APBN dan Idul
Adha
Iman Sugema ; Ekonom
|
REPUBLIKA,
29 Oktober 2012
Apa hubungan antara Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) dengan Idul Adha? Mungkin, kalau saya tanyakan hal tersebut pada
setiap orang yang saya jumpai, jawabannya pasti mayoritas adalah
"Sampeyan ini ada-ada saja. Kokya iseng banget ya." Buat saya
pribadi, hal ini sangat penting dalam konteks meluruskan pembangunan bangsa
yang kadung sudah banyak bengkoknya. Jiwa jalan lurus itu sudah terlalu lama
hilang dari bangsa Indonesia yang konon mayoritas Muslim. Salah satu momen
untuk mengingat kembali pentingnya berjiwa lurus, tulus, dan ikhlas adalah
Hari Raya Idul Adha.
Mumpung, pengesahan APBN berdekatan dengan hari raya tersebut.
Sejatinya,
Hari Raya Idul Adha berkaitan dengan perin- tah dari Allah kepada Nabi
Ibrahim untuk menyembelih putranya, yakni Nabi Ismail. Perintah itu datang
melalui mimpi tiga kali berturut-turut. Ketika Nabi Ibrahim mengutarakan
perintah tersebut maka putranya dengan lirih menjawab bahwa kalau itu
perintah Allah, ia akan dengan ikhlas mengikutinya. Singkatnya, ketika
penyembelihan itu dilakukan maka Allah mengganti Nabi Ismail dengan seekor
domba. Yang tersembelih adalah seekor domba.
Setidaknya,
ada dua makna kurban yang sangat relevan bagi para pejabat publik yang
merancang dan menggunakan APBN. Yang pertama adalah esensi untuk siapa kita
berkurban yang paralel dengan esensi untuk siapa presiden dan DPR merancang
APBN. Yang kedua, berkaitan dengan balasan Allah atas tindakan bapak dan anak
tersebut yang paralel dengan hasil akhir dari APBN. Mari kita bahas satu per
satu hal tersebut.
Ketika
Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menyembelih Nabi Ismail maka itu
merupakan sebuah ujian, apakah mereka berdua lebih mencintai Allah dibandingkan
kecintaannya pada diri mereka sendiri. Sebagai makhluk yang tunduk kepada
Sang Khalik, mereka ternyata memperlihatkan kecintaan kepada Allah jauh di
atas mereka sendiri.
Coba
kita hubungkan dengan sumpah jabatan setiap pejabat publik yang selalu
diawali dengan "demi Allah" bagi yang Muslim atau "demi Tuhan"
bagi yang non-Muslim. Ketika kita mengucap sumpah seperti itu maka kita
sebagai pejabat publik tidak hanya menjadikan Allah sebagai the ultimate witness dalam persumpahan
tersebut, tetapi sumpah itu sendiri adalah sebuah pengikatan antara diri kita
sendiri dan Sang Khalik. Artinya, segala sesuatu yang kita ucapkan dalam
sumpah tersebut seyogianya dimaknai sebagai `persembahan' kepada Allah yang
kita cintai. Kata "demi" hampir selalu berkaitan persembahan untuk
yang kita cintai.
Tidak
percaya? Coba kita simak kalimat berikut ini. Ketika kita memberi setangkai
bunga mawar kepada pacar kita maka yang terucap biasanya adalah "demi
engkau yang tersayang kupersembahkan bunga ini". Ketika seorang suami
banting tulang tiada lelah mengais rezeki dan ditanya mengapa ia melakukan
hal tersebut maka pasti ia menjawab "demi anak dan istriku".
Coba
kita tanya kepada para pejabat yang merancang dan mengesahkan APBN,
"demi" siapakah APBN dibuat? Pasti jawabanya 100 persen "demi
rakyat". Ketika Anda mendengar jawaban tersebut maka Anda akan mencibir
tidak percaya. Kenyataannya, mayoritas kita menganggap anggaran dibuat demi
kepentingan pribadi, parpol, atau perkoncoan. Bukan demi rakyat.
Kalau
benar APBN itu demi rakyat, tak mungkin terjadi kasus proyek Hambalang. Tak
mungkin ada mafia anggaran di Banggar DPR. Tak mungkin ada kasus Gayus
Tambunan. Terlalu banyak kasus yang menunjukan bahwa APBN dibuat bukan demi
rakyat. Bagi pejabat publik yang beragama Islam, mestinya APBN adalah
perwujudan dari "demi Allah". Allah adalah yang paling kita cintai
dan sekaligus paling kita takuti. Kalau kita sudah sampai pada penghayatan
bahwa Allah yang paling kita cintai maka akan dengan mudah kita mengesampingkan
kecintaan kita kepada diri kita sendiri. Kalau kita dapat mengesampingkan
kecintaan pada diri kita sendiri, bukankah dengan mudah kita mengedepankan
kepentingan rakyat?
Makna
kurban yang sejati adalah peniadaan kecintaan kepada diri sendiri. Sayangnya,
itu pula yang sering kita lupakan ketika kita menjadi pejabat publik.
Makna yang kedua adalah balasan dari Allah kepada Nabi Ibrahim dan Ismail. Peristiwa tersebut oleh Allah dijadikan sebagai hari raya terbesar umat Islam sampai akhir zaman. Keistimewaan mereka berdua telah menyebabkan kita sebagai umat Nabi Mu - ham mad diperintahkan untuk selalu mengingat peristiwa tersebut setiap tahun dengan diiringi gegap gempita takbir.
Kalau
kita sebagai pejabat publik mampu merumuskan "APBN demi Allah" atau
"APBN demi rakyat" dalam arti yang sesungguhnya maka rakyat akan
mengingatnya selamanya. Coba kita lihat, siapa sihyang tidak tahu Soekarno-
Hatta, sang proklamator? Setiap tahun ada acara 17-an di mana kita
bersama-sama secara gegap gempita mengulang-ulang kalimat proklamasi.
Saya
mau tanya, ada nggak pejabat publik yang setiap saat masyarakat ingin
mengingatnya sebagai orang yang paling berjasa dalam merancang dan menerapkan
APBN untuk rakyat? Saya berharap, suatu saat akan ada pejabat yang demikian.
Semoga Allah meridai bangsa Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar