Kegagalan
Partai Islam
Fajar Riza Ul Haq ; Direktur Eksekutif Maarif Institute
for Culture and Humanity
|
KOMPAS,
29 Oktober 2012
Partai politik Islam
diprediksi akan tergusur dari pusaran politik nasional pada 2014. Kemungkinan
pergeseran peta politik ini hasil jajak pendapat jika pemilu dilakukan awal
Oktober 2012.
Merujuk
survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) dan Lingkaran Survei
Indonesia (LSI) Network, tak satu pun partai berbasis massa Islam masuk zona
aman. Justru ranking lima besar dimonopoli partai yang tidak memiliki
konstituen tradisional Islam, yaitu Golkar, PDI Perjuangan, Demokrat, Nasdem,
dan Gerindra. Kemunculan Nasdem yang diisi mayoritas politisi muda
mengejutkan dan diyakini akan jadi penantang serius bagi dominasi Golkar,
PDI-P, dan Demokrat.
Hasil
survei tersebut telah memancing ragam tanggapan dari beberapa petinggi partai
Islam. Hidayat Nur Wahid (PKS) menilai survei bukan realitas hasil pemilu
sehingga tak boleh ditunggangi untuk mengarahkan opini bahwa partai-partai
Islam tak layak dipilih. Romahurmuziy (PPP) mengkritik LSI yang mengabaikan
faktor struktur dan manuver tokoh parpol Islam yang efektif bekerja jelang
pemilihan. Namun, Muhaimin Iskandar (PKB) tidak terlalu merisaukan hasil
survei karena masih sebatas sampling dan menjadikannya sebagai bahan evaluasi
partai.
Terlepas
dari faktor-faktor teknis survei yang dikeluhkan parpol Islam, ada tren
perilaku pemilih yang semakin dominan: pola partisipasi politik warga lebih
berpengaruh dan efektif ketimbang pola mobilisasi sentimen primordialitas.
Kasus pemilihan gubernur-wakil gubernur DKI, khususnya pada putaran kedua,
mencerminkan melemahnya korelasi pilihan politik dengan eksploitasi sentimen
sektarian-keagamaan.
Exit
poll SMRC mengungkap lumbung suara Jokowi-Basuki salah satunya bersumber dari
anggota ormas Islam: Muhammadiyah (52 persen), NU (43), Persis (38), dan DDII
(33). Realitas politik ini berkorelasi negatif dengan seruan dan upaya
sejumlah pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) agar umat Islam warga Jakarta
memilih pemimpin seagama.
Sebenarnya
temuan kedua lembaga survei di atas kian mengokohkan tesis yang muncul pada
Pilpres 2004: politik aliran, loyalitas tradisional, dan pengaruh tokoh-tokoh
tradisional sudah melemah (Ricklefs, 2008). Adalah betul jika bandul perilaku
pemilih sangat dinamis mengikuti interaksi bahkan ketegangan antara agensi
dan struktur sosial-politik. Namun, ada perkembangan sosiologis masyarakat
pasca-Orde Baru yang memungkinkan parpol-parpol nasionalis lebih memiliki
kesempatan mengakomodasi perubahan perilaku masyarakat Muslim. Inilah yang
menyebabkan parpol nasionalis punya daya tarik politik relatif lebih stabil
dan konsisten dibandingkan dengan parpol Islam sejak Pemilu 1999 hingga 2009.
Paling
tidak ada dua fenomena sosiologis saling berkelindan, yang ikut
mendeterminasi melorotnya suara parpol Islam. Pertama, menguatnya ”santrinisasi”
di kalangan masyarakat Muslim. Santrinisasi di sini dipahami dalam semangat
konservatisme. Kesalehan lebih diterjemahkan dalam bentuk keketatan
menjalankan pelbagai ritual keagamaan dan penekanan ekspresi simbolik seperti
pakaian serta pendirian lembaga-lembaga ekonomi berlabel Islam. Survei
Goethe- Institut bersama Lembaga Survei Indonesia, 2011, menemukan
konservatisme tumbuh subur di mayoritas generasi muda Muslim (
Kebijakan
deparpolisasi Islam ala Orde Baru telah memicu arus balik ikhtiar
santrinisasi dari ranah politik-kenegaraan ke sosial-kemasyarakatan seperti
dipelopori M Natsir. Namun, santrinisasi pasca-Orde Baru cenderung tidak
meyakini korelasi kesalehan dengan pilihan politik. Menurut Platzdasch
(2009), santrinisasi orientasi dan perilaku masyarakat Muslim menjadi alasan
parpol-parpol nasionalis tidak lagi bersikap netral terhadap isu-isu
keagamaan. Tak ada lagi parpol nasionalis yang sepenuhnya sekuler. Pendirian
sayap-sayap partai keagamaan di tubuh Golkar, Demokrat, dan PDI-P
merefleksikan perkembangan ini. Gejala ”santrinisasi” parpol nasionalis itu
berakar dari arus serupa di level masyarakat. Pergeseran sosiologis dan
akomodasi parpol nasionalis tidak diimbangi ijtihad politik sepadan dari
gerbong parpol Islam. Dampaknya adalah sumber elektoral parpol Islam
tergerus.
Kedua,
membesarnya kelas menengah yang berkarakter pragmatis. Kelompok ini tidak
menempatkan nilai-nilai ataupun ideologi sebagai preferensi utama dalam
pilihan politiknya. Partisipasi politik kelas menengah-pragmatis sangat
ditentukan oleh tingkat kepercayaan dan kepentingan ekonomi-politik individu
maupun kelompoknya terhadap institusi politik. Sifat pilihan politik kelas
menengah labil dan tak pasti. Masuk dalam kategori ini adalah kelas menengah
Muslim yang lahir pada era Orde Baru.
Pasca-reformasi,
kelas menengah Muslim mengalami santrinisasi sebagai dampak dari strategi
santrinisasi pada ranah non-negara di era Soeharto. Ini dicirikan kuatnya
gelombang ekspresi kesalehan dan atribusi keagamaan di ruang publik, termasuk
media. Dalam konteks ini, partai-partai politik berhaluan nasionalis relatif
memiliki kapabilitas institusional guna menerjemahkan dan meng-”kanalisasi”
aspirasi politik kelas menengah, termasuk dari segmen Muslim-santri.
Membayangkan
politik Indonesia pasca-Pemilu 2014 tanpa parpol Islam memang terlalu
prematur. Namun, ancaman menyusutnya ceruk suara merupakan tantangan yang tak
bisa dihindari. Parpol Islam tidak punya pilihan selain belajar dari para
kompetitornya sembari melakukan otokritik dan keluar dari kungkungan
ideologis. Daya tahan parpol Islam di pemilu nanti akan sangat ditentukan
oleh sejauh mana mereka berani keluar dari beban ideologis-historis agar
mampu merebut hati pemilih yang sedang berubah perilaku sosiologisnya, tidak
terkecuali kelas menengah Muslim-santri.
Kini,
semua partai politik dituntut bekerja efektif, proaktif dalam merespons
dinamika perilaku pemilih, dan berorientasi pragmatis; berani keluar dari
kesempitan ideologis demi terobosan-terobosan
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar