Menjajaki
Pemilu Serentak
Effendi Gazali ; Peneliti Komunikasi Politik
|
KOMPAS,
31 Oktober 2012
Salah satu inti komunike bersama tokoh
lintas agama pada September lalu adalah kemarahan terhadap korupsi politik.
Mereka berpendapat bahwa pelemahan KPK dimotivasi oleh keterlenaan atau
kekhawatiran politisi akan dana persiapan Pemilu 2014.
Terlena sebab politisi merasa sebelumnya
cukup mudah mendapatkan dana melalui korupsi politik beramai-ramai. Khawatir
karena Pemilu 2014 sudah dekat, sementara kemungkinan korupsi politik ditutup
oleh KPK.
Pada negeri yang tak sungguh-sungguh
memiliki semacam komisi rekonsiliasi dan kebenaran, titik nol pemberantasan
ko- rupsi sering tidak jelas tegas. Aparat pene- gak hukum bisa merambah ke
zona waktu sebelumnya sekaligus merangsek korupsi terbaru. Karena hanya
sebagian kecil dari beban puluhan ribu laporan atau temuan yang sempat
diolah, segera mencuat teri- akan tebang pilih. Mengapa orang tertentu saja? Mengapa
yang jumlah uangnya hanya segini? Sebagian bilang bahwa yang terkena hukuman
kebetulan sedang apes.
Di tengah kebuncahan masa lalu dan masa
kini itu, tentu sorotan ke masa depan untuk mencegah atau mengurangi korupsi
politik amat diperlukan. Tantangan utamanya: biaya politik dan politik uang
pada pemilihan umum. Kami peneliti komuni- kasi politik serius berpikir bahwa
pemilu serentak pada 2014 adalah keniscayaan yang amat perlu dijajak dan
didesak secara nasional.
Cegah Suap
Dengan pemilu serentak pada 2014, setiap
kita akan menghadapi enam kotak di tempat pemungutan suara. Kotak pertama
untuk pemilu presiden. Kotak kedua untuk pemilu legislatif (DPR) pusat. Kotak
ketiga untuk pemilu legislatif tingkat satu. Kotak keempat untuk pemilu
legislatif tingkat dua. Kotak kelima untuk pemilu senator (DPD). Kotak keenam
untuk pemilihan kepala daerah. Tentu beberapa daerah tidak memerlukan pemilu
legislatif tingkat dua sehingga kotak suara di situ hanya lima.
Terdapat beberapa manfaat pemilu serentak.
Pertama, penghematan APBN dan APBD. Setidaknya efisiensi akan menca- kup
tujuh hal: pemutakhiran data pemilih, sosialisasi, perlengkapan TPS,
distribusi logistik, perjalanan dinas, honorarium, dan uang lembur. Ferry
Kurnia, komisio- ner KPU, memperkirakan lebih kurang Rp 22 triliun bisa
dihemat. Belum lagi penghematan di tingkat daerah dengan 530 pilkada.
Kedua, arah kaderisasi dan pembangunan
kapabilitas politik lebih jelas. Dengan adanya pemilu serentak, tiap partai
politik jauh-jauh hari harus memetakan siapa yang bertarung di level dan
daerah mana. Jangan seperti sekarang, ada poli- tisi yang terkesan mencari
peruntungan ke mana-mana. Maju ke tingkat pilpres, lalu coba lagi di pilkada
di satu provinsi, terus pindah mengadu nasib ke provinsi lain. Spekulasi bahwa
seorang kepala daerah akan menelantarkan rakyatnya karena bisa tiap saat
sesukanya maju ke pilkada atau bahkan pilpres bisa dikurangi.
Dari kedua poin ini kita bisa pula men-
cegah biaya politik dan politik uang yang telah terbukti amat ganas. Ganjar
Pranowo pernah menyebut angka Rp 1,2 triliun yang dihabiskan dua kandidat
pada suatu pilkada. Menyangkut pilpres, selama ini kita tak pernah meyakini
berapa biaya kampanye riil. Apalagi soal politik uang yang amat kita yakini
baunya, tetapi hampir tak pernah diakui. Mungkin pelaku politik uang malah
menuduh lawannya lebih gila lagi melakukan politik uang.
Dari mana asal dana taktis itu? Buku se-
rial Wisnu Nugroho (Gramedia, 2010- 2011) memperlihatkan secara tak langsung
kedekatan para pengusaha dengan pilpres. Bahkan, terlihat gambar koper uang
yang dibawa ke mana-mana. Dalam konteks kini, ada penangkapan kepala daerah
karena indikasi suap menjelang pilkada. Dengan cara berpikir sederhana,
pemilu serentak bisa menguras uang pengusaha yang mengharap imbalan calon
kepala daerah ketika dia terpilih. Kalau dulu, misalnya, Rp 9 miliar cukup
untuk tiga calon kepala daerah, bagaimana kini membagi atau menguras semua
dana untuk investasi di pilpres, pemilihan legislatif, dan sekitar 265
pilkada?
Merencanakan Hambatan
Apa saja hambatan pilkada serentak?
Pertama, jadwal pilkada yang berbeda-beda. Sebetulnya kalau saja semua pihak
memiliki niat baik, rumusannya bisa dise- pakati bersama. Usul utama berupa
pelak- sanaan pilkada hanya dua kali dalam kurun lima tahun. Tepatnya,
bersamaan dengan pilpres 2014, bersamaan dengan pilpres 2019, dan satu kali
di tengahnya. Jadi, terdapat jarak 2,5 tahun untuk pilkada serentak.
Kepala
daerah yang sisa masa jabatannya kurang dari 1,25 tahun merapat ke pemilu
serentak 2014. Yang lebih dari 1,25 tahun disatukan ke pilkada serentak 2016.
Apakah kepala daerah akan sangat diru-
gikan? Jika Anda telah berbuat untuk rakyat dan dicintai, dimajukan kurang
dari 1,25 tahun bukan masalah serius. Joko Widodo terbukti dipilih 91 persen
rakyatnya pada pilkada kedua di Solo dan menang (gagasan) di Jakarta yang
belum pernah dia urus.
Hambatan kedua berupa rencana penolakan
dari partai politik dan DPR. Salah satu alasan yang agak bernada keilmuan
adalah presiden terpilih akan lemah karena tak didukung di parlemen. Ini pun
sering terbukti keliru, baik pada tatanan teoretik maupun empirik.
Dalam banyak teori, koalisi pemerintahan
bisa dibangun setelah jelas siapa presiden pilihan rakyat. Lebih gamblang
dari alasan teoretik, lihatlah betapa kepemimpinan presidensial mutakhir di
Indonesia relatif amat lemah meski ada sekretariat gabungan dan sebagainya.
Di atas itu semua, dengan pemilu seren-
tak, kita tidak buang energi ribut-ribut soal ambang presidensial. Partai
politik yang lolos sebagai peserta pemilu, baik sendiri- sendiri maupun
bersama-sama (sesuai dengan bunyi konstitusi) bisa mengusulkan calon
presiden. Hanya dengan terobosan ini, kita bisa memiliki capres alternatif.
Capres yang sudah merasa memiliki elektabilitas tinggi, kalau berani dengan
ambang batas 20 persen, mengapa ciut nyali dengan kompetisi lebih terbuka?
Hambatan ketiga yang bisa diembuskan adalah
kekhawatiran tidak siapnya KPU dan Mahkamah Konstitusi (jika terdapat
sengketa). Namun, sebagian politisi, komisioner KPU, dan Ketua MK telah menyatakan
siap. Mereka yakin rakyat juga siap. Dalam komunikasi politik modern, yang
diperlukan sekarang tinggal media dan tokoh-tokoh nasional menyuarakan
opinionated news untuk menggulirkan informasi ini guna mendapat dukungan
sikap. Khususnya melalui televisi.
Semoga pemilik dan profesional di televisi
insaf bahwa menyelamatkan bangsa dengan mencekik bayang-bayang korupsi
politik 2014 tak dapat dilakukan oleh sinetron galau, mistik, dan komedi
fisik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar