Merancang
Stabilisasi Harga Kedelai
Khudori ; Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan
Pangan Pusat,
Penggiat
Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Penulis Buku ”Ironi Negeri Beras”
|
SINDO,
30 Oktober 2012
Pemerintah tengah menyusun instrumen stabilisasi harga kedelai.
Rencananya ada dua harga: harga pembelian dan harga penjualan. Harga
pembelian untuk melindungi petani kedelai.
Saat harga kedelai merosot, pemerintah melalui Bulog menyerap kedelai produksi petani sesuai harga pembelian agar tidak jatuh merugi.Sebaliknya, harga penjualan untuk melindungi perajin tahu/ tempe dari fluktuasi harga kedelai. Saathargakedelaidipasarlebih rendah dari harga penjualan, perajin tahu/tempe bisa membeli di pasar. Saat harga naik, perajin tahu/tempe bisa membeli ke pemerintah dengan harga penjualan.Kebijakan harga bagi produsen dan konsumen ini sudah lama ditunggu. Pertanyaannya, tepatkah dua harga itu sebagai instrumen stabilisasi harga kedelai? Tiap komoditas memiliki karakteristik berbeda. Karakteristik yang berbeda menuntut model stabilisasi harga yang berbeda pula.Harga pembelian dan harga penjualan kedelai yang dirancang pemerintah sepertinya tak jauh beda beleid harga dasar (floor price) dan harga langit-langit (ceiling price) yang diberlakukan pada beras di zaman Orde Baru. Dilengkapi pendanaan lewat Kredit Likuiditas Bank Indonesia dan captive market (TNI/ Polri/PNS) sebagai outlet, kebijakan harga dasar dan harga langit-langit saat itu cukup efektif menstabilkan harga beras. Instabilitas harga bisa dikelola dengan baik. Tapi, kedelai bukan beras. Pertama,beras merupakan konsumsi langsung rumah tangga, sedangkan kedelai adalah bahan baku industri tempe dan tahu. Kedua, faktor ketidakstabilan harga beras lebih banyak di dalam negeri, sedangkan kedelai di luar negeri. Ini terkait kapasitas produksi domestik. Produksi beras Indonesia cukup baik, bahkan sejak 2008 bisa kembali berswasembada. Impor beras memang masih terjadi.Pada 2011 misalnya impor beras mencapai 2,7 juta ton.Namun,impor itu bukan karena produksi beras domestik tidak memadai, melainkan karena komplikasi kebijakan dan rente ekonomi. Sebaliknya, kapasitas produksi kedelai domestik terus merosot.Pada era 1990-an kita berswasembada kedelai. Puncak produksi kedelai terjadi pada 1992 dengan tingkat produksi 1,8 juta ton, naik tiga kali lipat dibandingkan pada 1973 saat dimulai Program Bimas/Inmas Kedelai.Sejak itu terjadi fenomena dekedelaisasi: proses menjauh dari kedelai. Periode 1992-2011 produksi menurun 3,05% per tahun dan luas panen menurun 4,05% per tahun. Dalam 19 tahun terakhir luas panen bahkan menurun tinggal 37% dari 1.665.706 hektare (1992) tinggal 620.928 hektare (2011). Pada 2012 kebutuhan kedelai 2,2 juta ton. Sebaliknya, menurut Angka Ramalan I BPS, produksi kedelai hanya 779.741 ton. Kini produksi kedelai domestik hanya mampu menopang 30% dari kebutuhan. Ketiga, produksi beras hanya terkonsentrasi di Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Nusa Tenggara Barat, sedangkan konsumsinya merata di seluruh Indonesia. Sementara, dalam jumlah kecil, produksi kedelai terkonsentrasi di sejumlah daerah. Produksi kedelai tak signifikan memengaruhi harga di tingkat petani. Pengaruh dominan justru berasal dari harga internasional. Perbedaan lainnya pada beras terdapat pola panen yang ajek: musim panen raya (Februari– Mei dengan 60–65% dari total produksi), panen gadu (Juni– September dengan 25-30% dari total produksi) dan musim paceklik (Oktober–Januari). Akibat pola panen itu, pada beras terdapat surplus musiman. Jika pemerintah (lewat Bulog) tak melakukan pembelian di pasar, harga akan jatuh. Pada kedelai tidak demikian. Uraian ini menunjuk satu hal: untuk menjaga harga kedelai dalam negeri tidak cukup hanya memakai instrumen harga pembelian dan harga penjualan. Apabila impor kedelai tak dibatasi,tidak dikendalikan dan sepenuhnya diserahkan kepada pasar seperti saat ini, instrumen harga pembelian dan harga penjualan tak akan efektif. Impor kedelai yang tak terkendali potensial mentorpedo kebijakan-kebijakan lain di komoditas kedelai. Apabila impor kedelai tidak dikendalikan, bisa dipastikan sebagian besar kedelai, terutama impor, akan dijual ke pemerintah.Ini terjadi bila terdapat perbedaan harga yang cukup besar antara harga pembelian pemerintah dan harga pasar. Apakah pemerintah sudah siap menampungnya? Di mana tempat penampungannya? Kedelai hasil pembelian pemerintah akan dijual ke siapa? Siapa yang menanggung beban jika penjualan merugi karena harga pasar kedelai lebih murah? Sebagai operator, Bulog tentu tidak akan mau mengemban amanah ini.Amanah ini hanya mengantarkan Bulog ke jurang kerugian. Karena itu,instrumen harga pembeliandanhargapenjualan harus dilengkapi beleid lain yaitu menata ulang pasar impor. Koreksi pasar bisa dilakukan dengan menata ulang perusahaan yang diberi izin impor. Agar powerfull, kuota impor bisa sepenuhnya diberikan kepada Bulog. Dari pengalaman pada masa lalu,cara ini cukup efektif menjadi bagian instrumen stabilisasi harga.Namun, langkah ini dipastikan akan menimbulkan resistensi, baik dari importir maupun negara-negara pengekspor yang menggantungkan outlet pasarnya di Indonesia. Saat ini impor kedelai hanya berada di tangan segelintir pelaku. Dua perusahaan—PT Gerbang Cahaya Utama (menguasai pangsa impor 47%) dan PT Cargill Indonesia (27,6%)— bahkan menguasai pangsa impor hampir 75%. Dengan penguasaan pasar (impor) sebesar itu, importir ini berpeluang besar me-remoteharga. Sebagai jalan tengah,50% kuota impor diberikan kepada Bulog, sisanya dilelang ke swasta. Dengan kuota ini, jumlah kedelai yang dikelola Bulog lebih dari cukup. Pada saat yang sama Bulog harus menyerap kedelai produksi dalam negeri dengan harga pembelian. Penguasaan kedelai yang memadai oleh Bulog akan menutup peluang swasta memainmainkan harga. Instrumen kuota impor harus dibarengi dengan stok atau cadangan kedelai pemerintah. Cadangan kedelai pemerintah ini bisa digerakkan setiap saat oleh Bulog apabila mekanisme pasar mengalami kegagalan (market failure). Bulog tentu tidak bisa melakukan operasi pasar seperti beras. Untuk mengatasi kegagalan pasar, Bulog bisa memberdayakan dan memanfaatkan jaringan Koperasi Produsen Tahu dan Tempe Indonesia (Kopti) sebagai tangan kanan. Dengan pelbagai instrumen ini, stabilisasi harga kedelai akan optimal. Pada saat yang sama, harga pembelian kedelai bakal menstimulasi petani domestik untuk berproduksi dan meningkatkan produktivitas. Jika semua berjalan dengan baik,bukan mustahil kita kembali swasembada kedelai. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar