Rabu, 31 Oktober 2012

Mesin Produksi Pendidikan


Mesin Produksi Pendidikan
Candra Fajri Ananda ;  Praktisi Pendidikan dan Guru Besar
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
JAWA POS, 31 Oktober 2012



ARAK-arakan kelulusan siswa sekolah selalu mencerminkan betapa senangnya para siswa keluar dari proses pendidikan yang dijalani di sekolah. Kegembiraan itu kadang cukup berlebihan karena juga diikuti tindakan yang tidak terpuji oleh sebagian siswa. (Kabar terakhir yang kita lihat, para pelajar dan mahasiswa sudah membunuh temannya dalam tawuran).

Tentu, kita sebagai orang tua akan berpikir keras mengapa hal itu bisa terjadi. Anggaran pendidikan senilai 20 persen terus meningkat. Dana BOS 2013 yang diajukan mencapai Rp 22,3 triliun atau Rp 710 ribu per siswa (Jawa Pos, kemarin). Tetapi, mengapa anggaran tersebut terkesan tidak berkorelasi dengan meningkatnya semangat belajar siswa (bahkan mahasiswa), bahkan ada yang brutal dan kriminal? Mestinya dunia pendidikan menyadari pertumbuhan ekonomi nasional yang cukup tinggi dan memerlukan kualitas SDM untuk menjaga keberlanjutan (sustainability) pertumbuhan.

Sampai saat ini, keberhasilan pendidikan masih diukur dari tingkat kelulusan ujian nasional (unas) dan rapor, sedangkan mahasiswa diharapkan mampu mencapai IP (indeks prestasi) yang setinggi-tingginya. Untuk mencapai kelulusan unas, para siswa sudah disiapkan oleh sekolahnya untuk ''hanya belajar'' mata ujian unas dan orang tua melakukan apa saja seperti ikut les pelajaran tambahan. Begitu juga, mahasiswa berlomba-lomba mendapat nilai IP tertinggi, walaupun dicapai tanpa mengindahkan etika dan moral.

Mesin Pendidikan

Secara faktual, sistem pendidikan yang kita terapkan dapat diilustrasikan seperti mesin produksi dalam aktivitas ekonomi. Suatu aktivitas produksi akan menghasilkan output tertentu dengan biaya input tertentu. Input di sini adalah anggaran pendidikan, murid, guru, dan fasilitas sekolah. Melalui pengolahan komponen input itu, output pendidikan (lulusan) akan ditentukan menjadi seperti apa, termasuk kualitas lulusan yang kita inginkan.

Menjamurnya lembaga pendidikan akhirnya mendorong terjadinya persaingan. Beberapa lembaga pendidikan mencantumkan internasionalisasi, penguasaan bahasa asing serta tambahan kurikulum lain, sebagai alat menang bersaing. Ada yang membuat profil sekolah yang mengedepankan biaya murah, tetapi tidak ada jaminan kualitas output-nya. Alhasil, banyak murid (tidak mampu/miskin) yang terjerembap dalam jurang sekolah abal-abal bermotif profit, karena yang penting terdaftar sekolah.

Input guru juga menjadi faktor penting kualitas lulusan murid. Sebenarnya, sejak era pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (SBY), kesejahteraan guru meningkat secara signifikan. Tetapi, itu belum sejalan dengan peningkatan kapasitas intelektual dan emosional seorang guru. Untuk itu, perlu terus ada evaluasi pencapaian pendidikan. Jika tidak ada target, tentunya pembiayaan yang besar tersebut akan memboroskan uang rakyat. Persoalan lain dalam input guru adalah masih rendahnya rasio antara guru dan murid, terlebih di wilayah yang jauh dari pusat pertumbuhan ekonomi.

Input mesin pendidikan yang tidak kalah penting adalah fasilitas sekolah. Bentuk konkret fasilitas sekolah dalam hal ini, antara lain, ruang kelas, perpustakaan, dan laboratorium. Penunjang pendidikan yang urgen itu masih belum tercukupi di sebagian besar sekolah di negara kita. Kita sering mendengar berita di televisi maupun media lain yang memberitakan adanya gedung sekolah yang tidak layak pakai, padahal gelontoran dananya sangat besar.

Dana BOS, misalnya. Ternyata, kita masih sering mendengar penggunaannya tidak sesuai dengan aturan maupun terjadi keterlambatan dalam pencairannya. Dalam beberapa penelitian terungkap, dana BOS hanya menyelesaikan biaya operasional sekolah, tetapi biaya transportasi dari rumah ke lokasi sekolah tetap menjadi beban orang tua murid. Tentu, biaya itu akan semakin besar jika pemerintah benar-benar akan mencabut subsidi BBM (bahan bakar minyak). Kondisi tersebut terjadi karena lokasi sekolah-sekolah unggulan (sekolah yang menjadi rebutan semua murid dan orang tua) biasanya terkumpul (cluster) di daerah tertentu. Transportasi jadi mahal karena jauh.

Reformasi Berlanjut

Karena persoalannya sangat kompleks, perlu gebrakan baru. Reformasi pendidikan meliputi semua faktor input sangat dibutuhkan.

Pertama, peningkatan kualitas sekolah. Manajemen sekolah perlu diperbaiki. Komitmen antara kepala sekolah dan komite sekolah untuk memajukan sekolah harus ditingkatkan. Pemilihan kepala sekolah seyogianya memperhatikan kemampuan manajemen, bukan hanya pada kepangkatan atau senioritas. Selain itu, perlu diberikan pelatihan khusus agar sang Kasek memiliki keahlian dalam mengelola sekolah.

Kedua, peningkatan kapasitas intelektual dan emosional guru. Murid akan langsung bersentuhan dengan guru, setiap bertemu dan tatap muka langsung. Bisa dikatakan, hampir sembilan jam per hari para siswa tersebut berinteraksi dan bercengkerama dengan guru. Faktor guru itu alangkah menentukan. Langkah Kemendikbud perlu didukung untuk terus mengevaluasi guru-guru yang sudah lolos sertifikasi. Memang banyak guru yang mengikuti sertifikasi dengan menghalalkan segala cara agar bisa lolos. Untuk itu, perlu recheck kualitas mereka.

Ketiga, penyebaran sekolah berkualitas di beberapa lokasi. Saat ini, ketimpangan pembangunan turut berdampak terhadap ketimpangan sekolah. Daerah maju selalu didukung sekolah yang berkualitas. Sebaliknya, daerah kumuh/tidak berkembang akan dihuni sekolah asal-asalan. Padahal, kualitas faktor input di pelosok seperti murid belum tentu lebih rendah dibanding daerah maju. Begitu juga guru-gurunya yang sudah bersertifikat. Tetapi, orang tua dan murid tetap akan berusaha diterima di sekolah berkualitas yang jauh dari lokasi rumah mereka. Kebijakan pemerintah daerah untuk menyebar lokasi sekolah yang bermutu di banyak lokasi perlu didorong, tidak terpusat di lokasi tertentu. Tujuannya, mendorong akses pendidikan yang lebih murah (dekat dan terjangkau) bagi semua calon siswa.

Melalui kebijakan pemerintah yang tepat, kerja sama orang tua murid serta kebijakan nasional yang tidak kontradiktif, dunia pendidikan diharapkan bisa menghasilkan output lulusan yang lebih baik dan mampu menjadi faktor produksi ekonomi yang berkualitas serta berkarakter.

1 komentar: