Learning,
Unlearning, dan Relearning
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma,
Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 29 Oktober 2012
BELAJAR ialah hakikat manusia sesungguh nya.
Kemampuan untuk belajar hanya ada pada makhluk yang bernama manusia, tidak
pada makhluk lainnya. Alasan itu azali, suratan, dan sunah Tuhan karena Dia
secara menyengaja memberikan satu elemen mendasar dalam diri manusia, yaitu
otak. Bahkan bukan hanya otak, Tuhan pun memberi manusia hati untuk merasa,
serta penglihatan dan pendengaran sebagai media yang dapat membawa dan membuka
otak dan hati manusia.
Dengan kelebihan-kelebihan tersebut, tak ada
alasan bagi siapa pun untuk tidak mau belajar. Karena belajar ialah
intrinsik, potensi yang dimiliki setiap orang sesungguhnya sama besar. Dengan
keyakinan itulah proses pendidikan sebenarnya harus bermula, yaitu menghargai
keragaman potensi anak sebagai sebuah potensi besar untuk berkelana sejauh
mungkin dalam proses belajar-mengajar yang menyenangkan.
Mengapa belajar harus menyenangkan? Hati dan
otak biasanya akan menyimpan dengan baik hal-hal yang menyenangkan sekaligus
menyimpan hal-hal yang tidak menyenangkan. Sebagai makhluk yang berpikir (al-insaanhayawan al-naathiq), manusia
yang belajar pasti akan berpikir (think),
sebuah kata kerja yang menggunakan otak (brain)
agar manusia dapat menggunakan akal pikirannya (mind) dalam melakukan sesuatu.
Namun, menggunakan otak saja tak cukup. Karena
itu, otak perlu penuntun dan fungsi penuntun diletakkan di hati, sebuah benda
yang tak jelas posisinya karena ketika mengatakan `hati', kita selalu
memegang bagian dada kita, tempat jantung dan paru-paru berada. Adapun hati,
jika tak salah, terletak di bagian belakang dan bawah perut. Dalam bahasa
agama, jika otak sudah dipadukan dengan hati, seseorang dapat disebut telah
berakal (sensible), sebuah potensi
yang membuat manusia berbeda dan disebut hewan yang berpikir, hewan yang
memiliki otak paling lengkap dan sempurna.
Menurut data dari Pubmed, sejak 1996 sampai
dengan 2000 saja, setiap tahun rata-rata dibuat sekitar 30 ribu laporan
penelitian dan karya ilmiah tentang otak. Akan tetapi, ribuan ilmuwan
tersebut masih mengatakan, “There is
more we do not know about the brain than what we do know about the brain
(Masih banyak yang tidak kita ketahui tentang otak daripada yang telah kita
ketahui tentangnya).“ Betapa luas Tuhan menciptakan `seonggok benda' bernama
otak yang begitu rumit dan sempurna.
Dalam teori brain based learning disebutkan,
semua pengetahuan pasti ada manfaatnya. Karena itu, jangan pernah menyesal
dengan apa yang pernah kita pelajari atau kita baca karena suatu saat apa
yang pernah kita pelajari pasti akan bermanfaat. Postulat lain menyebutkan
tidak ada sesuatu yang benar-benar baru, hanya ada kombinasi-kombinasi baru
sehingga ditemukanlah ide baru (penemuan baru).
Karena itu, belajar akan mengajari seseorang
untuk tidak pernah berhenti berpikir. Namun karena dialektika otak dan hati
selalu terjadi, secara psikologis adakalanya manusia merasa puas dan merasa
sudah menjadi seperti yang mereka harapkan. Pada posisi dan situasi itulah terjadi
yang disebut sebagai unlearning.
Ketika otak merasa puas dan berhenti berpikir,
manusia bisa saja terperosok ke dalam sebuah dunia lain sehingga dia
bertindak tanpa memikirkan risiko dan akibat yang akan ditimbulkannya.
Perilaku menyimpang merupakan gambaran bahwa manusia bisa mengalami fase
unlearning. Secara ekstrem, gambaran perilaku menyimpang seperti teroris dan
koruptor merupakan beberapa contoh bahwa manusia bisa terjebak ke dalam
perilaku unlearning.
Namun jika hati seseorang dapat menuntun lagi
kerja otak untuk mulai berpikir dan belajar kembali, fase semacam itu disebut
relearning. Untuk kembali belajar (relearning),
seseorang tidak hanya membutuhkan tuntunan hatinya, tetapi juga dukungan
lingkungannya. Itulah sebabnya untuk kasus-kasus tertentu seperti para bekas
teroris, diperlukan sebuah proses belajar kembali dengan cara memberi mereka
dukungan untuk kembali kepada habitat dan masyarakat.
Dalam konteks belajar-mengajar, proses
relearning juga sejalan dengan prinsip re-education, sebuah basis filosofis
untuk bekerja dengan orang-orang yang mengalami gangguan, baik secara emosi
maupun perilaku (a philosophical basis
for working with person who has emotional and/or behavioral disorders).
Dalam proses reedukasi, mengembalikan mentalitas lama ke dalam pembentukan
mentalitas baru yang sesuai dengan kondisi normal lingkungan masyarakatnya
ialah imperatif.
Selain itu, bekerja dengan memamahi prinsip
dan hakikat reedukasi membutuhkan basis riset yang baik dan benar. Tanpa
riset yang saksama, sebuah proses reedukasi atau relearning pasti akan
mengalami kegagalan. Alasannya sangat sederhana. Jika belajar (learning) dan berhenti belajar (unlearning) adalah laku individual, relearning adalah laku individual
sekaligus sosial seseorang. Hampir tak mungkin seseorang akan sukses meretas
untuk kembali belajar tanpa ada dukungan masyarakat, minimal keluarganya. Di
sinilah makna penting relearning
dalam proses pembelajaran seseorang.
Dalam School that Learns: A Fifth Discipline Fieldbook for Educators,
Parents, and Everyone Who Cares about Education (2000), Peter Senge
mengenalkan basis rekognisi hubungan baik antarsesama manusia sebagai modal
dalam mengawal proses pendidikan yang baik. Kemampuan untuk mengenal
identitas orang lain dan nilai yang diberikannya dalam sebuah kehidupan
merupakan bagian terpenting dari sebuah proses reedukasi atau relearning.
Artinya, sebagai sebuah siklus belajar, relearning
atau re-education sesungguhnya
sedang berusaha menyadarkan seseorang agar selalu dan mau belajar memaknai
eksistensi diri sendiri dengan cara pandang orang lain dalam memahami diri
kita.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar