Selasa, 30 Oktober 2012

APBN dan Idul Adha


APBN dan Idul Adha
Iman Sugema ;  Ekonom
REPUBLIKA, 29 Oktober 2012



Apa hubungan antara Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan Idul Adha? Mungkin, kalau saya tanyakan hal tersebut pada setiap orang yang saya jumpai, jawabannya pasti mayoritas adalah "Sampeyan ini ada-ada saja. Kokya iseng banget ya." Buat saya pribadi, hal ini sangat penting dalam konteks meluruskan pembangunan bangsa yang kadung sudah banyak bengkoknya. Jiwa jalan lurus itu sudah terlalu lama hilang dari bangsa Indonesia yang konon mayoritas Muslim. Salah satu momen untuk mengingat kembali pentingnya berjiwa lurus, tulus, dan ikhlas adalah Hari Raya Idul Adha.
Mumpung, pengesahan APBN berdekatan dengan hari raya tersebut.
Sejatinya, Hari Raya Idul Adha berkaitan dengan perin- tah dari Allah kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih putranya, yakni Nabi Ismail. Perintah itu datang melalui mimpi tiga kali berturut-turut. Ketika Nabi Ibrahim mengutarakan perintah tersebut maka putranya dengan lirih menjawab bahwa kalau itu perintah Allah, ia akan dengan ikhlas mengikutinya. Singkatnya, ketika penyembelihan itu dilakukan maka Allah mengganti Nabi Ismail dengan seekor domba. Yang tersembelih adalah seekor domba.
Setidaknya, ada dua makna kurban yang sangat relevan bagi para pejabat publik yang merancang dan menggunakan APBN. Yang pertama adalah esensi untuk siapa kita berkurban yang paralel dengan esensi untuk siapa presiden dan DPR merancang APBN. Yang kedua, berkaitan dengan balasan Allah atas tindakan bapak dan anak tersebut yang paralel dengan hasil akhir dari APBN. Mari kita bahas satu per satu hal tersebut.
Ketika Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menyembelih Nabi Ismail maka itu merupakan sebuah ujian, apakah mereka berdua lebih mencintai Allah dibandingkan kecintaannya pada diri mereka sendiri. Sebagai makhluk yang tunduk kepada Sang Khalik, mereka ternyata memperlihatkan kecintaan kepada Allah jauh di atas mereka sendiri.
Coba kita hubungkan dengan sumpah jabatan setiap pejabat publik yang selalu diawali dengan "demi Allah" bagi yang Muslim atau "demi Tuhan" bagi yang non-Muslim. Ketika kita mengucap sumpah seperti itu maka kita sebagai pejabat publik tidak hanya menjadikan Allah sebagai the ultimate witness dalam persumpahan tersebut, tetapi sumpah itu sendiri adalah sebuah pengikatan antara diri kita sendiri dan Sang Khalik. Artinya, segala sesuatu yang kita ucapkan dalam sumpah tersebut seyogianya dimaknai sebagai `persembahan' kepada Allah yang kita cintai. Kata "demi" hampir selalu berkaitan persembahan untuk yang kita cintai.
Tidak percaya? Coba kita simak kalimat berikut ini. Ketika kita memberi setangkai bunga mawar kepada pacar kita maka yang terucap biasanya adalah "demi engkau yang tersayang kupersembahkan bunga ini". Ketika seorang suami banting tulang tiada lelah mengais rezeki dan ditanya mengapa ia melakukan hal tersebut maka pasti ia menjawab "demi anak dan istriku".
Coba kita tanya kepada para pejabat yang merancang dan mengesahkan APBN, "demi" siapakah APBN dibuat? Pasti jawabanya 100 persen "demi rakyat". Ketika Anda mendengar jawaban tersebut maka Anda akan mencibir tidak percaya. Kenyataannya, mayoritas kita menganggap anggaran dibuat demi kepentingan pribadi, parpol, atau perkoncoan. Bukan demi rakyat.
Kalau benar APBN itu demi rakyat, tak mungkin terjadi kasus proyek Hambalang. Tak mungkin ada mafia anggaran di Banggar DPR. Tak mungkin ada kasus Gayus Tambunan. Terlalu banyak kasus yang menunjukan bahwa APBN dibuat bukan demi rakyat. Bagi pejabat publik yang beragama Islam, mestinya APBN adalah perwujudan dari "demi Allah". Allah adalah yang paling kita cintai dan sekaligus paling kita takuti. Kalau kita sudah sampai pada penghayatan bahwa Allah yang paling kita cintai maka akan dengan mudah kita mengesampingkan kecintaan kita kepada diri kita sendiri. Kalau kita dapat mengesampingkan kecintaan pada diri kita sendiri, bukankah dengan mudah kita mengedepankan kepentingan rakyat?
Makna kurban yang sejati adalah peniadaan kecintaan kepada diri sendiri. Sayangnya, itu pula yang sering kita lupakan ketika kita menjadi pejabat publik.
Makna yang kedua adalah balasan dari Allah kepada Nabi Ibrahim dan Ismail. Peristiwa tersebut oleh Allah dijadikan sebagai hari raya terbesar umat Islam sampai akhir zaman. Keistimewaan mereka berdua telah menyebabkan kita sebagai umat Nabi Mu - ham mad diperintahkan untuk selalu mengingat peristiwa tersebut setiap tahun dengan diiringi gegap gempita takbir.
Kalau kita sebagai pejabat publik mampu merumuskan "APBN demi Allah" atau "APBN demi rakyat" dalam arti yang sesungguhnya maka rakyat akan mengingatnya selamanya. Coba kita lihat, siapa sihyang tidak tahu Soekarno- Hatta, sang proklamator? Setiap tahun ada acara 17-an di mana kita bersama-sama secara gegap gempita mengulang-ulang kalimat proklamasi.
Saya mau tanya, ada nggak pejabat publik yang setiap saat masyarakat ingin mengingatnya sebagai orang yang paling berjasa dalam merancang dan menerapkan APBN untuk rakyat? Saya berharap, suatu saat akan ada pejabat yang demikian. Semoga Allah meridai bangsa Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar