Amnesia Budaya
Fathur Rokhman ; Guru Besar Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas
Negeri Semarang (Unnes)
|
SUARA
MERDEKA, 29 Oktober 2012
TAWUR yang terjadi silih berganti di
kalangan siswa dan mahasiswa belakangan ini telah menjelma sebagai masalah
nasional. Ironisnya, itu terjadi justru ketika pemerintah dan berbagai
pemangku kepentingan lain makin menggalakkan pendidikan karakter. Peran dan
fungsi pengembangan pendidikan karakter akan mandul jika ia abai, apalagi
melupakan sama sekali kekuatan budaya.
Namun lagi-lagi kita juga segera menemukan ironi. Di satu sisi kita bangga dengan membuncahkan kekayaan budaya dan kebesaran masa silam. Namun, keriuhan di meja perbincangan dan kegalauan politikus di mimbar-mimbar pidato akan urgensi investasi peradaban berupa penanaman nilai-nilai budaya luhur tidaklah sebanding dengan fenomena di lapangan. Keterasingan budaya Indonesia di hadapan publiknya menjadi fenomena memprihatinkan. Di sisi lain, masyarakat mudah kebakaran jenggot ketika negeri jiran tiba-tiba mengklaim kekayaan budaya Indonesia sebagai miliknya. Lantas, muncul gerakan yang tampaknya meyakinkan, heroik, tetapi kadang terasa sentimental dan mengharukan. Dikatakan demikian, karena rasa-rasanya jebakan nafsu kepemilikan lebih kentara daripada memberdayakan kekayaan budaya itu sendiri untuk kesejahteraan dan kejayaan. Kerja Budaya Tonggak sejarah telah tertancap. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 mengguratkan prasasti orang-orang Bumiputera memilih menjadi Indonesia karena dipersatukan oleh impian dan harapan. Impian menjadi bangsa yang merdeka dan sejahtera. Harapan menjadi bangsa yang besar dan berwibawa. Mendayagunakan segenap kekuatan budaya masyarakat menjadi kerja yang tidak ringan. Sumpah Pemuda adalah perjuangan budaya, kerja budaya. Perjuangan dan kerja budaya merupakan kerja intelektual yang perlu terus dilakukan. Bila hanya bangga pada tonggak sejarah, mengelus-elus, sekadar membanggakan, hanya gagah berpacak baris dalam upacara, kita akan menjadi bangsa yang teralienasi. Rakyat adalah kita, begitu kata penyair Hartoyo Andangjaya. Mendayagunakan kekuatan budaya masyarakat mengandaikan setiap kita adalah intelektual. Ketercerabutan generasi muda dari akar budaya sehingga suka tawuran dan terjadinya dekadensi moral lain, tidak serta-merta kesalahan itu dialamatkan pada institusi pendidikan.
Segalanya akan teratasi bila tiap komponen
masyarakat melakukan kerja budaya, kerja intelektual. Vaclav
Havel, budayawan yang menjadi presiden mengungkapkan, orang yang melakukan
kerja intelektual senantiasa membaktikan hidup untuk berpikir demi
kepentingan umum, dan melihat persoalan masyarakat dalam konteks lebih luas.
Dengan demikian, ketika terjadi kemerosotan
moral, masyarakat tak mudah menyalahkan guru, misalnya, sebagai ujung tombak
institusi pendidikan. Sebaliknya, guru pun perlu berintrospeksi, sudahkah
optimal dalam bekerja setelah memperoleh tunjangan sertifikasi.
Strategi Budaya Nilai-nilai budaya adalah nilai-nilai universal kemanusiaan. Nilai-nilai itu tentu akan lebih terasa kental mengendap dalam diri bangsa serumpun. Dalam kaitannya dengan manuver negeri tetangga yang acapkali mengakui kekayaan budaya Indonesia sebagai miliknya dengan mengandalkan kemahiran diplomasi dan kekuatan ekonominya (sekurang-kurangnya menurut kacamata demonstran Indonesia), perlu diformulasikan strategi budaya yang tepat untuk meminimalkan kesalahpahaman. Kemarahan yang berlebihan hanya menunjukkan kita sebagai bangsa yang mengalami ketidakseimbangan emosi. Membangun semangat kebersamaan, memupuk rasa senasib sepenanggungan jauh lebih bijak dan siginifikan untuk pengembangan kekayaan budaya daripada terjebak pada nafsu kepemilikan. Selanjutnya, kekayaan budaya itu menjadi wahana penyejahteraan rakyat. Nafsu kepemilikan atas kekayaan budaya, baik itu yang bersemayam di benak bangsa Indonesia maupun yang menjangkiti mental negeri jiran, dapat dikendalikan dengan sama-sama terbuka merunut sejarah masa silam. Dengan demikian, masing-masing bangsa tidak terjebak pada egoisitas cupet dan sempit. Sejarah itu yang menjadi cermin sekaligus sebagai sumber inspirasi untuk bergerak maju. Lebih tidak elok lagi bila memperjuangkan identitas daan kekayaan budaya dengan cara yang sombong. Orientasi nilai budaya idealnya mengarah ke masa depan, tidak membanggakan masa lalu. Demikian juga sebuah bangsa yang kini merasa lebih kuat dan pintar, tidak sepantasnya berniat menindas, mebabat saudara serumpun yang dulu pernah menimang dan menggendongnya. Kerja budaya, kerja intelektual, tidak memberikan ruang bagi mentalitas cupet itu. Alangkah indahnya sandainya bangsa-bangsa serumpun merumuskan langkah bersama untuk melakukan kerja budaya demi kehidupan manusia sebagai subjek sekaligus objek budaya menjadi lebih baik. Akhirnya, kerja budaya itu akan berbuah manis sekurang-kurangnya bagi bangsa serumpun. Pekerja budaya, di mana pun bergerak menjadi kaum intelektual yang berani memikul tanggung jawab sosial yang menyeluruh, yakni seluruh masyarakat tempat budaya itu tumbuh dan berkembang. Namun, memang kita sadar, betapa tidak mudah memelihara tali persaudaraan, lebih-lebih ketika salah satu pihak merasa lebih hebat. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar