Partai Islam
Jelang Pemilu 2014
Ahmad Fuad Fanani ; Direktur Riset Maarif Institute for Culture and
Humanity, Presidium Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)
|
SINDO,
25 Oktober 2012
Survei terbaru dari Lingkaran Survei
Indonesia (LSI) tentang nasib dan masa depan partai-partai Islam menarik
untuk dicermati. Menurut survei LSI itu, masa depan partai politik Islam pada
Pemilu 2014 nanti akan kian suram dan hanya menjadi unsur pelengkap saja.
Bahkan, popularitas partai-partai politik Islam hanya menempati angka di bawah 5% saja (Detik- News,14 Oktober 2012).Dalam survei itu juga dijelaskan bahwa posisi para tokoh Islam pada Pemilu 2014 kemungkinan besar akan mengalami nasib yang sama dengan kondisi partai Islam. Survei LSI di atas sejatinya mengonfirmasi kekhawatiran dan prediksi banyak pihak sebelumnya tentang masa depan partai-partai Islam. Seperti kita ketahui bersama, suara partai Islam semakin turun dari pemilu ke pemilu. Misalnya, perolehan suara partaipartai Islam di Pemilu Legislatif 2009 kemarin memang mengalami penurunan drastis. Partai-partai yang jelas-jelas menjadikan Islam sebagai asas organisasi ataupun yang berasaskan Pancasila, tetapi mempunyai basis konstituen umat Islam, perolehan suaranya semakin susut dibandingkan hasil pada pemilu sebelumnya. Bahkan, hanya empat partai Islam yang berhasil lolos parliamentary threshold (ambang batas suara di parlemen), yaitu PKS,PAN, PKB,dan PPP. Pada Pemilu 2004 pun dari sekian banyak partai Islam, hanya PKS (Partai Keadilan Sejahtera) yang mengalami kenaikan suara secara signifikan (R William Liddle dan Saiful Mujani, “Indonesia in 2004: The Rise of Susilo Bambang Yudhoyono”, 2005). Itu pun karena PKS tidak lagi memperjuangkan isu-isu Islam.PKS lebih mengampanyekan isuisu yang berbasis pada moto “Bersih dan Peduli” untuk masa depan Indonesia yang bebas korupsi dan berkeadilan. Pada saat yang sama, PPP dan PBB (Partai Bulan Bintang) yang getol memperjuangkan penerapan syariat Islam secara formal justru mengalami penurunan suara. Dari situ tampak bahwa isu-isu Islam dalam banyak hal kurang lagi menarik minat masyarakat Indonesia. Problem Mendasar Pada saat menjelang pelaksanaan Pemilu Legislatif 2009, ketika lembaga survei merilis hasil surveinya, partai Islam banyak yang tidak percaya. Mereka menyatakan survei tidak objektif dan kebanyakan berdasarkan pesanan saja.Padahal, mestinya partai politik Islam menjadikan hasil quick count dan hasil penghitungan KPU itu sebagai evaluasi serius dan refleksi atas sikap dan kebijakan politik, manuver,serta perilaku politik mereka selama ini. Mereka seyogianya lebih memusatkan evaluasi di dalam daripada sibuk mencari pihak ketiga yang mesti disalahkan. Ironisnya,ketika mendapatkan hasil perolehan suara mereka menurun drastis dan saat menentukan arah koalisi menjelang Pilpres 2009, berbagai partai Islam justru saling berkonflik di lingkup internalnya. Seperti kita saksikan bersama, partai-partai Islam yang berkoalisi dengan Demokrat tampak cenderung berdasarkan alasan pragmatisme kekuasaan saja. Tidak ada visi yang diperjuangkan. Hanya karena melihat bahwa SBY pasti menang, mereka ramairamai mendekatinya. Di situ ada gula,di situlah semut-semut bersemangat untuk datang. Sebetulnya, dari problemproblem yang terjadi, mulai dari ketidakpercayaan terhadap lembaga survei, teori konspirasi, pencarian kambing hitam, tarik-menarik arah koalisi hingga pragmatisme mencari kekuasaan itu, terdapat problem mendasar yang dialami partai Islam. Menurut Greg Fealy (2009),Indonesianis dari Australian National University, partai Islam mengalami problem hilangnya kepemimpinan yang karismatis dan melemahnya kaderisasi. Pemimpin karismatis yang bisa didengar dan diikuti konstituennya serta menarik massa mengambang (floating mass) dan massa yang belum menentukan pilihan jarang atau tidak ada lagi di partai Islam. Para tokoh partai Islam seperti Hatta Rajasa,Suryadharma Ali, Muhaimin Iskandar, Luthfi Hasan Ishaq atau politisi yang lebih senior dibandingkan lainnya kurang mengakar lagi di komunitas mereka sendiri. Dalam soal kaderisasi, sudah menjadi rahasia umum, perpecahan partai politik yang melahirkan partai baru adalah karena problem distribusi kepemimpinan dan banyak kader yang tidak diberdayakan. Tarik-menarik penentuan keputusan politik, seperti yang terjadi pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta putaran kedua kemarin juga menunjukkan para generasi senior dan petinggi partai belum puas dan rela untuk tidak ikut bermainmain dan mendapatkan kekuasaan. Persoalan serius lain yang juga harus disadari para pemimpin partai Islam adalah fakta bahwa partai-partai nasionalis sekarang juga banyak yang sudah dianggap dan membuka pintu akomodasi kepentingan Islam. Partai-partai nasional itu menyadari bahwa akomodasi suara Islam sebagai mayoritas penduduk di Indonesia sangatlah penting dalam agenda politiknya (Sunny Tanuwidjaya, “Political Islam and Islamic Parties in Indonesia: Critically Assessing the Evidence of Islam’s Political Decline”, 2010). Oleh karena itu, perebutan basis suara dari massa Islam menjadi persoalan penting yang harus segera diantisipasi mulai dari sekarang. Reposisi Politik Agar tidak terulang kegagalan serupa pada Pemilu 2014 nanti,partai Islam hendaknya segera melakukan reposisi politiknya. Mereka harus cermat, cerdas, teliti, dan konsisten dalam mengarahkan bandul politiknya.Jangan sampai mereka hanya mengikuti dan kehilangan sikap kritis karena sudah sukses mendukung yang menang dan menguntungkan. Hendaknya, aspirasi dan kemaslahatan umat harus didengarkan sebagai panduan langkah politik mereka.Selama ini, aspirasi dan arah politik partai Islam banyak ditentukan oleh elite politik di DPP atau MPP saja. Agar partai Islam solid,mereka seharusnya juga mendengar suara konstituen mereka ditingkat bawah supaya mereka punya panduan yang berdasarkan aspirasi nyata dari kaumnya. Partai Islam hendaknya juga tidak menjadikan paradigma kekuasaan sebagai satusatunya tujuan dan tolok ukur keberhasilan. Menjadi oposisi sebetulnya sama mulianya dengan duduk di pemerintahan. Bahkan, menjadi oposisi bisa lebih mulia dan mengakar ke bawah daripada duduk di kekuasaan, tetapi tidak melakukan program yang bermanfaat bagi umat banyak atau keberhasilan kebijakannya sering kali hanya dipolitisasi oleh partai tertentu (Nurcholis Madjid,“Membangun Oposisi, Menjaga Momentum Demokratisasi”, 2000). Jika mereka belum berhasil di tingkat pusat, tingkat lokal bisa menjadi ajang kompetisi yang bermanfaat untuk membangun basis partai guna mendulang kemenangan di masa depan. Maka, terlepas turut pada kekuasaan atau menjadi oposisi, tugas utama partai Islam yang harus segera dikerjakan adalah lebih fokus pada pelaksanaan program yang mengakar dan bermanfaat bagi rakyat banyak, jadi tidak bergantung pada kampanye lima tahunan menjelang pemilu saja. Akhirnya, partai-partai Islam harus benar-benar menyadari bahwa posisi mereka dalam pemerintahan SBY sekarang tidak memberikan garansi kepada mereka guna memperoleh suara besar pada Pemilu 2014 nanti. Kalaupun nanti pemerintah SBY sukses dan mendapatkan tempat di hati rakyat, kemungkinan besar yang akan mendapat limpahan suara tetaplah partai utama, yaitu Partai Demokrat. Maka, yang lebih penting disiapkan, dilakukan, dan diantisipasi oleh partai Islam di masa yang akan datang adalah mendengarkan suara rakyat, menjalankan program yang substansial dan prorakyat, tidak terjebak pada formalitas agama, menguatkan kaderisasi, dan memperkukuh jaringan dan pemenangan di basis-basis lokal. Wallahu a’lam bisshawab. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar