Minggu, 28 Oktober 2012

Kita Butuh Pemimpin yang Kuat


Kita Butuh Pemimpin yang Kuat
( Wawancara )
Saifuddin Bantasyam ; Direktur Pusat Studi Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
KOMPAS, 27 Oktober 2012

  
Kekayaan yang paling nyata dari Indonesia adalah keberagaman. Tak hanya suku bangsa, keberagaman pun hampir meliputi segala segi di negeri ini. Sesungguhnya, keberagaman dapat menjadi modal bagi kebesaran bangsa, asalkan ada kepemimpinan yang kuat, jujur, demokratis, dan akuntabel.

Sebaliknya, di negara yang begitu beragam ini, kepemimpinan yang lemah akan menghadirkan problem kebangsaan yang kusut dan rumit. Masyarakat kehilangan kepercayaan, keadilan hukum kehilangan tuannya, korupsi merajalela, dan kesejahteraan hanya mimpi kosong bagi sebagian besar masyarakat.
”Karena itu, kepemimpinan yang tangguh tak bisa ditawar-tawar lagi saat ini,” ucap Direktur Pusat Studi Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Saifuddin Bantasyam.

Berikut petikan wawancara dengan Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsyiah di Banda Aceh, Jumat (12/10).

Menurut Anda, apa persoalan kebangsaan yang paling krusial di Indonesia saat ini?

Kepemimpinan. Indonesia merupakan salah satu negara yang paling plural di dunia dari aspek apa pun. Untuk dapat mengelolanya, diperlukan pemimpin yang tangguh. Namun, apa yang terjadi sekarang, kita belum memiliki pemimpin yang ideal tersebut. Kepemimpinan kita lemah. Ini memberikan efek pada munculnya persoalan yang beragam pula di Indonesia, seperti yang sekarang terjadi.

Persoalan apa yang menjadi turunan dari kepemimpinan yang lemah tersebut?

Pertama, korupsi. Itu terjadi dari pusat hingga daerah. Korupsi adalah indikasi yang sangat mudah dilihat dari buruknya kepemimpinan di negeri ini. Kontrol dan ketegasan yang kurang dari pemimpin membuat upaya penegakan hukum terhadap pelaku korupsi terkendala. Penegak hukum memainkan hukum semaunya. Kasus konflik Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Polri yang berlarut-larut serta pelemahan KPK adalah salah satu indikasinya. Kepemimpinan yang lemah juga membuat kontrol atas akuntabilitas birokrasi buruk.

Kondisi tersebut memunculkan persoalan kedua, yaitu ketidakpercayaan (distrust). Ketidakpercayaan masyarakat kepada negara, termasuk aparatusnya. 

Ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi Polri dalam kasus konflik KPK versus Polri dapat dibaca sebagai bentuk ketidakpercayaan masyarakat kepada negara. Polri dalam hal ini adalah representasi dari negara.

Jika ketidakpercayaan ini terus berlanjut, perpecahan pun mengancam jika melihat betapa negara ini sangat plural.

Ketiga adalah ketidakstabilan negara. Ketidakpercayaan masyarakat akan berimbas pada ketidakpercayaan daerah-daerah kepada pemerintah pusat yang mengancam persatuan nasional.

Mengapa kepemimpinan kita lemah?

Pertama, setelah reformasi 1998, sesungguhnya tak pernah terjadi regenerasi kepemimpinan di Indonesia. Elite-elite politik yang berkuasa sebenarnya masih produk-produk lama. Tak ada kerelaan dari mereka untuk menyingkir dari dunia politik. Mereka saling menyandera kepentingan politik masing-masing. Akibatnya, kehadiran mereka bukan sebagai solusi, melainkan justru sebagai pengganggu.

Kita lihat pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono ini. Begitu banyak orang lama dalam kubunya yang tentunya tidak cukup progresif. Sebaliknya, justru saling menyandera kepentingan SBY sendiri. Pemimpin-pemimpin politik yang lain yang menjadi pesaingnya pun stok lama, seperti Megawati, Prabowo, dan Bakrie. Kondisi tersebut melemahkan SBY sebagai pemimpin.

Kedua, pragmatisme politik lebih ke depan daripada upaya menyelesaikan masalah kebangsaan. Elite-elite politik di DPR lebih mengedepankan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Terciptalah oligarki politik yang sangat pragmatis, yang bergandengan tangan dengan kepentingan pengusaha. Para elite saling menyandera kepentingan. Kondisi ini membuat SBY terjebak dan tak berdaya. Dan, masyarakat pun kehilangan politisi yang negarawan.

Apa solusi ke depan untuk menghadirkan pemimpin yang tangguh?

Kita dapat memulainya dari upaya penyederhanaan kepartaian kita. Partai politik kita terlalu banyak. Partai politik hanya sibuk bertarung memenangi pemilu atau meraih kursi legislatif daripada memproduksi calon-calon pemimpin yang berkualitas. Itu dapat diawali dengan mengubah undang-undang yang ada. Selain dikurangi, partai politik juga harus dibersihkan. Korupsi juga berada di partai politik. Jika di partai politik saja masih korupsi, bagaimana saat di legislatif, dan bagaimana pula dapat menghasilkan pemimpin yang kuat dan bersih.

Mengapa kita menjadi sangat bergantung pada partai politik untuk menghadirkan pemimpin yang kuat?

Sebenarnya banyak calon pemimpin muda yang potensial di luar partai politik yang ada di Indonesia saat ini. Namun, umumnya calon pemimpin seperti ini tak memiliki dukungan partai politik dan partai politik enggan untuk memilihnya. Padahal, dengan sistem perundangan di Indonesia saat ini, nyaris hanya melalui partai politik para calon pemimpin dapat ikut bertarung menjadi pemimpin di negara ini.

Ini semua tak terlepas dari masih kuatnya orang-orang lama dalam jajaran elite politik saat ini. Mereka belum rela untuk terjadi regenerasi. Mungkin, Indonesia harus memotong generasi untuk melahirkan pemimpin muda yang kuat dan berkualitas.

Apa yang bisa dilakukan masyarakat sipil atas kondisi ini?

Kita semua harus terus mengawasi dan bergerak. Masyarakat harus bersatu melalui berbagai cara untuk menyuarakan dan mendesakkan kebenaran dan menolak ketidakadilan.

Dukungan kuat berbagai elemen masyarakat kepada KPK terkait konflik antara lembaga tersebut dan Polri adalah bukti gerakan bersama masyarakat mempunyai nilai positif dan efektif bagi keadaan saat ini.

Kelompok intelektual juga harus memainkan perannya. Mereka tak bisa hanya duduk di kampus. Intelektual harus observasi ke masyarakat, bergerak bersama masyarakat, menyampaikan kritisisme dan solusi melalui tulisan atau menyuarakan langsung untuk mendorong perubahan. Namun, intelektual sebagai elemen penting masyarakat sipil juga jangan mudah terjebak dalam pragmatisme. Dalam gerakan sosial politik, godaan pragmatisme ini begitu tinggi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar