Makna Baru Sumpah
Pemuda
Puti Guntur Soekarno ; Anggota DPR Fraksi PDI-P
|
KOMPAS,
27 Oktober 2012
Jakarta, 84 tahun silam. Sekelompok pemuda terpelajar dengan latar
organisasi kepemudaan beberapa daerah dan agama mengakhiri pertemuan mereka
dengan menyatakan sebuah imaji tentang tanah air, bangsa, dan bahasa:
Indonesia.
Ini penanda historis suatu masyarakat yang
membayangkan diri sebagai satu komunitas politik tanpa menghitung-hitung
keuntungan kelompok dan pribadi ke dalam satu semangat kedaulatan politik
yang kita kenal sekarang sebagai Sumpah Pemuda.
Tak tersangkal, dalam rentang 84 tahun
sejak Sumpah Pemuda diikrarkan, tentu banyak hal baru dalam hidup masyarakat
Indonesia sekarang. Dalam satu dekade berselang, kita telah melampaui periode
otoritarianisme dan menikmati hidup politik demokratis dengan segala catatan.
Dengan memperhatikan segala perkembangan
baru yang terjadi dalam lingkungan hidup kita, pertanyaan penting adalah
bagaimana kita memberikan makna historis terhadap peristiwa yang terjadi 84
tahun lalu yang sekaligus jadi pijakan normatif bagi hidup kita sekarang.
Segala yang terjadi dalam hidup kita saat
ini memberikan petunjuk bahwa tekad tentang tanah air, bangsa, dan bahasa
yang satu memerlukan makna baru atas situasi yang kita hadapi. Sejarah layak
menjadi penerang masa depan, tetapi tidak untuk membebani kita dengan masa
lalu.
Merayakannya dengan sekadar mengangkat
simbol masa lalu dan menempatkannya sebagai kritisisme atas kehidupan masa
kini hanya akan menempatkan kita pada bayangan romantisisme sejarah
berhadapan dengan realitas kekinian yang memiliki tantangan lebih besar dan
kompleks.
Perlu kita melihat masa lalu dan melihat
apa yang kurang dan tak sesuai dengan cara serta metode hidup kita sekarang.
Menurut pemikir Thomas Paine, satu generasi baru selayaknya mampu membebaskan
diri dari ikatan mitos dan traktat-traktat kuno yang sudah tak relevan dengan
kondisi dan suasana hidup gene- rasi itu. Setiap generasi baru harus mampu
menciptakan cara dan metode baru dalam hidup mereka yang sesuai dengan
kondisi zaman dibandingkan dengan sekadar mengutip dan mengikat diri pada apa
yang pernah terjadi. Kita anak zaman kita.
Dengan meletakkan Sumpah Pemuda dalam
pandangan seperti itu, banyak soal sudah pasti muncul berkait dengan
serangkaian ironi zaman kita: hidup yang seperti berjalan terbalik dengan
tekad yang dicetuskan tentang tanah air, bangsa, dan bahasa yang satu itu.
Hal-hal sederhana yang terjadi dalam kehidupan kontemporer kita di Indonesia
sekarang membuktikan hal ini.
Demokrasi yang kita alami sebagai bagian
penting dari politik Indonesia pascareformasi hendaknya memberikan pelajaran
bagaimana pandangan yang menekankan serangkaian perbedaan, baik asal-usul,
agama, etnisitas, budaya, dan pengalaman sejarah sering kali jadi komoditas
politik yang memungkinkan satu kelompok atau perseorangan dapat untung dari
perbedaan itu.
Sebuah kisah yang belum lama terjadi dalam
pemilihan gubernur Jakarta memberikan pelajaran bagaimana seseorang bisa
dihakimi tak layak tampil sebagai pemimpin karena latar ras dan agamanya
dianggap berbeda dengan mayoritas penduduk yang menghuni provinsi itu. Namun,
kita patut bersyukur, kesadaran politik yang berkembang di lingkungan
populasi Jakarta, mulai dari penghuni permukiman kumuh di bantaran kali
sampai dengan para pekerja profesional di gedung perkantoran modern,
menegaskan metode dan sikap para politisi dalam arah itu sebagai gaung tanpa
suara yang tidak cukup layak diperhatikan.
Perkembangan lain dalam globalisasi dunia
saat ini adalah terjadinya persinggungan langsung dunia antarbangsa yang
seakan melipat jarak. Kenyataan yang kita hadapi saat ini adalah hu-
Hilangnya beberapa pulau di wilayah
perbatasan terpencil di Indonesia menunjukkan konsekuensi hubungan dan kerja
sama yang timpang itu. Kian terpinggirkannya petani kita karena lahan
dikuasai korporasi besar memunculkan penderitaan petani.
Kebijakan impor yang dipuja- puja mematikan
hidup petani kita. Tambang nasional dan aset kekayaan nasional semakin jauh
dari pengelolaan oleh negara untuk kepentingan hajat hidup orang banyak. Ini semua
tantangan yang tak dapat kita hindarkan memperingati Sumpah Pemuda.
Sebagai bagian dari generasi yang hidup
saat ini, tak ada kata yang layak disandingkan dengan tekad masa lalu:
keadilan yang menjadi impian seluruh rakyat Indonesia. Kemakmuran dan
kemajuan ekonomi Indonesia boleh jadi membanggakan kita. Namun, bila itu
hanya dinikmati se- gelintir saja dari ratusan juta rakyat Indonesia dan
hanya terpusat di salah satu tempat, tentu akan menciptakan masalah.
Ketimpangan itu terang-benderang jadi akar sekian masalah yang mendera
Indonesia saat ini.
Sekarang kita boleh kecut bila di suatu
waktu dalam perjalanan di negeri asing, seseorang bertanya: mengapa di negeri
Anda antara satu tetangga berkelahi karena beda keyakinan dan latar suku?
Mengapa jarak antara mereka yang menikmati kekayaan dan yang terjerembap
dalam kemiskinan begitu timpang di negeri Anda?
Saatnya kita berharap mendengar pernyataan
bahwa meski tak kaya raya dan menghasilkan produksi melimpah ruah, Indonesia
adalah negeri yang adil dengan kualitas peradaban dan mentalitas kewargaan
yang tinggi di dunia. Saatnya kita memasukkan wacana keadilan dalam memberi
makna penting terhadap Sumpah Pemuda dan menegaskan sumpah baru bagi hidup
kita sekarang di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar