Rabu, 31 Oktober 2012

Menyikapi Ribut Iklan TKW


Menyikapi Ribut Iklan TKW
Ahmad Sahidah ;  Doktor dan Dosen Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia 
JAWA POS, 30 Oktober 2012



DIPICU status akun Twitter Anis Hidayah terkait dengan iklan kontroversi agensi tenaga kerja yang ditemukan di Chow Kit, media cetak dan elektronik di sini menyoal pelecehan harga diri tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia di Malaysia. Sebagai bentuk perlawanan, pegiat buruh dari Migrant Care tersebut mengajak warga untuk melawan iklan Indonesian Maids on Sale, yang dianggap sebagai perbuatan biadab dan brutal. Tak perlu waktu lama, media sosial Facebook dan Twitter meramaikan isu yang tak sedap itu untuk mengutuk negara tetangganya. Para pemilik akun dua microblogging itu menghamburkan status yang berisi kecaman. Jumhur Hidayat, kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), pun menyatakan nota keberatan melalui Kedutaan Besar Indonesia di Kuala Lumpur. 

Dengan segera Datuk Syed Monshe Afdzaruddin, duta besar Malaysia untuk Indonesia, menanggapi kasus itu seraya menyatakan bahwa iklan tersebut liar. Dia pun meminta pihak terkait untuk menangani hal tersebut agar tidak merusak hubungan keduanya. Apalagi, bersama Joko Widodo, gubernur Jakarta, orang nomor satu wakil Malaysia di Jakarta itu akan melakukan banyak kegiatan terkait dengan peningkatan hubungan Jakarta-Kuala Lumpur. Namun, peristiwa itu telanjur menyulut amarah banyak orang setelah Anis Hidayah juga tampil di televisi dan iklan tersebut ditayangkan di sebuah televisi swasta dengansubtitle Iklan Diskon TKI: rendahkan harkat dan martabat Indonesia. 

Kepekaan Teks 

Apa yang diungkap duta besar Malaysia tidak keliru bahwa iklan itu liar. Itu bisa dilihat dari kertas selebaran iklan yang tidak distempel pihak berwenang. Sebenarnya, iklan seperti itu bertebaran di banyak tempat di Kuala Lumpur, baik berupa lowongan kerja maupun rentenir, yang di sana lebih dikenal dengan along. Selebaran iklan terakhir itu acap mengotori ruang publik, misalnya halte, tembok bangunan, dan jembatan, sehingga memaksa pihak dinas tata kota menertibkan dengan menguliti iklan-iklan tersebut. Apa daya, tak lama kemudian iklan along kembali mewarnai banyak tempat, meskipun kehadirannya telah memakan banyak korban orang lokal yang terjerat utang tidak terbayar. Sindikat along betul-betul merepotkan pihak kepolisian. 

Lalu, apa makna bunyi iklan berikut ini: Indonesian maids now on sale. Fast and easy application. Now your housework and cooking come easy. You can rest and relax. Deposit only RM 3,500 price RM 7,500 nett. Dengan kurs Rp 3.149 per RM, uang itu setara Rp 11 juta dan Rp 23,6 juta.

Betapa pun iklan itu liar, pemasok tenaga pekerja tata laksana rumah tangga (PTLRT) tersebut tidak liar alias resmi karena terdaftar sebagai perusahaan dengan nama Smart Labour Services Sdn Bhd yang disertai alamat lengkap dan tiga nomor telepon yang bisa dihubungi. Tentu Rubini, nama staf penyalur tersebut, tidak mau mengambil risiko jika iklan itu menimbulkan kemarahan orang ramai. Ongkosnya terlalu mahal. Apalagi, sebagai penyedia jasa yang mempekerjakan orang Indonesia, penyalur yang beralamat di Klang itu harus menimbang sensitivitas asal pekerja. 

Sebagaimana bidang jasa lain di Malaysia, begitu banyak penyedia pekerja TLRT yang bersaing untuk mendapatkan majikan. Tak ayal, perusahaan yang dimaksud mengiklankan dirinya sebagai penyalur yang mempunyai banyak calon pekerja dan pada masa yang sama majikan tak perlu membayar jaminan (deposit) yang mahal, hanya RM 3.500. Padahal, seorang majikan harus mengeluarkan setidak-tidaknya RM 5.000-RM 7.000 untuk mendapatkan seorang pekerja rumah tangga. 

Sayang, pembuat iklan itu tidak mempunyai kepekaan berbahasa sehingga iklan yang ditempel tidak jauh berbeda dengan iklan barang dan menimbulkan kesan perbudakan. Saya sendiri pernah menemani teman karib Melayu mengambil tenaga TLRT di sebuah agensi di Pulau Pinang, yang tidak hanya mensyaratkan banyak hal, antara lain keterangan mampu dengan melampirkan slip gaji, dan yang bersangkutan juga harus diwawancarai pihak penyalur. Pendek kata, proses mendapatkan pekerja itu tidak mudah. 

Introspeksi 

Mengingat peristiwa itu telah memantik amarah masyarakat, semua pihak harus kembali memikirkan apa yang harus dilakukan agar kelalaian sebuah penyalur itu tidak dengan sendirinya ditimpakan kepada Malaysia secara keseluruhan. Bayangkan, sebuah iklan yang dikeluarkan satu penyalur tenaga kerja dihukum oleh orang ramai karena telah merendahkan harkat dan martabat Indonesia. Pada waktu yang sama, niat baik duta besar Malaysia untuk menyelesaikan isu tersebut diharapkan bisa mencegah tindakan ekstrem pihak yang ingin mengail di air keruh. Tuntutan kita harus jelas, yakni iklan seperti itu ditarik agar tidak memicu pelecehan lebih jauh terhadap buruh migran. 

Kita pun mafhum apabila media Tempo menulis di status Facebook-nya, kalau pemerintah Malaysia tidak mau segera menyetop iklan TKI on Sale, moratorium akan dilanjutkan menjadi penghentian permanen pengiriman TKI PTLRT ke Malaysia seraya mengaitkan dengan alamat laman web berita terkait di media tersebut. Seperti dimaklumi, setelah hampir dua tahun moratorium diberlakukan, banyak perusahaan penyalur pekerja TLRT di Indonesia dan Malaysia yang kelimpungan. Namun, jika tindakan penghentian diambil secara drastis, ia akan menimbulkan gejolak, mengingat terdapat 300 ribuan tenaga TLRT yang terdaftar secara resmi bekerja di negeri jiran, belum lagi mereka yang bekerja secara ilegal. Saya yakin bahwa pemerintah Malaysia akan menghentikan iklan tersebut. Selain liar, kehadiran iklan itu telah menimbulkan kemarahan rakyat Indonesia. 

Akhirnya, pihak Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak harus mematangkan langkah-langkah penting menjelang 2017 sebagai tahun penghentian pengiriman TKW yang bekerja di sektor pekerja rumah tangga. Keinginan pemerintah untuk menghentikan tenaga kerja perempuan yang bekerja di luar negeri dengan sendirinya akan memaksa kementerian terkait untuk menyediakan lapangan kerja bagi mereka. Bagaimanapun, kita miris melihat begitu banyak perempuan yang terpaksa bekerja dengan meninggalkan keluarga selama bertahun-tahun di negeri orang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar