Jatuh Karena
Berulat
Tamrin Amal Tomagola ; Sosiolog
|
KOMPAS,
25 Oktober 2012
Jumat, 5 Oktober 2012 malam, merupakan
puncak paling dramatis dari tumpukan kegalauan publik dan keputusasaan rakyat
yang benar-benar kehilangan pemimpinnya, ketika ratusan personel Polri
mengepung gedung Komisi Pemberantasan Korupsi di Kuningan, Jakarta. Demikian
putusasanya rakyat sampai-sampai secara simbolis sebagian mereka memanfaatkan
bantuan anjing pelacak mengendus keberadaan pemimpin mereka.
Seperti layaknya anak-anak ayam yang
kehilangan induk, rakyat menggedor seluruh pojok Tanah Air, memanggil-manggil
nama presiden: ”SBY di mana engkau, rupa tiada suara sayup, hanya citramu
yang bergentayangan memenuhi kehampaan harapan!”
Sesungguhnya sudah cukup lama rakyat
Indonesia diterpa kegalauan, seperti menanti Godot, terus berharap-harap
cemas menantikan tibanya seorang ”Pemimpin Sejati”. Rakyat terus menanti di
setiap ti- kungan sejarah seorang pemimpin yang betul-betul memberikan
seluruh potensi serta gairah kepemimpinannya menakhodai mereka keluar dari kemelut
dan keterpurukan martabat dalam pergaulan dunia.
Silih-berganti penghuni Merdeka Utara dan
Senayan bersemayam di sana, tetapi yang tiba justru kekecewaan yang beruntun
tak henti-hentinya. Mereka yang berseliweran di dua tempat terhormat itu,
meminjam jargon Rocky Gerung, filosof muda UI, justru bukan political
leaders, melainkan hanya political dealers tunamartabat!
Fenomena
Jokowi-Basuki
Di tengah-tengah kegalauan, keputusasaan,
dan kehausan dalam penantian panjang tak berujung akan hadirnya pemimpin
sejati itu, tiba-tiba seorang dengan postur ringkih, seperti almarhum
Panglima Besar Soedirman, dengan ditemani oleh seorang pencinta rakyat
berkarakter seperti Laksamana Cheng-Ho, melangkah mantap memasuki arena
kontestasi kepemimpinan Ibu Kota Jakarta. Publik terkesima.
Secercah cahaya di ujung lorong penantian
membersitkan harapan. Masih ada orang-orang baik, berintegritas, dengan rekam
jejak konkret meniti dari bawah berhasil merebut simpati dan dukungan
mayoritas pemilih Pilkada 20 Oktober 2012 di ibu kota negara, etalase utama
perpolitikan nasional. Mereka berhasil mekar karena memar!
Peristiwa dan fenomena pada titik-titik
sejarah yang menentukan hanya dimungkinkan bila keadaan obyektif
bertemu-buku, saling bersambut dengan karakter subyektif kepemimpinan yang
dimiliki seseo- rang. Itulah yang terjadi dalam fenomena Joko Widodo
(Jokowi)-Basuki Tjahaja Purnama. Parpol pengusung hanya sekadar pemberikan
tiket politik dan elite politik hanya sekadar berperan sebagai faktor
lantaran, bukan faktor penyebab.
Fenomena Jokowi-Basuki tiba pada momen
sejarah yang tepat. Pasangan ini betul-betul merupakan kebalikan, antitesa
dari dan sekaligus jawaban atas kebobrokan elite politik nasional. Paling
kurang ada lima kebobrokan yang, terhadap elite politik nasional di Jakarta,
melahirkan atmosfer kemuakan yang meluas dan menyeluruh.
Pertama, kemuakan terhadap elite politik
Jakarta yang penuh dengan penga- turan simsalabim dagang-politik
transaksional tanpa malu.
Kedua, kemuakan rakyat terhadap elite
parpol nasional dan elite politik lokal yang bertingkah ajimumpung,
memaksimalkan pengurasan dana negara demi kas parpol dan keuntungan pribadi
para politisi secara vulgar tak terkendali.
Ketiga, kemuakan publik terhadap ko- rupsi
yang mewabah ke seluruh relung-relung kehidupan bangsa, khususnya di lembaga
pilar-pilar utama hukum, politik, dan ekonomi.
Keempat, kemuakan rakyat sudah begitu
menggunung terhadap politisasi agama yang sudah sampai pada titik
membahayakan keutuhan bangsa dan negara.
Akhirnya, kelima, rakyat sudah letih dan
muak pada kekerasan premanisme yang mengancam rasa aman dalam masyarakat dan
terus dibiarkan dan, malah dalam beberapa kasus, dimanfaatkan aparat hukum
yang berlagak pilon.
Daerah:
Rahim Kepemimpinan Baru
Ada lima pesan pelajaran utama yang dikirim
oleh fenomena kemenangan pasangan Jokowi-Basuki di Ibu Kota pada 20 Oktober
lalu kepada elite parpol nasional dan lokal. Pertama, ”Hentikan rekayasa
dagang sapi politik yang diatur-atur dari atas, drop-dropan oleh pusat,
Jakarta”. Kedua, ”Jangan pernah lagi menyepelekan kemelekan dan kecerdasan
politik rakyat!”
Ketiga, berupa pesan wanti-wanti, peri-
ngatan, ”Rakyat hanya menghargai dan siap memberikan mandat kepada pemimpin
yang mumpuni berdasarkan rekam jejak pengabdian tanpa pamrih, yang mekar
karena memar dari bawah, dan akan segera mencabut mandat dan menjatuhkan
secara demokratis para pemimpin berulat yang sudah kronis membusuk. Rakyat
seakan berkata: Kami tahu yang kami mau!”
Keempat, proses menjadi matang sebagai pemimpin
bukan proses instan, sak dheg sak nyet! Pemimpin tidak bisa diangkat dan
direstui layaknya putra/putri mahkota atau dicari lewat survei dan atau
bertanya kepada dukun politik mana pun hatta dengan sederet gelar akademis
sepanjang apa pun.
Yang terakhir, tetapi sangat sarat makna
dan menjanjikan: kini terbuka jalur alternatif perekrutan pemimpin nasional
dari kawah Candradimuka daerah. Suatu proses pelembagaan proses penggodokan
dan perekrutan calon pemimpin nasional terkuak dan terbuka lebar.
Sejak awal abad lalu hingga kini negeri ini
melahirkan sejumlah angkatan kepe- mimpinan dari beberapa ”rahim tradisional”.
Pertama, angkatan para pemimpin nasional
produk politik etis kolonial Belanda yang kemudian bergerak dalam berbagai
organisasi kedaerahan, keagamaan, dan kebangsaan. Mereka ini dikenal sebagai
”Kaum Pergerakan”.
Mereka tidak ujuk-ujuk muncul sebagai
pemimpin. Secara perlahan, bertahap, dan mengalir alamiah, kaum pergerakan
ini digodok estafet berkesinambungan kemampuan intelektual mereka di
bangku-bangku pendidikan dan kelompok-kelompok diskusi politik kebangsaan dan
di rumah-rumah pondokan politik, seperti kediaman HOS Tjokroaminoto di
Surabaya.
Rahim tradisional kedua dari kepemimpinan
nasional adalah berbagai organisasi pelajar dan mahasiswa nasional yang
berhasil melembagakan proses pengaderan bertahap lewat kerja-kerja dan
kiprah-kiprah konkret dalam pendalaman masalah-masalah kemaslahatan publik,
magang administrasi organisasi, dan latihan-latihan kepemimpinan secara
teratur berkala.
Dari rahim organisasi pelajar/mahasiswa
inilah lahir tokoh-tokoh muda nasional pada zamannya, seperti almarhum
Nurcholis Madjid, Cosmas Batubara, dan Akbar Tandjung. Mereka merayap dari
bawah secara bertahap dan kenyang dengan pengalaman berorganisasi secara
membumi.
Rahim tradisional ketiga adalah para
perwira Tentara Nasional Indonesia, khususnya Angkatan Darat, godokan militer
di Lembah Tidar. Lembah ini juga menyumbang secara signifikan
pemimpin-pemimpin nasional yang mumpuni secara birokratis militer, tetapi
banyak yang gagap secara sipil-demokratis. Tampuk kepemimpinan nasional
didaku oleh lulusan akademi militer ini sebagai ”hak-sejarah” mereka yang
sudah seharusnya demikian karena pernah punya ”peran-sejarah” yang menentukan
dalam pencapaian kemerdekaan bangsa.
Klaim itu jelas sepihak dan kebablasan
menonjolkan peran yang tidak seluruhnya putih-bersih. Banyak yang berlumuran
merah-darah, menyakitkan, dan traumatik bagi rakyat. Sesudah 1965, sukar
menemukan seorang jenderal yang bersih dari pelanggaran hak-hak asasi manusia
di salah satu pojok Tanah Air.
Namun, banyak dari mereka sukses dalam
karier militer dan jabatan pemerintahan. Walau sebagian dari mereka tercatat
sebagai pembunuh, penculik, dan penyiksa pihak-pihak yang tidak berdaya, ada
yang berhasil jadi gubernur, menteri, bahkan presiden.
Rahim
Kontemporer
Sesudah Reformasi 1998, muncullah sejumlah
kader pemimpin bangsa dari rahim kontemporer, dunia bisnis, swasta, ataupun
badan usaha milik negara. Mereka terkenal andal dan mumpuni dalam manajemen
mikro-perusahaan yang kemudian secara salah kaprah menerapkan prinsip-prinsip
mikro itu dalam lingkup pengelolaan makro nasional.
Mereka tidak sekadar melakukan silent take
over dari pengelolaan negara, baik di legislatif maupun di eksekutif, tetapi
secara demonstratif mengedepankan sepak terjang transaksional yang penuh
dengan perhitungan profit making, bukan service delivery yang dituntut dalam
birokrasi publik. Mereka sangat terlambat menyadari bahwa negara bukanlah
perusahaan! Lobi-lobi dan ulah mereka dalam mengamandemen Undang-Undang Dasar
1945 secara terang-terangan dan legal telah menjarah, baik tanah-tanah rakyat
maupun kekayaan alam Nusantara.
Akhirnya, kini, terbukalah rahim alternatif
kontemporer, baik proses maupun perekrutan calon pemimpin nasional: dari
kawah Candradimuka daerah-daerah. Pasangan Jokowi-Basuki menjadi
pionir-pionir dari para putra/putri terbaik bangsa yang merayap dari bawah.
Selain pasangan Jokowi-Basuki, ada juga pemimpin daerah sukses yang patut
dikedepankan, seperti mantan Bupati Solok dan mantan Gubernur Sumatera Barat
yang sekarang menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi.
Ada pula mantan wali kota Bitung, spesialis
pembenah provinsi-provinsi pascakonflik, Dr Sarundeng dari Sulawesi Utara.
Jalur Rahim alternatif kontemporer dari daerah inilah yang perlu ditoleh dan
dibuka kesempatan secara melembaga seluas-luasnya agar kita tidak lagi
dipimpin oleh para penyamun politik dari Jakarta.
Semoga bangsa ini dapat memetik harum manis
pemimpin yang matang di pohon, yang mekar karena memar, dan bukan pemimpin
instan, busuk berulat ataupun yang karbitan drop-dropan dari Jakarta. Amin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar