Banjir Kanal
dan Bendungan di Jakarta
Handi Sapta Mukti ; Pemerhati Masalah Sosial & Lingkungan;
Mahasiswa
Program Pasca Sarjana Magister Manajemen PPM-Jakarta
|
SINDO,
31 Oktober 2012
Musim penghujan telah tiba, sudah saatnya
warga Jakarta bersiap-siap menghadapi masalah tahunannya yaitu banjir. Boleh
jadi tahun ini adalah menjadi tahun pertama musim penghujan sejak Banjir
Kanal Timur (BKT) mulai beroperasi penuh. Musim hujan ini menjadi ujian atas
efektivitas pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) yang menelan biaya tidak
sedikit itu. Ancaman banjir di Jakarta memang tidak dapat dihindari, karena
secara geomorfologis Jakarta merupakan dataran rendah dan daerah aliran
sungai (DAS) dari beberapa sungai yang bermuara di Teluk Jakarta.
Sungai-sungai tersebut di antaranya Ciliwung, Cisadane, Pesanggrahan, dan Cipinang.Sungai-sungai inilah yang menjadi penyumbang terbesar banjir di Jakarta yang lebih dikenal sebagai banjir kiriman. Selain banjir kiriman,di Jakarta ada banjir lokal yang timbul karena tersumbatnya saluran air di pemukiman serta banjir rob yang disebabkan air laut pasang. Banjir di Jakarta sudah terjadi sejak ratusan tahun yang lalu, fakta menarik terungkap dari penelitian Restu Gunawan dalam bukunya: “Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa” (2010). Disampaikan bahwa banjir di Jakarta sudah terjadi sejak abad ke-19, tepatnya tahun 1893 dan secara terus menerus terjadi hingga kini. Pemikiran untuk membangun Kanal dimulai tahun 1918 saat wilayah Batavia dilanda banjir besar. Lalu Pemerintah mulai membentuk tim khusus pengelola banjir tahun 1962 yang disebut Komando Proyek Pengendali Banjir atau Kopro Banjir dan bernaung di bawah Pemerintah DKI Jakarta. Anehnya masalah banjir dan penanganannya yang sudah berlangsung berabad-abad tersebut tetap tidak memberikan hasil maksimal dan Jakarta masih dilanda Banjir hingga saat ini. Karena itu saya setuju dengan pendapat Restu Gunawan bahwa Sistem Kanal sebagai cara mengendalikan Banjir di Jakarta telah gagal, karena sistem kanal hanya mampu mengurangi beban banjir sesaat. Lalu bagaimana Jakarta bisa terhindar dari masalah banjir yang tidak kunjung teratasi dari tahun ke tahun? Saya punya konsep menarik yang akan memberikan keuntungan jika diterapkan, yaitu dengan membuat danau dan bendungan di DAS di wilayah perbatasan DKI Jakarta. Dengan membuat danau dan bendungan maka kita bisa menampung dan mengendalikan debit air sungai yang masuk ke Jakarta. Sebagai contoh DAS Ciliwung masuk ke wilayah Jakarta melalui kota Depok, Pasar Minggu, Kalibata, Kampung Melayu dan Manggarai. Di Manggarai Ciliwung dibendung pintu air Manggarai lalu dipecah menjadi dua, satu dialirkan ke kanal barat (Kalimalang) menuju Tanah Abang & Cengkareng dan satunya ke arah Matraman, Menteng, terus ke Teluk Jakarta. Hingga saat ini di musim penghujan akan terjadi banjir besar di wilayah yang dilalui DAS Ciliwung, mulai dari Pasar Minggu hingga Manggarai.Pengendali aliran Ciliwung hanya ada di Katulampa Bogor itu pun tidak dilengkapi dengan waduk penampungan air, hingga pada puncak musim hujan pintu bendungan terpaksa dibuka dan Jakarta harus menerima banjir kiriman. Untuk kasus Ciliwung ini, seharusnya dibuat danau dan bendungan yang memadai di wilayah perbatasan Depok dan Jakarta, sehingga banjir kiriman Ciliwung bisa ditampung “sementara”waktu di bendungan tersebut, selanjutnya dialirkan secara perlahan ke wilayah Jakarta dengan debit maksimal yang tidak menimbulkan banjir ke wilayah yang dilaluinya. Model yang sama bisa dilakukan terhadap sungai lainnya yang mengalir ke Jakarta. Pemikiran untuk membuat danau dan bendungan dalam mengendalikan banjir di Jakarta pernah diajukan pada tahun 1978 oleh seorang konsultan Perancis, lengkap dengan perhitungan biaya, perkiraan luas danau,penduduk yang harus dipindahkan, dan sebagainya (Restu Gunawan:2010). Sayangnya perencanaan yang sudah matang tersebut tidak pernah dilaksanakan. Ironisnya alih-alih membangun danau dan bendungan baru,yang sudah ada justru terbengkalai dan beralih fungsinya beberapa danau yang ada di Jakarta dan sekitarnya. Sementara itu di beberapa tempat danau-danau mengalami pendangkalan dan penyempitan karena aktivitas pembangunan fisik yang tidak terkendali. Seharusnya pengendalian banjir di Jakarta dapat dilakukan melalui beberapa program sebagai berikut: Pertama, normalisasi danau dan pembangunan danau pengendali banjir. Dengan normalisasi fungsi danau yang sudah ada dan membuat danau-danau buatan di wilayah DAS di Selatan Jakarta, yang dilengkapi dengan pintu air. Dengan melaksanakan program ini, sekaligus terbentuk obyek-obyek wisata baru, dan membuka sumber mata pencaharian baru bagi warga Jakarta dan sekitarnya. Kedua, normalisasi daerah aliran sungai (DAS).Normalisasi seluruh DAS yang ada di wilayah DKI Jakarta dan mengembalikan fungsinya sebagai daerah aliran sungai. Harus dilakukan pembebasan paling tidak 15 meterdikiridankananDASuntukdijadikan ruang terbuka hijau. Dengan menjalankan program ini maka akan tercipta ruang terbuka hijau baru,serta peningkatan kesejahteraan warga dengan disediakannya fasilitasperumahan yang lebih sehat dan memadai bagi warga yang sebelumnya tinggal di bantaran sungai. Ketiga, peremajaan dan pembangunan drainase sampai tingkat kelurahan. Untuk banjir lokal bisa dilakukan dengan penataan ulang seluruh drainase yang ada di Jakarta sampai tingkat kelurahan,RW & RT.Desain dan besarnya drainase harus sesuai dengan jumlah dan debit air yang melalui daerah tersebut. Drainase dan saluran air harus terintegrasi dengan semua DAS maupun banjir kanal yang melalui wilayah tersebut.Program ini harus dikelola sampai tingkat kelurahan dan akan menjadi salah satu indicator kinerja pimpinan di tingkat tersebut. Keempat,pembangunantanggul pantai dan hutan mangrove. Banjir rob dari air laut pasang di Jakarta utara dapat dikurangi dengan membuat tanggul pantai baik berupa tanggul biologis maupun tanggul teknis. Tanggul biologis dibangun dengan penanaman dan pembentukan hutanhutan mangrove,sedangkan untuk daerah-daerah pantai yang sudah terbangun akan dibuat tanggul teknis (beton). Kelima, pengelolaan dan pengolahan sampah.Keempat program mengatasi banjir di atas harus didukung oleh disiplin masyarakat atas kebersihan serta ditunjang sarana dan prasarana kebersihan yang mencukupi. Untuk ini harus melibatkan seluruh komponen masyarakat yang ada, termasuk ulama, dan tokoh masyarakat untuk mengkampanyekan program kebersihan. Di lain pihak Pemerintah Kota harus menyediakan sarana dan prasarana kebersihan yang memadai di wilayah Jakarta mulai dari pengangkutan dari rumah ke rumah, penampungan sampah sementara, pengangkutan, sampai dengan pengolahan sampah di tempat pembuangan akhir (TPA). TPA juga harus dimodernisasi, dengan menyediakan teknologi yang dapat mendaur ulang semaksimal mungkin sampah yang ada menjadi halhal yang berguna seperti pupuk organik, bijih plastik, dll. Sehingga penumpukan sampah di TPA bisa dikurangi, malah justru masyarakat sekitar bisa dikaryakan dalam proses daur ulang sampah tersebut menjadi sumber daya yang berguna dan bernilai jual kembali dengan kualitas yang terjaga. Alangkah indahnya apabila kelima program tersebut dapat dijalankan Pemerintah Kota DKI Jakarta dan didukung oleh seluruh warga Jakarta dengan partisipasi aktif sesuai dengan batas-batas kemampuannya. Seharusnya tidak ada masalah anggaran, karena kita tahu anggaran pembangunan Pemerintah Kota DKI Jakarta cukup besar. Jikapun berat proyekproyek ini bisa dijalankan secara ‘multiyears’. Kita warga Jakarta tentu sungguh mengidamkan kota Jakarta yang bersih dan nyaman yang dikelilingi oleh danau-danau yang asri tempat warga-nya bisa berwisata dan berolah raga dengan leluasa dan juga bebas dari ancaman banjir. ● |
postingan yang menarik, kami juga punya artikel terkait 'Banjir' silahkan buka link ini
BalasHapushttp://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/2391/1/Analisis%20Banjir%20Rancangan%20Dengan%20Metode%20HSS%20Nakayasu%20Pada%20Bendungan%20Gantung.pdf
semoga bermanfaat ya