Setengah Jiwa
Sumpah Pemuda
JJ Rizal ; Sejarawan
|
KORAN TEMPO,
29 Oktober 2012
Kalau akhirnya
Indonesia masa depan hanya membuat banyak unsur di daerah yang menyokong
bangunan geografi Indonesia masuk kubangan keterbelakangan-kata seorang
peserta Kongres Ketiga Jong Java pada 1927 yang dilaporkan G.F.
Pijper-"itu sama saja artinya kita merugi sebab telah buang sepatu lama,
tapi tidak dapat sepatu baru, tanpa alas kaki ke mana melangkah dilihat tidak
berperadaban".
Bisa jadi betul kata Nietszche bahwa
sejarah begitu gemulai sehingga enak "diperkosa" dalam aneka gaya.
Sejak 1950-an, Kongres Pemuda 28 Oktober 1928 telah menjelma menjadi simbol
negara yang digunakan secara fleksibel. Bahkan ketika Soeharto, yang
memperkosa Sumpah Pemuda sebagai visi tripartit kesatuan tanpa kompromi
sesuai dengan konsep negara Orde Baru yang terpusat dan amat terkontrol,
dijatuhkan, nasib miris peristiwa sejarah itu belum berubah.
Sumpah Pemuda menjadi "alat" menanggapi
tantangan politik pasca-Soeharto. Orang berbicara atas nama reformasi dengan
mengklaim bahwa Sumpah Pemuda-simbol sakti komitmen bernegara-adalah
menghormati keberagaman politik di mana selama periode Soeharto diharamkan.
Ini dilakukan dengan tak lagi memakai Sumpah Pemuda gaya Soeharto: Satu
bangsa, satu tanah air, satu bahasa. Tapi, kata-kata asli butir ketiga
disesuaikan dengan aslinya: Kami poetera dan poeteri Indonesia mendjoengjoeng
bahasa persatoean, bahasa Indonesia. Hal ini memungkinkan digunakannya konsep
ke-Bhinneka-an dalam kesetiaan terhadap persatuan bangsa.
Kekurangtoleransian dalam aspek pluralisme
dirasakan jadi ancaman utama persatuan kehidupan sosial di Indonesia
pasca-reformasi. Karena itu, kalau sejarah adalah rumah inspirasi untuk
menyuarakan keprihatinan hari ini dan harapan atau kegelisahan hari nanti,
apakah pesan itu masih merupakan makna peristiwa 28 Oktober 1928, bukan suatu
pemaknaan baru demi sekadar menjawab tantangan zaman?
Tidak! Tapi harus diingatkan kembali bahwa
28 Oktober 1928 bukanlah peristiwa tunggal. Kongres Pemuda itu yang kedua.
Sebelumnya, pada 30 April-02 Mei 1926, pemuda telah menggelar kongres yang
pertama. Artinya, harus ada pemahaman betapa tak mungkin memahami arti
sejarah simbol nasional yang dikeramatkan sebagai Sumpah Pemuda itu, tanpa
mengetahui perjalanan idenya pasca-Kongres Pemuda pertama. Sebab, di sanalah
aspek pluralisme diwacanakan sebagai basis persatuan yang menjadi inti
pencapaian kongres kedua.
Pada 1910-an dan 1920-an abad ke-20, Hindia
Belanda berselimut semangat kedaerahan dan politik moderat terhadap kolonial.
Ini termanifestasi dalam pendirian perhimpunan pemuda pelajar, seperti Tri
Koro Dharmo-kemudian jadi Jong Java-pada 1915 serta Jong Sumatranen Bond pada
1917. Dari keduanya, lahir Jong Islamieten Bond dan Jong Batak Bond. Berdiri
pula Pemoeda Kaoem Betawi pada 1923, Sekar Roekoen di Sunda, Jong Celebes,
Jong Ambon, Jong Minahasa, dan lainnya.
Namun 1918 adalah tahun dimulai roaring
twenties-nya Hindia Belanda. Saat itu banyak perhimpunan mulai berkonfrontasi
dengan pemerintah dan sesamanya. Pergolakan pemikiran hebat yang berujung
pada perubahan pandangan pun terjadi. Ini terlihat dalam perhimpunan yang
dicap menghamba pada regionalisme dan moderat, seperti Boedi Oetomo, pada
1918, yang mengabungkan diri dengan kaum nasionalis radikal di Volkraad.
Lalu, di Jong Java, pada Januari 1926, dalam kongres kedelapan mereka di
Bandung, gagasan memasukkan persatuan Indonesia dalam anggaran dasar muncul
dari Tabrani Soerjowitjitro, anggota luar biasa cabang Betawi. Berhasil dan
berubahlah tujuan Jong Java: "Membantu pembentukan Jawa Raya dan agar
dapat memajukan rasa kesetiakawanan di antara semua kelompok penduduk pribumi
di Indonesia sehingga di masa depan tercipta negara Indonesia yang
merdeka". Suasana yang sama dirasakan di Jong Sumatranen Bond. Dalam
kongres mereka pada 12 Desember 1925, Djamaloedin, si wakil ketua, mencoba
memberi suasana Indonesia pada anggaran dasar. Ketuanya, Mohammad Jamin,
menyambut gagasan persatuan Tabrani. Lantas, kedua perhimpunan pemuda
kesukuan terbesar itu untuk pertama kali sejak 1921 kembali aktif bekerja
sama.
Tabrani gencar mempropagandakan idenya. Ia
memprakarsai Kongres Pemuda Indonesia Pertama, April 1926, di Weltevreden.
Dia memimpin suatu komite organisasi yang selanjutnya beranggotakan
pelajar-pelajar dari seluruh Indonesia dari semua perhimpunan pemuda yang
penting. Kongres yang ditujukan sebagai manifestasi persatuan itu dianggap
cukup tercapai. Tapi soal realisasi persatuan masih dibicarakan.
Djaksodipoero dari Jong Java mempelopori diadakannya konferensi yang dihadiri
perhimpunan pelajar berdasarkan kesukuan pada 15 Agustus 1926 di Weltevreden.
Keputusannya adalah mendirikan organisasi multi-suku bangsa, Jong Indonesia.
Tujuannya, "mempropagandakan cita-cita persatuan Indonesia dan
mewujudkan kehidupan bangsa yang bermartabat dan bahagia untuk mempersiapkan
Indonesia raya".
Jong Indonesia gagal dibentuk karena masih
ada kemenduaan di antara perhimpunan itu. Tapi penting direnungkan alasan
keraguan mereka, "Mungkinkah cita-cita menggapai kebesaran daerah dapat
diraih dalam kebesaran nasional Indonesia Raya?" Sebab, bagaimanapun,
semangat membentuk Indonesia Raya itu seperti dinyatakan Bahder Djohan dari
Jong Sumatra pada Januari 1926. "Kita perlu membentuk 'Negeri Masa
Depan' kelompok (daerah) kita dan karena itu kita pun sangat menginginkan kerja
sama dengan kelompok-kelompok (daerah-daerah) lain yang berkepentingan sama,
kita membina hubungan hingga bersama kita akan menjadi jalinan rantai
mencapai itu dalam rantai masa depan yang kita namakan Indonesia Raya."
Saat itu konsep Ernest Renan tentang bangsa
adalah, semangat untuk bersatu diuji oleh pergolakan pemikiran hebat dengan
kekayaan warna dan dinamika ihwal tempat juga nasib daerah-daerah yang
menjadi unsur pembentuk Indonesia. Pergolakan pemikiran ini telah
meninggalkan harta karun pemikiran kebangsaan yang tak kalah penting untuk
ditelaah terkait dengan bukan saja pluralisme, tapi juga janji Indonesia Raya
membuat daerah-daerah juga raya, bukan ditinggalkan, apalagi diperah.
Tak aneh jika pada 1995 sejarawan Hans van
Miert mengkritik historiografi Indonesia yang kurang menarasikan pemuda dan
perhimpunan kesukuan. Perhimpunan yang berorientasi "Indonesia"
digambarkan benar secara moral. Sebaliknya, organisasi yang bersifat
"Regional" digambarkan provinsial, sovinistis, dan picik. Ada
pengagungan ideologi persatuan sebagai tujuan Indonesia. Segala yang tidak
berorientasi kesatuan dianggap mengingkari "sumpah suci Indonesia".
Alhasil, nasionalisme Indonesia melulu dipenuhi retorika mendukung
habis-habisan persatuan, emoh kemajemukan, dan verboden bagi ekspresi daerah.
Konsep persatuan ini akhirnya menyuburkan pengelolaan Indonesia ke arah
negara konsentris yang menaruh persatuan dalam konteks "pusat" yang
agung dan "pinggiran" yang tak beradab.
Karena itu,
pemikiran sejarah pemuda dan perhimpunan moderat pada 1920-an itu penting
direnungkan. Simaklah suara di Jong Sumatra 1927: "Seharusnyalah
Indonesia yang didendangkan itu merupakan taman puspa aneka warna, di mana
tiap bunga harus mendapat kesempatan tumbuh berkembang." Kalau akhirnya
Indonesia masa depan hanya membuat banyak unsur di daerah yang menyokong
bangunan geografi Indonesia masuk kubangan keterbelakangan-kata seorang
peserta Kongres Ketiga Jong Java pada 1927 yang dilaporkan G.F.
Pijper-"itu sama saja artinya kita merugi sebab telah buang sepatu lama,
tapi tidak dapat sepatu baru, tanpa alas kaki ke mana melangkah dilihat tidak
berperadaban". ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar