Mati Satu
Tumbuh Seribu
M Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat
Bangga Produk Indonesia untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
|
SINDO,
29 Oktober 2012
Kita lahir di sini, dan dengan heroik menyebut ini negeri tanah
tumpah darahku.Di tanah ini pada detik-detik pertama kita menghirup udara
segar.
Kemudian kita makan dari bahan-bahan yang tumbuh di bumi ini. Lalu kita minum air yang memancar dari dalamnya. Kita bangga menamakan ini tanah airku. Inilah Ibu Pertiwi: Ibu kesuburan, ibu kasih sayang, ibu kehidupan, yang di atasnya kita berjalan, di atasnya kita membangun rumah,di atasnya kitakawin-mawin,berkeluarga, beranak, dan bercucu. Kita ingat,para pahlawan berjuang, dan bertaruh nyawa, gugur buat negeri ini. Kuburan kita penuh jasad para pahlawan. Beberapa di antaranya mati muda, sebelum sempat menikmati arti hidup sesungguhnya. Tapi, mereka sudah menjadi syuhada, yang rela berkorban untuk kita. Penyair Chairil Anwar pun berteriak: “Kenang, kenanglah kami,yang kini terbaring antara Kerawang dan Bekasi”. Lalu dengan jiwa syahdu, sambil menundukkan wajah, kita menyanyi: “Gugur satu tumbuh seribu....” Kita meminta maaf pada arwah para pahlawan,yang kita terlantarkan, dan jutaan yang tak kita kenang jasanya. Mereka terserak di tengah-tengah makam rakyat biasa, tanpa identitas, tanpa selembar pita merah,dan tanpa air mata duka yang mengiringi kepergiannya. Di masa revolusi bahkan beribu-ribu jumlahnya, yang gugur di kali, di pematang sawah, di tegalan,di jalan desa,di bawah pohon randu, di belakang masjid, dan juga di hutan-hutan pertahanan terakhir, yang betul-betul menjadi terakhir dalam arti sebenarnya. Ketika tiap saat terdengar tembang duka, “gugur satu tumbuh seribu” tadi, kita bertanya: Apakah kita ini bagian dari yang tumbuh seribu itu? Apa jasa kita dalam hidup ini? Kita menikmati kesuburan bumi pertiwi, makan buahbuahnya yang segar, dan bulir-bulir padinya yang mengenyangkan, atau talas, singkong, jagung dan bahanbahan makanan lain untuk bertahan hidup, tapi kita lupa bersyukur? Kita mencintai semua jenis tanaman di bumi ini dan membela mereka dengan sekuat tenaga, ketika tanaman kita hendak dihancurkan bangsa lain, yang memiliki kepentingan politik ekonomi lain, selain buat kesejahteraan kita? Kita tak peduli akan jerit tangis petani kita—juga petani tembakau—yang diancam kelestariannya oleh kekuatan asing yang berkolaborasi dengan mereka yang berkhianat pada Tanah Air,dan bangsanya, tanpa rasa dosa? Kita tak peduli pada para pemilik industri rumah tangga yang memproduksi kretek, yang dicekik oleh peraturan pemerintah kita sendiri, yang di belakangnya berdiri kepentingan asing yang serakah? Kita diam seribu bahasa menyaksikan semua aset ini dicaplok raksasa asing yang serakah, tetapi bermurah hati memberi dukungan dana pada mereka yang menyebut diri berjuang demi bangsa, padahal hakikatnya mereka berjuang buat melebarkan jalan bagi raksasa asing, dan bangsa asing yang kelewat ngileruntuk menguasai aset bisnis tembakau kita? Kita diam saja melihat industri-industri kretek di dalam negeri, milik anak negeri, tumbuh dari tradisi, menjadi mahakarya tak tertandingi ini hendak dilenyapkan bangsa asing yang memiliki kepentingan yang asing bagi kita? Sebaliknya, dengan mentalitetinlander yang terbungkukbungkuk, kita membiarkan industri rokok asing, beroperasi di negeri ini, tanpa berbagi kesejahteraan dengan anak-anak negeri? Kita biarkan mereka menjadi raksasa yang hanya punya satu mata: memupuk pertumbuhan—tanpa membagi— profit dan kemakmuran dengan kita? Mereka lebih suci sehingga kita puji-puji? Mereka lebih mulia hingga kita puja seolah tanpa cela? Apakah duit telah menjadi segalanya? Begitu banyak orang yang buta karena mata telah ditutup harta. Namun, masih tak malu menyebut diri berjuang, dan pura-pura tak tahu apa bedanya dana bantuan,yang khusus untuk mencelakai anak negeri, dibanding dana bantuan antarnegara, atau dana LSM untuk membangun keswadayaan kita. Perjuangan itu ibadah dan mulia.Tapi,apa arti ibadah dan kemuliaannya bila kita tak menyertakan apa yang namanya rasa tulus? Kita sudah menjadi terlalu pandai, terlalu kosmopolitan, dan menganggap rasa tulus tidak begitu relevan? Duit hanya duit. Harta hanya harta. Sifatnya sejak abad delapan belas mungkin tetap sama.Tapi, kekuatan ideologi di baliknya dan pesona material yang membungkam manusia alangkah kuatnya. Duit membungkam manusia untuk rela menggelapkan kebenaran. Harta bisa menutup mata agar kita tak peduli akan ancaman pihak yang kelawatkaya pada mereka yang hampir tak punya apa-apa. Kita bisa bicara filsafat netralitas, dan jiwa yang tak terlibat. Kau benar, silakan benar. Dia salah, silakan salah. Kita tidak ikut-ikutan. Jangan bawa-bawa aku. Netralitas dijadikan landasan untuk tak berbuat. Netral dianggap suci, sesuci tetes embun pada jam tiga pagi, ketika semua jenis kekotoran belum menyentuh dunia ini. Tapi, pandangan ini mengabaikan sejarah, mengabaikan para pejuang. Sejarah penuh pemihakan. Tak ada sejarah yang isinya tukang bersemadi. Sejarah selalu memihak karena isinya para pejuang, yang tak mungkin tak memihak. Aktor sejarah, dalam sejarah Sartono Kartodirdjo, termasuk petani, petani, dan petani. Juga aktor sejarah hari ini. Mereka pun sebagian terdiri atas kaum tani,juga kaum tani tembakau Temanggung. Mereka meneruskan tradisi perjuangan para pendahulu,yaitu Pasukan daerah Kedu, yang gagah berani, mendukung Perang Jawa, di bawah Pangeran Diponegoro,yang dalam waktu pendek membikin kumpeni nyaris gulung tikar.Mereka bukan hanya terlibat.Sebaliknya, mereka menggelar medan perang,dan tak gentar melihat, atau merasakan sendiri, darah menetes dari tubuhnya. Para pejuang hari ini, apa yang Kau lakukan? Tunggu. Jangan bicara tentang netralitas. Para pejuang tak berfilsafat lagi karena berjuang lebih dari sekadar renungan filsafat. Mereka mengambil posisi, membela Ibu Pertiwi dan semua anak negeri, yang dinodai. Bagi pejuang, berlakulah adagium puitik Chairil: sekali berarti, sudah itu mati. Kita optimistis: “Mati satu, tumbuh seribu?” ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar