Akhlak Pemuda
Harapan Bangsa
Aida Zulaika Nasution Ismeth ; Wakil Ketua Badan Kehormatan DPD RI,
Ketua Umum Gerakan Masyarakat Peduli Akhlak Mulia Prov Kepulauan Riau |
SUARA
KARYA, 30 Oktober 2012
Para pemuda yang
bersumpah pada 28 Oktober 1928, bukanlah sembarangan pemuda. Mereka adalah
pemuda sejati, berakhlak mulia, pejuang tangguh, dan bertanggung jawab atas
nasib bangsa ini. Mereka dari berbagai pelosok tanah air yang berada di
Jakarta pada waktu itu berikrar; berbangsa satu bangsa Indonesia, berbahasa
satu bahasa Indonesia, dan bertanah air satu tanah air Indonesia. Puncak
kesadaran nasional para pemuda saat itu, telah sampai pada satu tekad bulat,
yang tak bisa ditawar lagi alias harga mati. Yang kemudian berujung pada
revolusi kemerdekaan dengan semboyan, 'merdeka atau mati'. Inilah akhir dari
taruhan para pemuda berkarakter sehingga melahirkan kemerdekaan yang kita
nikmati sampai saat ini.
O... pemuda harapan
bangsa! Kami merindukan pemuda masa kini yang memiliki kualitas kepemudaan
seperti mereka, dulu. Masih adakah pemuda seperti itu di zaman sekarang?
Mudah-mudahan masih ada, walaupun zamannya sudah berubah. Jika dahulu mereka
menentang penjajah dengan ideologi dan senjata. Sekarang, pemuda menentang
ketidak-adilan, korupsi, dan kerusakan akhlak, dengan pengetahuan dan ilmu
yang baik dan benar.
Tawuran antar-pelajar
alias baku hantam sampai ada yang terluka dan tewas, belum lama ini telah
mencoreng nama pemuda. Mereka yang kita harapkan kelak untuk mewarisi bangsa
ini telah berbuat aib di tengah masyarakat. Mereka saling mengejek, memaki,
memukul dan melukai, bahkan membunuh. Mereka ini adalah anak-anak sekolah
setingkat SMP dan SMA yang setiap hari dididik dan diajar di sekolah supaya
menjadi manusia yang baik dan benar. Bukankah pendidikan itu untuk
memanusiakan manusia? Lantas kenapa mereka berbuat yang tidak manusiawi?
Jangan-jangan, ada yang salah dengan pendidikan kita. Pendidikan dan
pembelajaran sudah tidak berbanding lurus dengan pembentukan akhlak dan
karakter anak didik kita.
Apakah ada yang salah
di antara kita sebagai orangtua, guru, tokoh masyarakat, alim ulama, pejabat
pemerintah, polisi dan tentara, yang tidak sempat mendidik, membimbing,
mengarahkan, dan menasihati? Ataukah, kesalahan itu ada pada siswa itu
sendiri? Barangkali kurikulum pendidikan dan pembelajaran itu perlu ditinjau
ulang untuk direvisi. Pendidikan dan pembelajaran telah kehilangan muatan
spiritualnya, hingga tak punya akses pada akhlak atau karakter anak didik.
Kurikulum pendidikan dan pembelajaran yang sarat dengan muatan kognitif, dan
sedikit muatan afektif dan psikomotorik. Apakah ini akibat dari muatan ujian
nasional (UN) yang 100 persen kognitif?
Kalau seperti ini
modelnya, maka tipis harapan untuk mendapatkan pemuda harapan bangsa yang
berkarakter. Dalam hal ini, lingkungan orangtua, guru, dan masyarakat, yang
paling bertanggung jawab atas akhlak dan karakter pemuda. Di tangan mereka
inilah, perilaku pemuda dipertaruhkan. Di dalam teori perkembangan pribadi
anak, tiga lingkungan ini dianggap bertanggung jawab dalam pembentukan
karakter dan akhlak. Dan, satu lingkungan pendidikan lagi yang kurang
mendapat perhatian dari pemerintah dan masyarakat adalah lingkungan 'maya',
yang informasinya bisa menerebos sampai ke kamar tidur dan kamar mandi. Para
pemuda kita mengakses informasi tanpa batas, di mana saja dan kapan saja.
Lingkungan maya inilah yang paling dikhawatirkan.
Orangtua, guru,
masyarakat dan pemerintah perlu menyediakan waktu dan ruang kreatif untuk
para pemuda, apabila ingin betul-betul mendidik pemuda yang berakhlak atau
berkarakter. Waktu dan ruang yang tidak tersedia secara memadai akan
mengalihkan pemuda pada dunia maya lewat televisi yang banyak menayangkan
acara-acara yang tidak begitu banyak manfaatnya untuk ditonton.
Orangtua harus sering
memberi tugas dan tanggung jawab kepada anak, terutama terkait dengan diri dan
keluarganya, sehingga waktunya bisa diisi dengan yang bermanfaat. Begitu juga
masyarakat, harus menyediakan tempat-tempat yang lapang dan ruang bermain
yang cukup untuk menyalurkan kreativitasnya. Sama halnya dengan sekolah,
mesti menyediakan waktu dan tempat untuk mengembangkan bakat dan minat
peserta didik agar punya obsesi dan cita-cita. Sebab, selama ini, organisasi
sekolah dan guru terlalu dominan dalam penggunaan waktu pembelajaran.
Seakan-akan sekolah dan guru sajalah yang punya otoritas waktu terhadap anak
didik. Hampir tidak ada waktu yang tersisa untuk anak didik untuk merenungkan
dan mengolah potensi dirinya dan cita-citanya. Mereka banyak diberi beban
pelajaran yang sarat dengan teori-teori yang bersifat deduktif-verbalistik,
tidak jelas targetnya.
Barangkali kita
sebagai penyelenggara pendidikan perlu berpikir ulang tentang target
pendidikan dan pembelajaran yang ingin kita capai. Terutama pendidikan akhlak
atau karakter. Selama ini yang terukur dalam pembelajaran dan ujian hanyalah
kecerdasan kognitif, sedangkan kecerdasan afektif dan psikomotorik tidak
terukur atau tidak mau diukur.
Harapan kami, siswa perlu banyak mendapat
sentuhan-sentuhan spiritual dalam konteks pengamalan ajaran agama yang
dicontohkan oleh orangtua siswa dan guru di sekolah. Kalau perlu, ajaran
agama itu 75 persen praktik dan 25 persen teori. Karena, ajaran agama itu
untuk diamalkan bukan sekedar diteorikan. Tuhan menilai amal hambanya bukan
dari teori pelajarannya, melainkan dari amalnya. Dengan demikian pembentukan
karakter atau akhlak pemuda bisa terwujud. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar