Keseriusan
Pemerintah Ditunggu
James Luhulima ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
27 Oktober 2012
Periode kedua pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah
mendekati akhir. Akan tetapi, ada dua masalah besar yang sama sekali belum
tertangani, yakni pemberantasan korupsi serta narkotika dan obat-obatan
berbahaya. Menggunakan kata belum tertangani mungkin agak kurang tepat. Yang
lebih tepat adalah kurang serius dalam menanganinya.
Untuk masalah korupsi, kita melihat ada
beberapa kasus yang sudah ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), tetapi pergerakan kasus- kasusnya
sangat lamban.
Kita melihat kasus mantan Bendahara Umum
Partai Demokrat M Nazaruddin, Mindo Rosalina Manulang (karyawan Nazaruddin),
dan Angelina Sondakh (anggota DPR dari Partai Demokrat) yang mengungkap
nama-nama politisi penting dalam pemeriksaan mereka di KPK. Namun, sampai
saat ini belum ada tindak lanjutnya.
Pada saat yang sama, kita melihat pejabat
yang terlibat dalam tindak korupsi dan pemeriksaannya tengah berlangsung
tetap dilantik. Bahkan, ada kepala daerah yang pelantikannya dilakukan di
penjara. Kita terheran-heran melihat hal itu bisa terjadi di republik yang
katanya menjunjung tinggi hukum dan rasa kepatutan.
Itu belum meliputi semua. Di Provinsi Riau
bahkan ada sejumlah bekas terpidana korupsi yang mendapatkan promosi jabatan.
Semua itu memperlihatkan bahwa rasa malu di kalangan pejabat publik kian
menipis, bahkan mungkin sudah hilang sama sekali.
Di Jepang, ketika seorang pejabat publik
tertangkap tangan melakukan tindakan yang memalukan, misalnya menyalahgunakan
kekuasaan atau wewenang, bisa dipastikan bahwa pejabat itu akan segera
mengundurkan diri. Namun, yang terjadi di sini justru sebaliknya.
Seseorang yang ditangkap karena melakukan
tindak korupsi, dan oleh pengadilan dijatuhi hukuman karena dianggap terbukti
melakukan korupsi, masih tetap dapat dipromosikan lagi setelah hukumannya
berakhir.
Guru Besar Ilmu Politik Universitas
Pertahanan Indonesia Salim Said mengatakan, pengangkatan para bekas terpidana
korupsi sebagai pejabat itu mencerminkan bahwa orang tak merasa malu lagi
bekerja melayani publik meski cacat moral. Kalau punya rasa malu, mereka
semestinya tak bekerja lagi sebagai pegawai negeri sipil (PNS), apalagi
kemudian diangkat sebagai pejabat publik.
Rasanya kita tidak perlu seorang guru besar
untuk mengatakan hal itu. Dan, benar, ternyata promosi jabatan untuk sejumlah
bekas terpidana korupsi itu langsung mendapatkan tentangan dari masyarakat
luas.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi pun
bereaksi dan mengusulkan penyempurnaan aturan promosi pejabat kepada Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. ”Syarat pengangkatan
PNS dalam jabatan struktural akan ditambah dengan etika dan moral,” ujarnya.
Sayangnya, setelah ditentang, hanya satu
dari sejumlah pejabat bekas terpidana korupsi itu yang mengundurkan diri.
Sisanya masih tetap menduduki jabatannya.
Kasus simulator mengemudi yang sudah
diminta oleh Presiden Yudhoyono untuk diserahkan kepada KPK masih harus kita
tunggu kelanjutannya. Semula Polri ingin menangani kasus itu sendiri, tetapi
masyarakat menginginkan agar kasus tersebut diserahkan kepada KPK. Masyarakat
khawatir, jika Polri yang menanganinya, akan terjadi konflik kepentingan.
Sama seperti kasus rekening gendut sejumlah petinggi Polri yang tidak kunjung
diusut.
Narkoba
Sama seperti penanganan korupsi, penanganan
pemberantasan narkoba pun seperti membentur tembok. Padahal, peredaran
narkoba sudah merambah ke mana-mana. Bukan hanya di masyarakat bawah,
melainkan juga sudah beredar di kalangan elite. Bahkan termasuk di kalangan
legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Yang lebih menyedihkan lagi adalah
peredaran narkoba itu diatur dari dalam penjara, yang seharusnya menjadi
tempat hukuman bagi pengedar narkoba. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Itu
adalah hal utama yang harus dijawab oleh pemerintahan Presiden Yudhoyono.
Bagaimana mungkin seseorang yang tengah
berada di dalam penjara bisa dengan bebas menggunakan telepon seluler dan
mengatur peredaran narkoba? Menyelesaikan hal itu pasti tidak mudah. Wakil
Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana pernah mencoba memberantasnya dengan
mengadakan inspeksi mendadak (sidak) bekerja sama dengan Badan Narkotika
Nasional, tetapi tidak berhasil. Oleh karena satu dan lain hal, sidak itu
kemudian dihentikan.
Soal penanganan peredaran narkoba dari
balik dinding penjara belum selesai, tiba-tiba sudah disusul dengan grasi
yang diberikan Presiden Yudhoyono kepada dua anggota sindikat narkoba, Deni
Setia Maharwa alias Rafi Muhammed Majid dan Meirika Pranola alias Ola. Grasi
tersebut membatalkan hukuman mati Deni dan Ola menjadi hukuman penjara seumur
hidup.
Pemberian grasi terhadap dua anggota
sindikat narkoba itu menuai protes dari berbagai pihak. Hal itu mengingat
dalam peringatan Hari Antinarkotika Internasional di Istana Negara, 30 Juni
2006, Presiden Yudhoyono mengatakan, ”Banyak permohonan grasi dari pelaku
kejahatan narkoba yang dilayangkan kepada saya. Tetapi, Saudara Ketua
Mahkamah Agung dan saya sendiri tentu memilih untuk keselamatan bangsa dan
negara kita serta memilih keselamatan generasi kita dan generasi muda kita
dibandingkan memberikan grasi kepada mereka yang menghancurkan masa depan.”
Dari pemberian grasi kepada kedua anggota
sindikat narkoba itu, tampak jelas bahwa Presiden Yudhoyono tidak memahami,
penjahat narkoba tidak bisa dimaafkan atas alasan apa pun. Perbuatan sindikat
narkoba itu sudah berurat akar di hampir semua lapisan masyarakat. Oleh
karena itu, tindakan mereka tidak dapat dimaafkan dengan alasan apa pun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar