Dimensi
Multikultural Kurban
Faozan Amar ; Direktur Al Wasath
Institute dan Dosen Studi Islam UHAMKA
|
SINDO,
26 Oktober 2012
Setiap bulan Zulhijah, umat
Islam di seluruh belahan dunia melaksanakan ritual ibadah haji dan kurban.
Ibadah haji dilaksanakan di tanah suci Mekkah. Sedangkan ibadah kurban
dilaksanakan tidak hanya Tanah Suci, tetapi juga dapat dilakukan di belahan
dunia mana pun.
Kata kurban atau korban, berasal dari bahasa Arab qurban, diambil dari kata: qaruba (fi’il madhi)–yaqrabu (fi’il mudhari’)– qurban wa qurbaanan (mashdar).Artinya,mendekati atau menghampiri (Matdawam, 1984). Menurut istilah, qurban adalah segala sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah baik berupa hewan sembelihan maupun yang lainnya (Ibrahim Anis et.al,1972). Ibadah kurban merupakan tradisi turuntemurun yang telah dirintis dan dilaksanakan pertama kali oleh Nabi Ibrahim AS, istrinya Siti Hajar, serta putranya, Nabi Ismail AS. Sebagai ibadah, tradisi pelaksanaan ibadah kurban tidak hanya berdimensi spiritual, tetapi juga di dalamnya mengandung dimensi kemanusiaan,sosial, dan multikultural. Ada beberapa dimensi multikultural yang dapat dilihat dan dipetik hikmahnya dari pelaksanaan ibadah kurban. Pertama, perintah berkurban melalui mimpi yang diberikan kepada Nabi Ibrahim AS,dapat terlaksana karena adanya penyampaian pesan dan dialog yang sangat baik yang dilakukan oleh Ibrahim selaku kepala keluarga. Ia menceritakan perintah menyembelih Ismail kepada istri dan anaknya. Sesuatu yang sangat tidak mereka kehendaki,sebab mereka adalah pasangan suami istri yang telah berpuluh-puluh tahun mendambakan anak keturunan. Namun karena adanya kesamaan visi bahwa “menyembelih” Ismail merupakan perintah berkurban yang datangnya dari Allah SWT, ketetapan hati di antara ketiga orang tersebut memuluskan jalan dalam melaksanakan ibadah kurban. Sekalipun syaitan menggoda ketiganya secara terus menerus dengan tujuan utama menggagalkan pelaksanaan perintah berkurban. Sehingga untuk menghalau godaan syaitan tersebut,ketiganya melempari setan, yang kemudian menjadi salah satu amalan ibadah haji, yakni melempar jumrah. Hal ini sebagaimana dijelaskan dengan sangat apik dalam surat As Shafat 102-106. Kedua, pada jenis hewan yang akan dikurbankan. Karena kemampuan ekonomi setiap masyarakat berbeda, hewan yang dijadikan untuk kurban pun, beraneka macam. Allah berfirman: “…supaya mereka menyebut nama Allah terhadap hewan ternak (bahimatul an’am) yang telah direzekikan Allah kepada mereka.” (QS Al Hajj : 34). Dalam bahasa Arab, kata bahimatul an’am diartikan sebagai binatang ternak, yakni unta, sapi, dan kambing/atau domba. Selain tiga hewan tersebut, misalnya ayam,itik,dan ikan,tidak boleh dijadikan kurban (Sabiq, 1987; Al Jabari, 1994). Prof.Mahmud Yunus dalam kitabnya Al Fiqh Al Wadhih III/3 membolehkan berkurban dengan kerbau (jamus), sebab disamakan dengan sapi. Hal ini karena di Indonesia, kerbau juga banyak dijadikan hewan ternak peliharaan. Seekor unta, sapi atau kerbau boleh digunakan untuk berkurban tujuh orang. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Seekor kambing berlaku untuk satu orang. Tak ada kurban patungan (berserikat) untuk satu ekor kambing. Sedangkan seekor unta atau sapi, boleh patungan untuk tujuh orang” (HR. Muslim). Bahkan, tujuh orang tersebut tidak harus berasal dari satu anggota keluarga. Artinya, boleh mengajak teman atau tetangga untuk berkurban bersama. Ketiga,penyembelih hewan kurban. Syariat Islam memerintahkan bahwa keutamaan yang menyembelih hewan kurban adalah orang yang berkurban itu sendiri, sekalipun dia seorang perempuan. Jadi, ada kesetaraan gender. Namun, andaikan yang bersangkutan tidak bisa menyembelih sendiri, boleh diwakilkan kepada orang lain, dan disunahkan bagi yang berkurban menyaksikan penyembelihan itu (Matdawam, 1984; Al Jabari,1994). Syarat penyembelih (Adz Dzaabih), yaitu setiap muslim, meskipun anak-anak, tapi harus yang mumayyiz (berusia sekitar tujuh tahun). Namun, andaikan di antara orang muslim tersebut tidak ada yang memiliki keahlian sebagai penyembelih, maka boleh penyembelih itu seorang ahli kitab( orang Yahudi dan Nasrani). Sebab hasil sembelihan ahli kitab, dagingnya adalah halal. (Al Jabari,1994). Dengan demikian, kerja sama dengan orang yang berbeda agama dalam hal menyembelih hewan kurban adalah dibenarkan. Selama memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, sehingga memudahkan setiap muslim dalam melaksanakan ibadah kurban secara baik dan benar. Keempat, penerima daging kurban. Setelah penanganan hewan kurban selesai, daging kurban harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Syariat Islam memberikan guidence, disunahkan bagi orang yang berkurban, untuk memakan daging kurban,dan menyedekahkannya kepada orang-orang fakir miskin,serta menghadiahkan kepada karib kerabat. Nabi SAW bersabda: “Makanlah daging kurban itu, dan berikanlah kepada fakirmiskin, dan simpanlah.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi). Dalam hadis tersebut, selama orang itu masuk dalam kategori fakir dan miskin, dengan tanpa melihat suku dan agamanya maka ia berhak untuk mendapatkan daging kurban, sehingga tidak ada diskriminasi bagi para penerima daging kurban. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Ibnu Qudamah (mazhab Hambali) serta Al Hasan dan Abu Tsaur (ulama Hanafiyah) yang membolehkan orang nonmuslim untuk menerima daging kurban (Al Jabari,1994). Berdasarkan uraian tersebut, ibadah kurban dapat terlaksana dengan baik manakala dapat mengimplementasikan nilai-nilai kebersamaan (gotong royong), sekalipun dengan orang yang berbeda keyakinan dan tradisi (multikultural). Orang yang berkurban,hendaknya ikhlas melaksanakannya karena Allah semata (lillahi ta’ala), yang lahir dari ketakwaan yang mendalam. Bukan berkurban karena riya`, agar dipuji-puji sebagai orang kaya dan dermawan, atau politisi yang peduli rakyat,dan sebagainya. Sebab, kata Allah SWT : “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan daripada kamulah yang mencapainya” (QS Al Hajj : 37). Wallahua’lam. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar