Patriotisme
Pemuda
Puan Maharani ; Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR; Ketua
Bidang Politik dan Hubungan Antarlembaga DPP PDI-P
|
KOMPAS,
25 Oktober 2012
Menyambut 84 tahun Sumpah Pemuda, kita jadi
ingat lirik lagu Alfred Simanjuntak, ”Bangun Pemudi Pemuda”.
Satu baris di situ mengingatkan pemuda
Indonesia tentang tanggung jawabnya: ”masa yang akan datang kewajibanmulah”.
Saat mencetuskan Sumpah Pemuda pada 1928, pemuda Indo- nesia berkumpul dengan
satu spirit menunaikan kewajiban mereka sebagai anak bangsa untuk merumuskan
jawaban atas tantangan zaman: penjajahan atas bangsa Indonesia.
Atas dasar kesadaran kolektif dan semangat
kebersamaan, mereka sepakat bahwa untuk menghapus penjajahan di bumi
Indonesia, persatuan Indonesia adalah sebuah kemutlakan. Tak ada jalan lain.
Rumusan satu tumpah darah, satu bangsa, dan menjunjung bahasa Indonesia
menjadi prasasti sekaligus tonggak kebangkitan pergerakan nasional melawan
penjajah.
Kiprah dan peran pemuda Indonesia pada 1928
itu drastis mengubah pola perjuangan pergerakan nasional dari yang bersifat
kedaerahan menjadi nasional. Kini, 84 tahun kemudian, pertanyaan yang relevan
untuk kita jawab: apakah peran pemuda yang, menurut data BPS, sekitar 168
juta orang (di bawah umur 40 tahun) sebagai penggerak peru- bahan bagi
bangsanya? Perubahan seperti apa yang dibutuhkan Indonesia masa kini?
Di
Segala Lini
Jika dulu tantangan nyata pemuda Indonesia
melawan penjajahan fisik, sekarang pemuda Indonesia menghadapi tantangan yang
tak kalah besar, yaitu krisis multidimensi yang menempatkan Indonesia
”terjajah” oleh bangsa lain dalam bentuk baru: ekonomi, sosial, dan budaya.
Dahulu pernah berwibawa dan mandiri, Indonesia kini menjadi negeri
bergelimang produk impor. Bukan hanya impor barang, melainkan juga impor
pemikiran dan kebudayaan.
Pada akhirnya arus impor berkecepatan
tinggi di segala lini itu memadamkan spirit dan kemampuan kita sebagai bangsa
untuk mampu memproduksi barang, ide, dan kebudayaan karena terlena oleh
produk impor tadi.
Di sektor ekonomi, produksi dalam negeri
sudah kalah bersaing dengan produk bermerek mancanegara. Di bidang pemikiran,
intelektual muda lebih merasa gagah mengutip kearifan tokoh bangsa lain
ketimbang mengutip kearifan tokoh nasional. Padahal, pemikiran Bung Karno, Bung
Hatta, Gus Dur, dan banyak tokoh lagi sudah diakui di dunia internasional.
Bahkan, dalam tataran praktis, gaya
demokrasi yang dianut lebih berorientasi Barat ketimbang Indonesia. Bukan
demokrasi yang berjiwa nilai luhur bangsa Indonesia yang mengutamakan
musyawarah untuk mufakat. Kini perbedaan pendapat lebih cenderung
diselesaikan dengan mekanisme voting daripada dengan musyawarah untuk
mufakat.
Sementara itu, dari sisi kebu- dayaan, arus
budaya pop impor semakin memudarkan kecintaan pemuda-pemudi Indonesia
melestarikan warisan budaya nasional, seperti wayang, sastra, dan tari-tarian
daerah. Padahal, tidak sedikit orang asing yang justru kemudian mempelajari
dan membawa warisan budaya leluhur ke pentas internasional.
Saya percaya bahwa keberhasilan sebuah
bangsa sangat ditentukan oleh keberhasilan pemuda- pemudinya dalam berkiprah
di bidang keahliannya masing-masing. Negeri ini sesungguhnya dilimpahi
tunas-tunas bangsa yang punya potensi besar membawa kejayaan bangsa di pentas
internasional.
Kami mencatat begitu banyak prestasi yang
telah diraih pemuda-pemudi Indonesia di pentas dunia. Keberhasilan
pelajar-pelajar Indonesia asuhan Profesor Yohanes Surya menjadi juara
Olimpiade Fisika tingkat dunia menjadi bukti bahwa pemuda- pemudi Indonesia
punya kualitas yang tak kalah dari kualitas pemuda-pemudi negara lain.
Publik kebudayaan sangat bersemangat ketika
menyaksikan pertunjukan Matah Ati. Bagi kami, Matah Ati adalah sebuah
pertunjukan budaya sangat indah dan kuyup dengan nilai-nilai filosofis.
Pengakuan batik Indonesia dari UNESCO juga bukti bahwa jika dikembangkan
secara sungguh-sungguh, karya budaya asli Indonesia berpotensi besar
dikembangkan jadi soft power Indonesia di kancah internasional.
Pengakuan komunitas perfilman internasional
yang memuji film ”Denias, Senandung di atas Awan” karya sutradara Ari
Sihasale dan kiprah para ilmuwan muda Indonesia di lembaga-lembaga riset
internasional dengan berbagai temuan penting mereka adalah cermin bahwa
sejatinya pemuda-pemudi Indonesia punya potensi besar membawa bangsa kita
jadi bangsa maju.
Bayangkan, jika setiap bidang dan sektor
kehidupan di negeri ini dipenuhi dengan pemuda beretos baja seperti
contoh-contoh sukses tadi, niscaya Republik ini akan lebih cepat bangkit dan
melesat sejajar dengan bangsa-bangsa maju lain di dunia.
Keteladanan
Memang, untuk mengaktualkan potensi-potensi
besar itu dibutuhkan sebuah keteladanan yang mampu menggelorakan patriotisme
kaum muda dalam konteks kekinian. Namun, jika keteladanan itu tak kunjung
datang, semangat Sumpah Pemuda 1928 bisa menjadi teladan bahwa kaum muda bisa
menjadi teladan untuk kaumnya sendiri. Bahkan, kaum muda bisa menjadi pelopor
atas kebangkitan bangsa di te- ngah-tengah krisis multidimensi yang mendera
di semua lini.
Ingat, kepemudaan berarti spirit. Ia adalah
personalisasi dari sosok bersemangat baja: si pantang menyerah, si pekerja
keras, si cerdas, dan si pemilik penguasaan terhadap sejumlah keterampilan
yang diperlukan. Bila pemuda bangsa pada 1928 menjawab tantangan penjajahan
dengan persatuan, pemuda Indonesia masa kini bisa menjawab tantangan krisis
multidimensi dengan tampil sebagai pionir-pionir penuh prestasi di bidang
keahlian dan bidang kecakapannya masing-masing.
Pemuda Indonesia yang memilih dunia
olahraga sebagai atlet, jadilah atlet yang mendalami keatletannya sehingga
berprestasi di pentas dunia. Begitu pula pemuda yang berkiprah di bidang
kesenian dan kebudayaan, apakah sebagai penari, penyanyi, pelukis, penulis,
dan sebagainya, jadilah seniman dan budayawan yang mendalami secara utuh di bidangnya
masing-masing hingga diakui dunia.
Juga pemuda yang berprofesi sebagai
peneliti, ilmuwan, politisi, dan birokrat hendaknya menekuni profesi
masing-masing secara utuh, tulus, dan ikhlas demi kemajuan bangsa dan negara.
Seperti kata Bung Karno, ”Karmane Vadni Adikaraste Maphalessu Kada Chana”
(Laksanakan kewajibanmu dengan ikhlas dan rela tanpa bertimbang sebab jika
bukan engkau yang memetik buahnya, maka anakmu yang akan memetik; jika bukan
anakmu, pastilah cucumu yang akan memetiknya).
Itulah redefinisi partriotisme pemuda
Indonesia masa kini yang tidak kalah agung dari patriotisme pemuda Indonesia
pada 1928 ketika mencetuskan Sumpah Pemuda. Melalui redefinisi tersebut,
Indonesia akan selangkah lebih dekat mewujudkan impian menjadi bangsa yang
besar di pentas dunia dengan berpijak pada kearifan nasional dan keahlian
putra-putri bangsa sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar