Berjejaring
Selamatkan MA
Achmad Fauzi ; Hakim Pengadilan Agama Kotabaru, Kalsel,
Penulis buku Pergulatan Hukum di Negeri Wani Piro
|
JAWA
POS, 25 Oktober 2012
TUHAN mungkin punya
desain besar untuk menyelamatkan kesucian keadilan di tubuh Mahkamah Agung
(MA). Selubung yang menutupi aib oknum pengadil yang terlibat skandal suap,
narkoba, dan perbuatan tercela lainnya secara bertubi-tubi disingkap di muka
publik. Mulai terbongkarnya kasus dua hakim ad hoc tipikor yang terjerat gurita sogok
di Semarang, promosi kontroversial mantan ketua pengadilan yang terindikasi
suap menjadi hakim tinggi, geger rekaman video pemberian deposit suap hakim
di Pangkalan Bun, hingga kasus narkoba yang mencengkeram oknum hakim di
kawasan Hayam Wuruk, Jakarta Barat.
Hakim
terakhir itu diberitakan pernah "diloloskan" dari hukum cambuk
setelah berbuat asusila di Aceh. Semuanya adalah risiko dari bekerjanya mesin
perubahan di internal MA. Yakni, setiap kebatilan pasti tergilas oleh
kekuatan moral yang terorganisasi.
Problem menjamurnya perilaku tercela di pengadilan menjadi kegalauan
sejumlah hakim di berbagai daerah. Mereka menguatkan soliditas semangat
pembaruan dan bertindak konkret dalam wadah jejaring Facebook yang bernama Rencana Peserta Aksi
Hakim Indonesia. Sekitar lima ribuan orang di grup yang dimotori Sunoto,
hakim muda PN Aceh Tamiang.
Ada empat agenda besar yang diusung dan populer disebut dengan istilah
4 S. Yakni, save MA dari mafia, selamatkan hakim
bersih, sayangi hakim berintegritas, dan sejahterakan hakim reformis. Gerakan
itu dimulai dengan menandatangani pakta integritas hakim, menjadi pelopor
hakim bersih di tempat tugas masing-masing, serta menyatukan kesamaan misi
menjadi sebuah kesadaran kolektif gerakan bottom
up. Bahkan, sebagai wujud perang terhadap narkoba, meskipun instruksi MA
tentang tes urine pada seluruh hakim dianggap belum relevan, para hakim di PN
Depok telah melakukan tes urine dan hasilnya negatif.
Memang, hakim mustahil mengadili perkara narkoba dengan tegas jika
dirinya pecandu atau pengedar. Kesadaran dari tiap satuan kerja pengadilan
tersebut harus disatukan sebagai sebuah gerakan moral massif. Media sosial
bisa meringkas jarak geografis.
Media sosial terbukti berdaya gedor luar biasa bagi perubahan sistem
yang jumud. Baru saja kita menyaksikan perlawanan publik terhadap upaya elite
politik yang merongrong kewenangan substansial dan eksistensi KPK. Bermula
dari kegetiran yang tertumpah di media sosial, terbentuklah akumulasi
kesadaran sepenanggungan hingga menjadi gelombang opini massa yang sukar
dibendung. Semoga slogan "Save MA" membahana sebagai bentuk
keprihatinan sosial atas kondisi struktur, substansi, dan budaya hukum saat
ini.
MA sebagai rumah keadilan harus dimulai dari bersih-bersih diri para
penghuninya. MA perlu diapresiasi ketika menggandeng KPK untuk mengawasi
hakim. Hal itu mendapatkan momentumnya. Komisi Yudisial (KY) merespons
positif dan menyatakan siap bekerja sama dengan setiap gerakan hakim yang
bertujuan menjaga dan menegakkan kehormatan hakim.
Gerakan bersih-bersih MA adalah keniscayaan di tengah tuntutan publik
yang menghendaki MA sebagai kekuasaan yang merdeka, bersih, dan akuntabel. MA
selayaknya mendukung penuh gerakan tersebut. Sebab, isu yang diusung
berkaitan langsung dengan persoalan mendasar di tubuh lembaga peradilan.
Statement bahwa
sebelum gerakan 4 S lahir institusi MA telah konsisten menegakkan disiplin
dan telah melakukan bersih-bersih hakim nakal itu tidak keliru. Menyediakan
kotak saran dan layanan pengaduan soal profesionalisme hakim juga benar
adanya.
Tetapi, harus dicermati, bisa saja ada hakim "sakti" yang lolos
dari pengawasan dan jerat sanksi, namun justru mendapatkan promosi. Adalah
hakim SPW yang standar penilaian objektif dalam penerapan kebijakan
promosinya sebagai hakim tinggi dipertanyakan banyak orang. Pasalnya, awal
September silam KY mendesak MA dan KPK untuk memeriksa SPW soal tujuh vonis
bebas bagi para terdakwa korupsi di Pengadilan Tipikor Semarang. MA pernah
menyebutkan bahwa SPW terindikasi kuat terlibat kasus sogok.
Jika dasar filosofis sistem promosi/mutasi hakim untuk penyegaran dan
peningkatan kapabilitas sumber daya, sedangkan demosi dan pemecatan sebagai
konsekuensi hukuman atas tindakan indisipliner, standar penilaian yang
menjadi tolok ukur harus objektif dan tansparan. Karena itu, perlu penjelasan
memadai dasar kebijakan tersebut agar anomali sistem promosi dan mutasi hakim
tidak memperburuk citra MA di mata publik. Apalagi jika mengacu pada arahan
cetak biru MA 2010-2035, hakim yang cacat reputasi tidak punya ruang yang
layak untuk dipromosikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Kesadaran kolektif berjejaring
yang mendorong lahirnya gerakan penyelamatan MA menjadi basis perilaku yang bersifat
empiris dalam menjabarkan moralitas hakim sebagai fakta sosial. Ketika semua
hakim mengutuk keras mafia peradilan dan membentengi diri dengan kesadaran
moral yang tinggi, fakta sosial memperlihatkan efek positif dan gelombang
keberpihakan dari komunitas sosial lainnya bisa dirangkul.
Emile Durkheim memaknai kesadaran kolektif sebagai seluruh kepercayaan
dan perasaan bersama dalam sebuah institusi atau masyarakat yang membentuk
suatu sistem yang baik. Kesadaran kolektif itu terwujud karena bertemunya
sumbu-sumbu kesadaran partikular dalam kenyataan empiris. Di sinilah MA
berperan penting mempertemukan gelombang kesadaran moral individu tersebut
dalam kerangka menyelamatkan MA dari rongrongan hakim hitam.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar