Sumpah Pemuda
Masa Kini
Novriantoni Kahar ; Direktur Yayasan Denny
J.A.
|
KORAN
TEMPO, 27 Oktober 2012
Sumpah Pemuda
28 Oktober 1928 adalah momentum yang tak terhentikan dari tren kultural dan
politik kalangan muda progresif Nusantara ke arah Indonesia merdeka. Dilihat
dari masa kini, idenya tampak sederhana saja: satu nusa, satu bangsa, dan
satu bahasa. Namun, sebagai sebuah peristiwa bersejarah, Sumpah Pemuda
merupakan refleksi dari munculnya pendirian penuh kesadaran di kalangan
pemuda Nusantara bahwa mereka pertama-tama adalah orang Indonesia. Menurut
kitab A History of Modern Indonesia, atribut-atribut kesukuan dan kultural di
masa itu-pemuda Minang, Batak, Jawa, Kristen, muslim, atau apa pun yang telah
mereka sandang sejak lahir-senantiasa menempati posisi kedua (Ricklefs, 2001:
233).
Signifikansi
Sumpah Pemuda lebih jelas kalau kita melihat gagalnya berbagai upaya
mengukuhkan keindonesiaan sebelum itu. Dalam puisi M. Yamin, Indonesia,
Tumpah Darahku (1928), kebimbangan akan embrio Indonesia tampak jelas:
"tanahku bercerai seberang-menyeberang". Slogan "bersatu kita
teguh, bercerai kita runtuh" belum lagi kukuh. Karena itu, perjalanan
menuju "semuanya sedarah-sebangsa, bertanah air di Indonesia"
tidaklah mudah. Segenap kekuatan yang direkabayangkan akan bersifat
integratif harus ditemukan dan direkatkan. Pada 1928 itu, rumusan satu tanah
air, satu bangsa, dan satu bahasa merupakan modal hebat untuk bernegara.
Sumpah Pemuda
juga merupakan terobosan penting pemikiran kalangan muda. Sebelum ia
tercetus, aliansi-aliansi pemuda masih bicara soal bangsa-bangsa dan tanah
air nan terpisah: negara Bali, Jawa, Sumatera, dan lainnya. Dalam buku lain
dengan judul yang sama tentang Indonesia, A History of Modern Indonesia,
Sumpah Pemuda diklaim telah bertuah membuat kata "Indonesia" untuk
pertama kalinya dipakai sebagai penyebut kesatuan bangsa. Memang sebelumnya
kata itu telah akrab di telinga para pelajar Indonesia di Belanda (Vickers,
2005: 79), tapi Sumpah Pemuda memanifestasikan kerinduan akan tegaknya suatu
bangsa.
Artinya, sejak
detik-detik Sumpah Pemuda, Indonesia telah mulai membangsa untuk kemudian
menegara pada 1945. Momentum-momentum sejarah Indonesia setelah itu ditandai
dengan berbagai upaya yang tak selalu mudah untuk mencari sintesis tentang
keindonesiaan.
Kontekstualisasi
Sumpah Pemuda
Berdasarkan
bacaan saya terhadap sejarah Sumpah Pemuda, semangat paling dominan yang
hendak diusung adalah upaya untuk mencari sintesis-sintesis keindonesiaan
yang tidak berkesudahan. Indonesia yang dibayangkan para pendiri bangsa
adalah suatu kesatuan yang memungkinkannya untuk menaungi segenap tumpah
darah Indonesia. Demi itu, impian akan persatuan terus-menerus dikukuhkan
oleh spirit kesetaraan dan anti-peminggiran terhadap segenap potensi anak
bangsa. Dilihat dari beragamnya pemuda yang berikrar pada masa itu, kita
menangkap betapa kuatnya semangat kesetaraan dan anti-diskriminasi di
kalangan anak bangsa.
Setelah 84
tahun diikrarkannya Sumpah Pemuda dan 68 tahun diteriakkannya Indonesia
merdeka, komitmen berbangsa yang tak dibangun berdasarkan ide-ide yang
sektarian telah mulai menampakkan hasilnya. Beberapa indikator menunjukkan
semakin matangnya kita berbangsa dan bernegara. Isu etnik dan agama, yang
berpotensi membelah anak bangsa, sedikit-banyak tak lagi bertuah. Dilihat
dari keragaman etnik Indonesia yang tiada tandingnya di dunia, terbukanya
kesempatan yang setara bagi semua anak bangsa untuk berkarya adalah anugerah
yang luar biasa. Tak selalu ampuhnya gagasan-gagasan yang bersifat
meminggirkan kesamaan kesempatan bagi segenap warga negara adalah berkah.
Namun bukan
tidak tersisa pekerjaan rumah. Reformasi dan demokratisasi telah membuka
lebarnya kesempatan mobilisasi massa berdasarkan sentimen-sentimen primordial
dan ide-ide yang sektarian. Di banyak tempat di Indonesia, kita masih
menyaksikan berbagai kebijakan dan produk perundang-undangan yang bersifat
meminggirkan, bukan merangkul semua. Sebagian anak bangsa, sekalipun tak sah
dianggap sebagai warga negara kelas dua, tetap mendapat berbagai pengabaian
hak oleh negara. Sebagian tak hanya ditangkal untuk menyatakan keyakinan
mereka sesungguhnya, tapi bahkan dipaksa untuk menganut apa yang tidak datang
dari sanubari mereka yang sejatinya.
Berbagai
bentuk pengabaian dan diskriminasi-baik berbasis etnik, agama, gender,
ataupun orientasi seksual-masih dialami sebagian warga negara Indonesia. Para
buruh migran Indonesia di mancanegara banyak yang tak mendapat pembelaan
maksimal dari negara untuk merebut hak-hak mereka yang selalu dibanggakan
sebagai "pahlawan devisa". Kebijakan-kebijakan pemerintah yang
tidak sensitif dan adil gender juga masih meminggirkan potensi separuh dari
warga negara. Di era reformasi ini, mereka yang berlainan akidah dari arus
utama tak hanya mengalami restriksi dan intimidasi, tapi juga tidak mendapat
pembelaan dari negara. Mereka yang berorientasi seksual berbeda, tak hanya
mengalami berbagai stigmatisasi dan diskriminasi, tapi juga tak kunjung coba
dipahami negara.
Survei-survei
sosial terbaru bahkan mengindikasikan bahwa kalangan muda Indonesia juga
terjebak dalam pola pikir sempit dalam menyikapi keragaman anak bangsa.
Padahal Indonesia adalah taman sari dan pelangi yang indah dalam keragaman
bunga dan warnanya. Indonesia yang dikonsepsikan para pendiri bangsa bukanlah
Indonesia yang memeluk erat-erat ortodoksi, melainkan merupakan himpunan
heterodoksi yang menyimpan potensi kreativitas yang tak terduga. Diskriminasi
terhadap berbagai potensi kreativitas anak bangsa merupakan bidah yang tak
seharusnya terjadi di Indonesia. Indonesia adalah negara yang satu untuk
semua anak bangsa.
Karena itu, sumpah pemuda masa
kini seyogianya adalah sumpah satu Indonesia: Indonesia tanpa diskriminasi.
Pemuda Indonesia, yang kini jauh lebih terdidik dari para pendiri bangsa,
idealnya adalah kaum muda yang tetap berpikiran terbuka, sanggup menyambut
dunia dengan keragamannya, dan mampu mengisinya dengan kreativitas yang tidak
terkira-kira. Jika hal ini yang menjadi sumpah masa kini pemuda Indonesia,
kita tak hanya dapat mewujudkan Indonesia yang satu nusa, satu bangsa, dan
satu bahasa, tapi juga Indonesia yang satu agama: yakni keyakinan akan
sanggupnya kita menyambut dan mengisi dunia dengan tangan dan pikiran
terbuka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar