Patriotisme
Asia dalam Era Globalisasi
Rene L Pattiradjawane ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
27 Oktober 2012
Globalisasi di tengah resesi berkepanjangan, yang menunda kemajuan dan
pertumbuhan ekonomi, menghasilkan ciri lain yang bisa disebut sebagai
kesesuaian dan hibridisasi, bagian dari proses budaya membentuk peradaban
baru. Kesesuaian dan hibridisasi ini diwarnai oleh interaksi kemajuan
negara-negara Barat dan non-Barat.
Interaksi dan persilangan budaya yang
membangun beberapa kesesuaian ini merupakan rumusan dasar hubungan
internasional modern di abad ke-21 yang lebih mudah dipahami melalui musik.
Ini esensi utama fenomena ”Gangnam Style”, lagu rap yang dibawakan oleh PSY,
penyanyi Korea Selatan (Korsel) yang bernama asli Park Jae-sang.
Gelombang K-Pop, musik pop Korsel, memang
menjadi fenomena menarik bagaimana irama lokal Korea bisa mendunia dan
digemari siapa pun, termasuk yang tidak mengerti arti lirik yang dinyanyikan.
Irama K-Pop berhasil menggeser J-Pop, musik pop Jepang, sebagai fenomena
hallyu (gelombang budaya pop Korea melalui musik, televisi, dan film)
Hallyu
Bahkan, sensasi klip video ”Gangnam Style”
menjadi ciri kontras pertikaian dua Korea, yang bisa jadi membawa perubahan
penting dalam meredam proliferasi nuklir mengancam umat manusia.
”Gangnam Style” menjadi awal masuknya
budaya musik Asia ke dunia negara-negara Barat, sebagaimana lagu hit Spanyol
yang dibawakan duo Los Del Rio ”Macarena” pada tahun 1996 menyihir jutaan
manusia di seluruh dunia.
Namun, berbeda dengan ”Macarena”, gelombang
hallyu Korea merupakan bagian penting pertumbuhan ekonomi Korsel.
Dirancang secara cermat, mulai dari
koreografi tari sampai pemasarannya, hallyu juga didukung penuh oleh
Pemerintah Korsel. Para penguasa di Seoul menempatkan hallyu sebagai bagian
penting pertumbuhan ekonominya.
Digemari dari Austria sampai Australia, ”Gangnam
Style” secara mengejutkan menyisihkan fenomena musik pop dari bagian lain
Asia, sekaligus merambah dunia musik pop Barat.
Sebelum ”Gangnam Style”, pasar musik pop
dunia yang hampir tak pernah tergoyahkan oleh krisis ekonomi dan perdagangan
masih tetap dikuasai oleh industri musik berbahasa Inggris. Bintang-bintang
musik berbahasa Inggris selalu menguasai panggung dunia dan menjadi komoditas
ekspor penting yang tak pernah ada habisnya.
Dari total perdagangan musik dunia, AS
menduduki urutan pertama diikuti kemudian oleh Inggris dan Kanada. Dominasi
musik dari negara-negara berbahasa Inggris (Anglosphere) ini sudah
berlangsung selama beberapa dekade sehingga cenderung arogan.
Selama satu dekade terakhir, China bersusah
payah memproyeksikan softpower-nya melalui Institut Konfusius di mana-mana,
mengikuti tradisi Alliance Française mempromosikan budaya, bahasa, dan seni
Perancis.
Musik pop China, khususnya Cantopop yang
berawal dari Hongkong dengan bintang-bintang seperti Andy Lau dan Jackie
Cheung, memiliki penggemar tersendiri di seluruh kawasan Asia. Namun,
Cantopop belum bisa menyamai hallyu.
Fenomena baru ini ditandai dengan
ditembusnya batas-batas lingua franca melalui dentuman bas dan koreografi
spesifik yang memang ditata secara modern dengan teknologi tinggi. Kehadiran
musik digital serta lingkup luas jejaring internet menjadikan ”Gangnam Style”
diterima secara antusias di mana-mana.
Keterlibatan Pemerintah Korsel dalam hallyu
adalah sesuatu yang tidak dilakukan para penguasa China, yang justru
menganggap budaya pop sebagai dekaden.
”Gangnam Style” adalah bentuk baru yang
menantang hegemoni Anglosphere dalam globalisasi. Globalisasi di abad ke-21
membentuk budaya baru yang disebut indie culture, budaya independen, dan
dalam konteks negara-bangsa maupun hubungan internasional merupakan perpaduan
antara kosmopolitanisme dan patriotisme. ●
|
Rene L Pattiradjawane <- pembela asu dan zionis beserta antek anteknya (korea jepang), hati hati !
BalasHapus