Minggu, 28 Oktober 2012

Sumpah Pemuda


Sumpah Pemuda
Sarlito Wirawan Sarwono ;  Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KOMPAS, 28 Oktober 2012



Satu atau dua minggu lalu, di Pekanbaru, pesawat tempur Hawk TNI jatuh di permukiman. Masyarakat berlomba dengan TNI. Yang satu mau nonton, yang lain mau mengamankan. Di antara masyarakat ada wartawan dengan kamera. 

Salah satunya bernama Didik Herwanto (Riau Pos). Seorang tentara, Letkol (AU) Robert Simanjuntak, langsung mengejar, membanting, dan menginjak perut wartawan dengan teknik judo atau jujitsu yang cantik (apalagi dilakukan oleh seorang perwira senior yang sudah setengah baya). Kamera wartawan pun dirampas. Adegan yang hanya beberapa detik ini diulang-ulang setiap hari berkali-kali sehingga kesannya telah terjadi pelanggaran HAM berat. 

Pastinya wartawan marah, solider, didukung massa seluruh Indonesia yang sudah tahu via media. Kepala Staf TNI AU minta maaf, tetapi demo malah makin marak.Pelanggaran UU Pers, katanya. Wartawan tidak boleh dicegah dalam mencari informasi untuk masyarakat.Letkol Simanjuntak pun mau dimutasi oleh pimpinan TNI, tetapi wartawan tidak setuju. 

Harus dibawa ke pengadilan negeri. Nggak mau tahu, walaupun Simanjuntak anggota militer, tetap harus diadili di pengadilan negeri (yang berarti melanggar UU, loh). Singkatnya, TNI sudah pasti salah,wartawan so pasti benar. Tapi apa iya? Ketika wartawan mengikuti nalurinya untuk mencari berita,TNI pun punya naluri untuk mengamankan TKP. Mereka memang dididik seperti itu, seperti wartawan dididik mencari berita.

Pesawat terbang buat TNI adalah aset negara yang mungkin mengandung rahasia negara.Mungkin pilot terluka harus dievakuasi. Mungkin ada masyarakat terluka, perlu pertolongan cepat. Wilayah kecelakaan harus disterilkan sehingga wartawan yang spontan pasang kamera dianggap sebagai penghalang/ pengganggu. 

Secara refleks, TNI menelikung dan membanting wartawan ke tanah, ya wajarlah.Jangankan wartawan, setumpuk batu bata pun hancur berantakan dikarate oleh TNI. Memang mereka dilatih untuk itu. Kalau ketika ada kecelakaan pesawat,TNI langsung mempersilakan wartawan meliput dan memasang kursi-kursi untuk masyarakat yang mau menonton, bahkan menyediakan Aqua untuk yang haus, baru aneh itu namanya.

Pada saat berlangsung lobilobi terakhir sebelum UUD 1945 disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, Sam Ratulangi, wakil dari Sulawesi,Tadjoedin Noor dan Ir Pangeran Noor, wakil dari Kalimantan, I Ketut Pudja, wakil dari Nusa Tenggara, dan Latu Harhary,wakil dari Maluku, datang ke Jakarta. 

Mereka datang sendiri atas inisiatif sendiri dengan biaya dari nenek moyang sendiri, naik kapal laut selama beberapa hari yang waktu itu merupakan satu-satunya moda perhubungan antarpulau (tidak seperti sekarang, dengan penerbangan pesawat udara beberapa kali sehari ke setiap penjuru Indonesia, dengan biaya yang relatif terjangkau). Kedatangan mereka pas sekali sebelum UUD 1945 disahkan. 

Mereka semua berkeberatan dan mengemukakan pendapat tentang bagian kalimat dalam rancangan Pembukaan UUD yang juga merupakan sila pertama Pancasila sebelumnya, yang berbunyi,“Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.??? Pada Sidang PPKI I, yaitu pada18 Agustus1945,Hatta lalu mengusulkan mengubah tujuh kata tersebut menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Pengubahan kalimat ini telah dikonsultasikan sebelumnya oleh Hatta dengan 4 orang tokoh Islam, yaitu Kasman Singodimejo, Wahid Hasyim,Ki Bagus Hadikusumo, dan Teuku M Hasan.Mereka menyetujui perubahan kalimat tersebut demi persatuan dan kesatuan bangsa. Dan akhirnya bersamaan dengan penetapan rancangan pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 pada Sidang PPKI I tanggal 18 Agustus 1945,Pancasila pun ditetapkan sebagai dasar negara Indonesia. 

Jelaslah bahwa rumusan Pancasila yang berlaku sampai hari ini sudah dipikirkan matangmatang oleh para pendiri bangsa ini, termasuk oleh para pemimpin besar umat Islam ketika itu. Dengan demikian tokoh-tokoh Islam pada waktu itu,termasuk Bung Hatta, telah menerapkan sila ketiga,Persatuan Indonesia, yang penjabarannya dalam Tap II/MPR/1978 dan Tap MPR No I/MPR/2003 tentang butir-butir Pancasila adalah mengutamakan persatuan bangsa, rela berkorban demi bangsa dan negara, cinta tanah air dan bangsa,serta bangga menjadi bangsa Indonesia. 

Semangat itu pulalah yang telah melahirkan Sumpah Pemuda 1928.Saya kutipkan di sini sepenggal catatan sejarah dari Wikipedia, “Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (Ikatan Pemuda Katolik) di Waterlooplein(sekarang Lapangan Banteng). Rapat kedua,Minggu,28 Oktober 1928,di Gedung Oost-Java Bioscoop (Gedung Bioskop Jawa Timur), dan rapat penutup di Gedung Indonesische Clubgebouw( Gedung Perkumpulan Indonesia) di Jalan Kramat Raya 106 ... 

Para peserta Kongres Pemuda II ini berasal dari berbagai wakil organisasi pemuda yang ada pada waktu itu,seperti Jong (Pemuda) Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, PPPI, Pemuda Kaum Betawi. Di antara merekahadir pula beberapa orang pemuda Tionghoasebagaipengamat, yaitu Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok,dan Tjio Djien Kwie,namun sampai saat ini tidak diketahui latar belakang organisasi yang mengutus mereka.

Sementara Kwee Thiam Hiong hadir sebagai seorang wakil dari Jong Sumatranen Bond. Diprakarsai oleh AR Baswedan,pemuda keturunan Arab di Indonesia mengadakan kongres di Semarang dan mengumandangkan Sumpah Pemuda Keturunan Arab.” Dari secuil kutipan di atas tampak bahwa Republik Indonesia bukan bikinan, apalagi milik seseorang atau segolongan tertentu. 

Dalam kutipan itu terbaca kata-kata Katolik, Islam,Tionghoa (China),Arab, Betawi,Sumatera, Celebes (sekarang: Sulawesi), Java (sekarang: Jawa), Batak (dari dulu sampai sekarang tetap Batak), dan tentu saja Indonesia.Para peserta Kongres Pemuda II di Jakarta tahun 1928 itu tidak bermimpi akan menjadi pahlawanpahlawan nasional,mereka hanya bercita-cita(istilahsekarang: punya visi) bahwa Republik Indonesia yang akan lahir entah kapan adalah negara kesatuan, bukan negara agama, negara etnik,maupun negara golongan. 

Itulah sebabnya, ketika pada 1945 ada yang menginginkan kata-kata dari agama tertentu disisipkan dalam UUD 1945, langsung dilakukan koreksi, walaupun boleh jadi kata-kata itu sendiri tidak akan berpengaruh dalam praktik kehidupan sehari-hari dari warga negara yang beragama lain.

Didik Herwanto dan Robert Simanjuntak akhirnya saling bermaafan, berpelukan, dan katawa-ketiwi. Entah bagaimana caranya,kedua kubu menyadari bahwa konflik wartawan versus TNI adalah konflik kekanak-kanakan yang tidak ada gunanya. Lain halnya dengan konflikkonflik lainnya.Nasib orang Papua sebenarnya sama saja dengan orang Betawi atau orang Jawa lainnya.

Banyak yang miskin dan merasa tidak diperlakukan dengan adil. Bahkan etnik Papua adalah gudangnya juarajuara Olimpiade Fisika dan Matematika. Tapi mengapa orang Papua harus membawabawa bendera Bintang Kejora. Untuk apa? Timor Leste tidak menjadi lebih baik dibandingkan dengan ketika masih berstatusTimor- Timur.Sebaliknya, Aceh sekarang sudah mulai menikmati kemajuan perekonomiannya. 

Begitu juga yang berjuang, berjihad fi-sabilillah, dengan bom dan mesiu. Untuk apa? Apa hasilnya kecuali korbankorban yang tidak berdosa? Semangat Sumpah Pemuda adalah bersatu, bukan berselisih, bertengkar, apalagi tawuran. 

Kita memang berbeda- beda, tetapi selama kita lupakan perbedaan itu dan kita fokus ke persamaan cita-cita (untuk menyejahterakan rakyat, mencerdaskan bangsa,dan menjaga perdamaian dunia), insya Allah NKRI akan tetap bersatu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar