Mengabarkan
yang Baik
Mudji Sutrisno ; Guru Besar STF Driyarkara & UI, Budayawan
|
SINDO,
31 Oktober 2012
Ketika seorang nenek tiap hari, meski
kakinya pincang, dengan berkeringat menjual jamu gendong beras kencur dan
jamu sehat lainnya demi tiga cucunya— karena si ibu cucu sudah meninggal
sementara si ayah menghilang tidak jelas ke mana—, nenek ini memberi makna
yang dahsyat pada hidupnya sebagai penjual jamu bagi cucunya.
Dan ketika salah satu cucu laki-lakinya mulai bergejala bengkak di kaki, nenek belum mengetahui bahwa itu tandatanda busung atau kurang makan bergizi bahasa halusnya dan baru pada saat orang yang tahu ilmu kesehatan memberi tahu serta mencarikan jalan keluarnya, terbentanglah sebuah keadaan struktural kemelaratan dan kondisi konstruksi kemiskinan yang beriwayat di baliknya saat diselami lebih mendalam. Pun untuk yang menyelami lebih jauh, dengan menengok kondisi rumah tinggal,ia hanya akan sampai pada potret nyata wajah miskin ini apabila secara kebudayaan si penolong ini mau hidup bersama atau “live in” meski hanya beberapa saat saja. Baginya, tindakan ini merupakan proses signifikansi atau memberi makna atau arti. Homo significanus: manusia berusaha memberi arti atau nilai pada tindakan hidupnya adalah perilaku mengabarkan yang baik dari kehidupan ini melalui tindakan menolong atau peduli pada nasib penderitaan malang sesamanya. Mengabarkan yang baik dalam tindakan membagikan kebaikan akhir-akhir ini semakin langka, terutama di kota-kota, saat acuan makna ditentukan lebih-lebih oleh nilai untung dan rugi. Menolong dan mau repot menjadi rugi, karena membuang waktu,meminta pengorbanan, apalagi merepotkan keterlibatan untuk sesama yang di kehidupan sehari-hari saja orang di Jakarta sudah menjadi tua di jalanan karena macet. Orang sudah dipejalkan dan ditumpulkan karena pameran manipulasi belas kasihan sudah menghadangnya di mana-mana saat anak-anak miskin meminta- minta, saat mengamen terus bergaung, apalagi di persilangan- persilangan jalan bayibayi yang digendong disodorkan untuk menjadi penarik simpati dan peduli orang. Apakah mengabarkan yang baik sudah mengalami titik nadir tidak diacuhkan saat ini? Padahal dalam sejarah proses memberi arti pada tindakan di Nusantara ini sudah dikenal mendarah daging dalam ungkapan berharganya hidup itu sendiri sehingga butuh dimuliakan, perlu dirayakan dalam kebudayaan pro-life, yaitu merawat kehidupan sekecil apa pun wujudnya dan sebesar apa pun risikonya.Penanda life culture ini ada di peribahasa dan pepatah-pepatah Indonesia yang merupakan puisi-puisi kebijaksanaan hidup hasil tempaan rintangan nenek moyang kita yang secara padat indah menggumpalkan ingatan bersama dalam puisi-puisi berpantun atau gurindam-gurindam kehidupan. Lihatlah makna ajakan berbagi sebagai acuan hidup dalam pepatah “ada sama-sama dimakan dan tak ada samasama ditahan”. Di dalamnya nilai berbagi dan bersolidaritas mengendap sebagai makna. Bahkan dalam ungkapan ekstrem yang saat ini kerap disiniskan atau dicibirkan tetaplah ungkapan berbagi bersama muncul sebagai penanda makna hidup berbagi dalam peribahasa “makan atau tidak makan asal kita berkumpul”. Terpaan acuanacuan mengenai nilai sebagai apa yang dianggap berharga atau baik kini dikecilkan atau direduksi dalam jalan ekonomis yang baik adalah sama dengan yang bermanfaat untukku saja, yang baik adalah yang menguntungkan. Lebihlebih lagi ranah jalan politis telah mengacu dan menyempitkan yang baik hanya sebagai kemenangan.Menang dengan cara apa pun asal tidak kalah dalam perebutan kuasa, kursi, jabatan, lalu ditutup selubungi dengan janji dan slogan-slogan atas nama rakyat dan atas nama kesejahteraan. Padahal justru riuh-gemuruh suara teriakan slogan-slogan semacam ini yang hanya ramai saat pemilihan suara, lalu sepi pada pelaksanaan nyata membuat masyarakat merasa ditipu oleh apa yang diteriakkan sebagai kebaikan. Jalan ekonomis dan jalan politis mengarah ke memperlakukan orang-orang sebagai alat-alat atau objek-objek sarana demi mencapai tujuan dari yang mempunyai kepentingan. Jalan politis bahkan memecah dan mengantagoniskan, membuat adu perlawanan dengan dasar bad news is good news: berita sensasi buruk menggelegar itulah baru berita namanya.Maka larislah berita- berita dusta atau seperempat dusta, setengah dusta ataupun seratus persen dusta yang mengabarkan dusta. Herankah kita oksigen tempat kita menghirup udara semakin diganti oleh asam arang distrust alias ketidakpercayaan akan acuan kabar baik yang benar-benar bersumber pada kebaikan kehidupan itu sendiri? Mengabarkan kehidupan sebagaimana adanya untuk dipedulikan banyak disuarakan kaum hijau ekologis untuk harmoni alam. Mengabarkan kebaikan hidup dengan menarikannya dalam tarian kehidupan sudah menjadi ungkapan tarian lokal keragaman daerah dan kekayaan lokalitas perajut keindonesiaan. Menyanyikan kehidupan dalam kidung puisi, dentang dawai musik, seruling suara-suara nyanyi alam dan dendang berdendang merupakan tindak mengabarkan kebaikan dalam bahasa seni. Dan ketika aksi peduli, tetes air mata keharuan, sorak gembira kor menyuguhkan ungkapan kagum pada kehidupan anugerah Sang Pencipta yang diciptakan secara baik adanya serta contoh- contoh keteladanan dalam memaknai hidup cucu-cucunya seperti nenek penjual jamu tradisional di awal tulisan ini, contoh sederhana yang dirajut bagai kain tenun warnawarni serta kain-kain rajutan amat indah beragam Nusantara ini, maka kita masih berani memercayai bahwa mengabarkan yang baik untuk sesama dan demi kehidupan terus ada dan terus berdetak menjadi keindonesiaan yang lebih baik. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar