Selasa, 30 Oktober 2012

Membedah RUU KUHP 2012


Membedah RUU KUHP 2012
Romli Atmasasmita ;  Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran (Unpad) 
SINDO, 29 Oktober 2012
  

Upaya pemerintah menggantikan Undang- Undang(UU) Republik Indonesia (RI) Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dengan RUU KUHAP 2012 merupakan hal wajar.

Perubahan terpenting yang ditonjolkan pemerintah adalah memasukkan hakim komisaris (HK) sebagai figur sentral dalam sistem peradilan pidana Indonesia dengan harapan figur HK dapat mengemban tugasnya jauh lebih baik dari lembaga praperadilan dalam KUHAP 1981. Perbedaan signifikan lain dalam RUU KUHAP yaitu kembali kepada model HIR yaitu sistem pengawasan berjenjang. Sistem ini menempatkan penyidik dan jaksa di bawah pengawasan hakim di satu sisi dan menempatkan penyidik Polri di bawah supervisi jaksa di sisi lain.

Sistem dalam RUU KUHAP berbanding terbalik dengan sistem KUHAP yang menempatkan ketiga lembaga penegak hukum memiliki kedudukan setara sejalan dengan perkembangan pasca kemerdekaan terutama di era demokratisasi sistem pemerintahan saat ini.Kewenangan HK memperbaiki surat dakwaan penuntut dan mengembalikannya kepada penuntut termasuk ciri khas model HIR. Perubahan dalam RUU KUHAP membawa dampak negatif yaitu efektivitas dan efisiensi penegakan hukum akan terhambat.

Secara administratif langkah hukum penyadapan dijadikan salah satu objek penilaian HK terhadap tindak pidana serius yang mengancam stabilitas keamanan negara dan masyarakat,stabilitas ekonomi nasional, dan merugikan perlindungan hak asasi korban enam belas jenis tindak pidana. Sebagai contoh,keberhasilan KPK menjerat koruptor justru lebih banyak berasal dari penyadapan dibandingkan dengan langkah penyelidikan dan penyidikan. Begitupula kemungkinan mengantisipasi ancaman keamanan negara, narkotika, terorisme, dan sebagainya.

Apalagi tenggat waktu hakim komisaris melaksanakan tugasnya untuk keenam belas jenis tindak pidana sangat sempit (tiga hari) sehingga mustahil dapat mencapai tujuan RUU KUHAP ini. Adapun pengecualian terhadap proses izin atau persetujuan HK dalam RUU KUHAP justru menjadi kontraproduktif terhadap perlindungan hak asasi korban itu sendiri. Perubahan KUHAP seharusnya diletakkan pada efisiensi dan efektivitas sistem peradilan pidana (SPP) lebih besar dibandingkan semata-mata beban yang sangat besar pada seorang HK untuk melindungi hak tersangka.

Kerugian keberadaan figur sentral HK dalam SPP versi RUU KUHAP melemahkan agenda pemerintah dalam mempercepat pemberantasan kejahatan transnasional terutama korupsi dan terorisme. Jika RUU KUHAP lolos di DPR RI, yang akan terjadi adalah konflik kelembagaan antara penegak hukum satu sama lain. Konflik yang akan terjadi sama sebangun dengan konflik antara Polri dan KPK dalam rangka koordinasi dan supervisi. Kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum juga ditentukan oleh efektif dan efisien tidaknya koordinasi dan kerja sama aktif antarlembaga penegak hukum dimaksud.

Hal itu sepenuhnya ditentukan pula oleh seberapa besar RUU KUHAP memperkuat sinergi dan koordinasi antara lembaga penegak hukum itu sendiri,bukan sebaliknya. Rekonstruksi SPP terhadap KUHAP 1981 dengan RUU KUHAP 2012 dapat dipastikan menimbulkan stagnasi kinerja penegakan hukum di Tanah Air karena tidak mempertimbangkan asas proporsionalitas dan asas subsidiaritas dalam pembentukan undang-undang pidana (remmelink).

HK bahkan akan mengalami kegamangan oleh tuntutan para pencari keadilan yang merasa hakhaknya telah “dirampas” oleh oknum aparatur penegak hukum khususnya terhadap penyadapan dalam keenam belas jenis tindak pidana tersebut dalam Pasal 83 ayat (2). Sistem pengawasan berbasis kinerja penyidik dan penuntut melalui penilaian seorang hakim komisaris adalah sangat ideal sekalipun di negara maju seperti di Prancis dan Belanda sistem ini belum terbukti keberhasilannya dengan tolok ukur yang jelas.

Masalah terpenting dalam konteks perlindungan HAM tersangka adalah tenggat waktu masa penahanan sejak di tingkat penyidikan sampai putusan memperoleh kekuatan hukum tetap. Ternyata RUU KUHAP baru mengabaikan hal tersebut. Terbukti RUU KUHAP memerlukan selama 305 hari, tidak beda jauh dengan KUHAP1981, selama 400 hari,dalam arti tidak mencapai setengah dari tenggat waktu KUHAP 1981.

RUU KUHAP yang menggantungkan peran sentral hakim komisaris dalam lima langkah projustisia (penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan, dan penyadapan) tersebut hanya akan melumpuhkan secara total kinerja lembaga penegak hukum dan lembaga intelijen dalam mempertahankan negara dan tegaknya negara hukum dalam menghadapi kejahatan transnasional terorganisasi.

RUU KUHAP yang berbau Prancis dan Belanda itu perlu dikaji ulang dalam konteks penegakan hukum di bumi Nusantara ini. Jika RUU KUHAP 2012 dengan kewenangan tunggal seorang hakim komisaris lolos di DPR RI, segala kewenangan yang berlaku selama ini khususnya pada KPK berdasarkan UU Tahun 2002 dan UU Intelijen Tahun 2011 tidak berlaku sejalan dengan asas lex posteriori derogat lege priori. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar