indonesia. Indonesia adalah negara yang satu untuk semua anak bangsa.
Karena itu, sumpah pemuda masa kini seyogianya adalah sumpah satu Indonesia: Indonesia tanpa diskriminasi. Pemuda Indonesia, yang kini jauh lebih terdidik dari para pendiri bangsa, idealnya adalah kaum muda yang tetap berpikiran terbuka, sanggup menyambut dunia dengan keragamannya, dan mampu mengisinya dengan kreativitas yang tidak terkira-kira. Jika hal ini yang menjadi sumpah masa kini pemuda Indonesia, kita tak hanya dapat mewujudkan Indonesia yang satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa, tapi juga Indonesia yang satu agama: yakni keyakinan akan sanggupnya kita menyambut dan mengisi dunia dengan tangan dan pikiran terbuka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar