Pendidikan
Jujur yang Membebaskan
Sidharta Susila ; Pemerhati Pendidikan;
|
KOMPAS,
29 Oktober 2012
Apa yang bisa mengguncang
institusi pendidikan prestisius? Ternyata bukan nilai, sarana-prasarana, atau
dana, tapi ketidakjujuran.
Itulah
yang terjadi di Universitas Harvard, AS, yang prestisius itu. Baru-baru ini
Harvard terguncang hebat oleh skandal ”nyontek” yang melibatkan sekitar 125
mahasiswa dalam mata kuliah pemerintahan.
Sesungguhnya
penulis rindu guncangan semacam itu juga terjadi dalam pendidikan kita.
Guncangan karena skandal ”nyontek” justru menunjukkan penyelenggara
pendidikan teguh memperjuangkan martabatnya. Kejujuran harga mati, martabat,
sekaligus roh pendidikan. Sebaliknya, menutup-nutupi fakta ketidakjujuran dan
beragam dinamika pendidikan manipulatif tindakan pembusukan dunia pendidikan
dan penghancuran bangsa.
Ada
banyak alasan mengapa siswa/mahasiswa mencontek. Pada kasus Harvard,
pencontek-
Tekanan
yang terlampau berat juga terjadi karena tuntutan prestasi/nilai. Tuntutan
itu bisa datang dari orangtua atau lembaga. Sesungguhnya tak selalu salah
menuntut pembelajar mendapat prestasi tinggi asal lembaga pendidikan
sungguh-sungguh menekankan dan menghargai proses. Nalarnya: kalau semua
proses pendidikan berjalan dengan baik, akuntabel, dan transparan,
nilai/prestasi yang baik akan terjadi dengan sendirinya.
Sayangnya,
pendidikan kita telah mengabaikan proses. Akibatnya sebagian besar pembelajar
di negeri ini tak memiliki kepercayaan diri. Ketika penulis bertanya kepada
para murid tentang alasan mereka sulit mengendalikan dorongan spontan untuk
tidak mencontek adalah nihilnya kepercayaan diri. Sejak SD mereka tak pernah
mengalami nikmatnya belajar, indahnya belajar dengan menekuni proses. Lebih
parah lagi, guru mereka tak banyak menghargai, apalagi mengajarkan proses
belajar.
Kita
bisa memahami pengakuan para murid itu ketika menyadari rendahnya kompetensi
guru. Kian jarangnya digunakan soal-soal uraian dalam ujian adalah petunjuk
lain. Pragmatisme pembelajaran yang berjiwa hedonis dengan menjadikan nilai
ujian sebagai penentu prestasi pantas kita pertimbangkan juga. Padahal,
banyak pembelajar sesungguhnya unggul dalam mengerjakan tugas harian
(proses), tetapi ringkih saat ujian karena kurang percaya diri. Di sini kita
mestinya sadar, para pencontek itu adalah korban dinamika pembelajaran yang
pragmatis-hedonis, mengabaikan proses, tidak transparan dan akuntabel.
Kita
juga mesti merenung jujur: tidakkah dinamika pendidikan yang begitu memuja
pencitraan dan beragam tindakan manipulatif hanya akan melahirkan generasi
pencontek? Apalagi bila dinamika semacam itu justru difasilitasi dan
dimobilisasi lembaga pemerintahan-negara. Itu sebuah pelanggaran hak asasi
manusia yang serius, sistematis, dan kejam, tetapi terjadi dalam sunyi. Lebih
parah lagi, ini efektif menghancurkan eksistensi bangsa kita karena pada
saatnya negeri ini akan diurus generasi nihil kepercayaan diri.
Pendidikan
jujur niscaya demi menjaga eksistensi bangsa ini dalam percaturan dunia.
Pendidikan jujur meniscayakan dinamika pembelajaran yang menekankan dan
menghargai proses, transparan, serta akuntabel. Dinamika pendidikan semacam
itu membantu pembelajar mengalami apa yang oleh Paulo Freire disebut
humanisasi.
Dalam
humanisasi, manusia dibantu menyadari keterbatasannya dengan praksis.
Pendidikan yang menekankan dan menghargai proses membantu pembelajar
menyadari keterbatasannya hingga sanggup mengatasi situasi yang membatasinya
itu.
Karena
itu, pembelajar perlu dibantu memilih institusi belajar yang memiliki kultur
dan dinamika pembelajaran yang cocok baginya. Tujuannya agar pembelajar mampu
berproses. Ia mampu nyaman dengan dirinya, menentukan target prestasi yang
terukur, serta melakukan dinamika proses pembelajaran yang unik untuk
mencapai target itu. Pada akhirnya ia terbantu untuk memiliki banyak pengalaman
sukses dan melampaui keterbatasan-keterbatasan yang disadarinya. Inilah jalan
melahirkan generasi berkarakter dan jujur.
Beragam
pencitraan dan kastanisasi pendidikan yang memengaruhi perekrutan pembelajar
perlu dipertimbangkan. Institusi pendidikan sebaiknya merekrut mereka yang
mampu belajar sesuai kultur institusinya. Sekolah/
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar