Selasa, 30 Oktober 2012

Salah Kaprah “Presidential Threshold”


Salah Kaprah “Presidential Threshold”
Syamsuddin Haris ;  Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) 
SINDO, 30 Oktober 2012



Ketika berbagai elemen masyarakat tengah mencari peluang bagi munculnya calon presiden alternatif, politisi partai politik justru sibuk mengutak-atik angka persentase ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). 

Seolah-olah kualitas presiden mendatang hanya ditentukan oleh besar-kecilnya dukungan parpol atas calon presiden. Seperti berlaku pada Pemilu Presiden 2009, pencalonan presiden dan wakilnya hanya bisa dilakukan oleh parpol atau gabungan parpol yang memperoleh sekurangnya 25% perolehan suara secara nasional atau 20% kursi DPR. Persyaratan yang diatur dalam UU No 42/2008 ini tengah diperdebatkan, apakah persentasenya dikurangi, tetap, dihilangkan sama sekali, atau malah diperbesar. Perdebatan yang cenderung sia-sia dan menguras energi ini sebenarnya tidak perlu terjadi. 

Soalnya, pemberlakuan ambang batas tertentu dalam pencalonan presiden tidak lazim, apalagi jika dikaitkan dengan perolehan suara atau kursi parlemen. Secara teoritis, basis legitimasi seorang presiden dalam skema sistem presidensial tidak ditentukan oleh formasi politik parlemen hasil pemilu legislatif. Lembaga presiden dan parlemen dalam sistem presidensial adalah dua institusi terpisah yang memiliki basis legitimasi berbeda. Praktik yang lazim di negara- negara penganut sistem presidensial adalah pemberlakuan ambang batas minimum bagi keterpilihan presiden. 

Dengan kata lain, konteks pemberlakuan “presidential threshold”—kalaupun istilah ini hendak digunakan—bukanlah untuk membatasi pencalonan presiden, melainkan dalam rangka menentukan persentase suara minimum untuk keterpilihan seorang presiden. Dalam konteks Indonesia, prasyarat “presidential threshold” sudah sangat jelas dan terang benderang dalam konstitusi. Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 hasil amendemen mengamanatkan: “Pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen (50%) dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen (20%) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia dilantik menjadi presiden dan wakil presiden”. 

Adu Panco

Salah kaprah ini semestinya tak perlu terjadi jikapolitisidan petinggi parpol membuka diri terhadap kritik serta tidak terperangkap ke dalam egoisme sempit masingmasing parpol. Akibatnya, yang muncul adalah “debat kusir” karena sikap parpol hanya bertolak dari posisi subjektif dan kepentingan jangka pendek kekuasaan. 

Partai Golkar dan PDI Perjuangan misalnya cenderung mengusulkan ambang batas pencalonan presiden yang relatif tinggi karena terlalu percaya diri dengan elektabilitas masing-masing seperti dikonfirmasi oleh sejumlah survei publik. Seakan-akan hasil survei hari ini otomatis akan mencerminkan hasil pemilu legislatif dua tahun mendatang. Sebaliknya, parpol kecil dan menengah, kecuali PAN dan PKB, mengusulkan ambang batas dengan persentase minimum dengan harapan ketua umum masing-masing bisa diusung sebagai capres. 

Hampir tidak satu pun petinggi parpol yang berbicara soal kebutuhan kepemimpinan nasional dalam konteks berbagai tantangan besar, krusial, dan strategis yang bakal dihadapi bangsa kita kedepan. Juga tidak satu parpol yang secara ksatria membuka diri terhadap sumber-sumber kepemimpinan lain di luar parpol. Posisi sebagai pemimpin/ ketua umum seolah-olah menjadi satu-satunya tiket yang sah untuk menjadi calon presiden. Pemilihan presiden akhirnya terdistorsi sekadar sebagai kontes “adu panco” para pemimpin/ ketua umum parpol, siapa kira-kira yang meraih “keplok” terbanyak di antara mereka. 

Realitas ini sangat memprihatinkan karena isuisu strategis bangsa kita terkait pengurasan sumber daya alam yang tidak terkendali, krisis energi, krisis pangan,dan aneka krisis kemanusiaan lainnya yang tengah mengancam bangsa kita tidak tersentuh dalam perdebatan parpol tentang pemilu presiden. Isu-isu strategis itu bahkan cenderung diperlakukan sekadar alas kaki kekuasaan karena hanya dipidatokan sebagai “visi dan misi” yang tidak pernah sungguh-sungguh diperjuangkan ketika para kandidat terpilih. 

Tidak Relevan 

Karena itu, perdebatan yang cenderung sia-sia tentang persentase ambang batas pencalonan presiden perlu segera diakhiri. Sudah waktunya energi parpol dicurahkan untuk merumuskan agenda perubahan signifikan yang diperlukan negeri ini agar bisa bertahan di tengah arus persaingan global yang cenderung saling membinasakan saat ini. 

Terlalu mahal ongkos sosial dan politik yang harus dibayar bangsa ini jika para petinggi parpol tidak kunjung insaf atas kekeliruan mereka memperdebatkan persyaratan ambang batas pencalonan presiden yang tidak relevan dalam skema presidensial. Jadi,masalah parpol bukanlah sekadar memperdebatkan ambang batas pencalonan ataupun mencari calon presiden yang memiliki tingkat elektabilitas tinggi dan basis dukungan parpol yang luas. Seperti dikemukakan sebelumnya, siapa pun yang terpilih sebagai presiden harus memenuhi persyaratan kemenangan lebih dari 50% dengan tingkat penyebaran dukungan sesuai amanat Pasal 6A ayat (3) UUD 1945.

Persyaratan ambang batas pencalonan presiden yang didasarkan pada perolehan suara atau kursi parpol di DPR pada dasarnya merupakan praktik anomali dalam skema presidensial. Apalagi konstitusi kita sudah menjamin, DPR di satu pihak dan presiden di lain pihak tidak bisa saling menjatuhkan di antara mereka. Yang jauh lebih penting dipikirkan parpol pertama-tama adalah merumuskan agenda perubahan signifikan yang diperlukan bangsa ini untuk lima hingga 20 tahun ke depan. Setelah agenda perubahan dirumuskan secara jelas,baru kemudian parpol mencari figur—dari internal ataupun eksternal parpol— yang dianggap mampu dan layak memperjuangkan dan mewujudkannya. 

Dalam kaitan ini, UU Pilpres mestinya tidak sekadar memfasilitasi para pimpinan/ketua umum parpol menjadi capres, tapi juga hendaknya membuka peluang sebesar-besarnya bagi tokoh terbaik dari luar parpol. Jika tidak,yang berlangsung akhirnya tak lebih dari pergantian kekuasaan presiden secara lima tahunan tanpa perbaikan signifikan bagi kehidupan bangsa kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar