Makna Kurban
di Tengah Krisis
Zainul Mun’im ; Peneliti di Pusat Studi dan Konsultasi Hukum
(PSKH) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta |
SUARA
KARYA, 25 Oktober 2012
Hari Raya Idul Adha
atau lebih dikenal dengan Hari Raya Kurban telah tiba. Setelah melakukan
shalat Ied, sampai tiga hari berikutnya yakni paa 11, 12, dan 13 Dzulhijjah,
umat Islam yang berkemampuan dianjurkan untuk menyembelih hewan kurban, baik
berupa sapi ataupun domba.
Penyembelihan hewan
kurban pada hari Idul Adha secara historis merujuk pada puncak ketaatan Nabi
Ibrahim kepada Allah. Beliau menjalankan perintah Allah untuk menyembelih
putranya sendiri Ismail. Melalui mimpi, Allah memperintahkan Nabi Ibrahim
untuk menyembelih putra kesayangan yang telah lama ia nantikan kehadirannya.
Mimpi yang berulang datangnya itu, ia yakini sebagai titah yang harus
dilaksanakan.
Dari sejarah inilah,
terdapat sebuah esensi bahwa berkurban berarti memenuhi perintah syariat
(Allah). Esensi tersebut juga dapat kita temukan dalam Al-Qur'an yang
berbunyi, "Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang
banyak. Maka, dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah."
(Al-Kautsar; 1-3) Ayat tersebut kemudian dipertegas oleh Rasulullah dalam
sabdanya, "Barang siapa yang memperoleh ke lapangan, namun ia tidak
berkurban, janganlah ia menghampiri tempat shalat kami."
Namun, melihat bangsa
Indonesia yang sedang dihadapkan pada situasi yang memprihatinkan, di tengah
semakin bertambahnya masyarakat yang jatuh miskin sebagai dampak ekonomi
bangsa yang semakin merosot, perlu kiranya memaknai ibadah kurban sebagai
momentum kebangkitan atas carut marutnya ekonomi bangsa ini. Di samping,
sebagai upaya revitalisasi terhadap kadar keimanan dan ketakwaan kita dalam
melaksanakan perintah Tuhan Yang Maha kuasa.
Masalahnya kini,
apakah proses ritual-formal ibadah kurban, termasuk penyembelihan hewan
benar-benar membuka kesadaran sosial masyarakat? Atau, hanya sekadar membagi
daging, lalu pasca pembagian, maknanya lenyap begitu saja, sehingga tidak
dapat menjadi solusi atas situasi bangsa Indonesia yang sangat
memprihatinkan?
Oleh karena itu,
seperti dijelaskan di atas, pemaknaan ulang (re-interpretasi) terhadap ibadah
kurban harus meliputi faktor-faktor yang dapat menunjang terjadinya kesadaran
masyarakat.
Dalam Islam, makna
suatu ibadah tidak bisa dilepaskan dari dua hal, yaitu aspek vertikal (hablun
min Allah) dan aspek horizontal (hablun min al-nas). Kedua aspek ini tidak
bisa dilihat secara parsial, namun harus dipandang secara integral, utuh, dan
menyeluruh, tak terkecuali dalam ibadah kurban.
Aspek vertikal (hablun
min Allah) ibadah kurban adalah bahwa semangat kurban merupakan salah satu
ajaran Islam yang bertujuan menguji keimanan seseorang dan tingkat cintanya
kepada Allah. Apakah harta dan segala yang ia miliki memalingkan dirinya dari
Allah. Meski sebenarnya, cinta kepada harta maupun anak-anak merupakan
fitrah, tetapi seharusnya cinta kepada Allah dan Rasul-Nya diletakkan di atas
semua itu.
Aspek ini, paling
tidak menunjukkan bahwa ibadah kurban merupakan ibadah yang mencerminkan
ketaatan dan kecintaan seorang hamba terhadap Allah dan Rasul-Nya. Ketika dia
berkurban, maka orang tersebut telah memenuhi sebagian anjuran Tuhannya.
Begitu juga sebaliknya, ketika dia tidak melaksanakannya, maka ketaatan dan
kecintaannya terhadap Allah dan Rasul-nya dianggap kurang.
Sejarah mencatat,
banyak sahabat Nabi yang berkurban, meski mereka dalam keadaan serba
kekurangan. Hal itu dilakukan karena kecintaan mereka kepada Allah dan
Rasul-Nya yang begitu menggebu-gebu, sehingga mereka tidak sedikit pun
berpikiran tentang dirinya.
Kedua, aspek
horizontal yakni perintah Tuhan kepada umat Islam yang mampu, agar
mendistribusikan dagingnya kepada kaum lemah, menyiratkan pesan substansial
kepada kita agar selalu bersemangat membantu meringankan penderitaan orang
lain. Bantuan yang diberikan pun tidak selalu harus berupa materi, melainkan
bisa dengan apa pun yang dapat kita sumbangkan demi penyelesaian problematika
sosial masyarakat. Misalnya, sumbangan pikiran, motivasi, tenaga, dan lain
sebagainya.
Dengan aspek kedua
ini, secara otomatis, orang yang setiap tahun melaksanakan kurban belum dapat
disebut 'berkurban' jika dalam dirinya tidak tertanam semangat membantu
meringankan beban penderitaan orang lain dalam kehidupan sehari-harinya.
Sebaliknya, meskipun
tidak memiliki kekayaan untuk melakukan kurban tetapi dalam dirinya telah
mengkristal semangat meringankan beban penderitaan orang lain berarti mereka
inilah (yang secara substansial) layak disebut pekurban sejati.
Imam Ghazali pun
pernah menyiratkan hal ini dalam bukunya Ihya al-Ilmu ad-Din bahwa
penyembelihan hewan kurban tidak lain untuk penyembelihan sifat kehewanan
manusia. Oleh karena itu, kurban semestinya bisa pula mempertajam kepekaan
dan tanggung jawab sosial (social responsibility) kita. Dengan menyisihkan
sebagian pendapatan untuk berkurban diharapkan timbul rasa kebersamaan di
masyarakat.
Karenanya, panggilan
berkurban hendaklah disikapi secara multidimensi dan penuh keterpaduan antara
kedua aspeknya, yakni aspek vertikal dan horizontal. Memaknainya hanya dengan
satu aspek saja, akan menimbulkan ketertimpangan kondisi antara moralitas dan
sosialnya.
Memaknai ibadah kurban
semacam ini, merupakan suatu keharusan dan keniscayaan bagi bangsa Indonesia,
mengingat situasi bangsa yang sedang berada di titik kemiskinan. Dengan
harapan masyarakat akan sadar akan pentingnya saling berbagi, membantu dan
saling meringankan kemeralatan sesama anak bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar