Kita Butuh
Pemimpin yang Kuat
( Wawancara )
Saifuddin Bantasyam ; Direktur Pusat Studi Perdamaian dan Resolusi
Konflik Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
|
KOMPAS,
27 Oktober 2012
Kekayaan yang paling nyata dari Indonesia
adalah keberagaman. Tak hanya suku bangsa, keberagaman pun hampir meliputi
segala segi di negeri ini. Sesungguhnya, keberagaman dapat menjadi modal bagi
kebesaran bangsa, asalkan ada kepemimpinan yang kuat, jujur, demokratis, dan
akuntabel.
Sebaliknya, di negara yang
begitu beragam ini, kepemimpinan yang lemah akan menghadirkan problem
kebangsaan yang kusut dan rumit. Masyarakat kehilangan kepercayaan, keadilan
hukum kehilangan tuannya, korupsi merajalela, dan kesejahteraan hanya mimpi
kosong bagi sebagian besar masyarakat.
”Karena itu, kepemimpinan
yang tangguh tak bisa ditawar-tawar lagi saat ini,” ucap Direktur Pusat Studi
Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh,
Saifuddin Bantasyam.
Berikut petikan wawancara
dengan Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsyiah di Banda Aceh,
Jumat (12/10).
Menurut Anda, apa
persoalan kebangsaan yang paling krusial di Indonesia saat ini?
Kepemimpinan. Indonesia
merupakan salah satu negara yang paling plural di dunia dari aspek apa pun.
Untuk dapat mengelolanya, diperlukan pemimpin yang tangguh. Namun, apa yang
terjadi sekarang, kita belum memiliki pemimpin yang ideal tersebut.
Kepemimpinan kita lemah. Ini memberikan efek pada munculnya persoalan yang
beragam pula di Indonesia, seperti yang sekarang terjadi.
Persoalan apa yang
menjadi turunan dari kepemimpinan yang lemah tersebut?
Pertama, korupsi. Itu
terjadi dari pusat hingga daerah. Korupsi adalah indikasi yang sangat mudah
dilihat dari buruknya kepemimpinan di negeri ini. Kontrol dan ketegasan yang
kurang dari pemimpin membuat upaya penegakan hukum terhadap pelaku korupsi
terkendala. Penegak hukum memainkan hukum semaunya. Kasus konflik Komisi
Pemberantasan Korupsi dengan Polri yang berlarut-larut serta pelemahan KPK
adalah salah satu indikasinya. Kepemimpinan yang lemah juga membuat kontrol
atas akuntabilitas birokrasi buruk.
Kondisi tersebut
memunculkan persoalan kedua, yaitu ketidakpercayaan (
Ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi Polri dalam kasus konflik KPK
versus Polri dapat dibaca sebagai bentuk ketidakpercayaan masyarakat kepada
negara. Polri dalam hal ini adalah representasi dari negara.
Jika ketidakpercayaan ini
terus berlanjut, perpecahan pun mengancam jika melihat betapa negara ini
sangat plural.
Ketiga adalah
ketidakstabilan negara. Ketidakpercayaan masyarakat akan berimbas pada
ketidakpercayaan daerah-daerah kepada pemerintah pusat yang mengancam
persatuan nasional.
Mengapa
kepemimpinan kita lemah?
Pertama, setelah reformasi
1998, sesungguhnya tak pernah terjadi regenerasi kepemimpinan di Indonesia.
Elite-elite politik yang berkuasa sebenarnya masih produk-produk lama. Tak
ada kerelaan dari mereka untuk menyingkir dari dunia politik. Mereka saling
menyandera kepentingan politik masing-masing. Akibatnya, kehadiran mereka
bukan sebagai solusi, melainkan justru sebagai pengganggu.
Kita lihat pada masa
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono ini. Begitu banyak orang lama dalam
kubunya yang tentunya tidak cukup progresif. Sebaliknya, justru saling
menyandera kepentingan SBY sendiri. Pemimpin-pemimpin politik yang lain yang
menjadi pesaingnya pun stok lama, seperti Megawati, Prabowo, dan Bakrie.
Kondisi tersebut melemahkan SBY sebagai pemimpin.
Kedua, pragmatisme politik
lebih ke depan daripada upaya menyelesaikan masalah kebangsaan. Elite-elite
politik di DPR lebih mengedepankan kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Terciptalah oligarki politik yang sangat pragmatis, yang bergandengan tangan
dengan kepentingan pengusaha. Para elite saling menyandera kepentingan.
Kondisi ini membuat SBY terjebak dan tak berdaya. Dan, masyarakat pun
kehilangan politisi yang negarawan.
Apa solusi ke depan
untuk menghadirkan pemimpin yang tangguh?
Kita dapat memulainya dari
upaya penyederhanaan kepartaian kita. Partai politik kita terlalu banyak.
Partai politik hanya sibuk bertarung memenangi
Mengapa kita
menjadi sangat bergantung pada partai politik untuk menghadirkan pemimpin
yang kuat?
Sebenarnya banyak calon
pemimpin muda yang potensial di luar partai politik yang ada di Indonesia
saat ini. Namun, umumnya calon pemimpin seperti ini tak memiliki dukungan
partai politik dan partai politik enggan untuk memilihnya. Padahal, dengan
sistem perundangan di Indonesia saat ini, nyaris hanya melalui partai politik
para calon pemimpin dapat ikut bertarung menjadi pemimpin di negara ini.
Ini semua tak terlepas
dari masih kuatnya orang-orang lama dalam jajaran elite politik saat ini.
Mereka belum rela untuk terjadi regenerasi. Mungkin, Indonesia harus memotong
generasi untuk melahirkan pemimpin muda yang kuat dan berkualitas.
Apa yang bisa
dilakukan
Kita semua harus terus
mengawasi dan bergerak. Masyarakat harus bersatu melalui berbagai cara untuk
menyuarakan dan mendesakkan kebenaran dan menolak ketidakadilan.
Dukungan kuat berbagai
elemen masyarakat kepada KPK terkait konflik antara lembaga tersebut dan
Polri adalah bukti gerakan bersama masyarakat mempunyai nilai positif dan
efektif bagi keadaan saat ini.
Kelompok intelektual juga
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar