Kekerasan
Agama: Sebuah Refleksi
Tom Saptaatmaja ; Kolumnis dan Aktivis Lintas Agama,
Alumnus STFT Widya Sasana Malang dan
Seminari St Vincent de Paul
|
JAKARTA
POST, 27 Oktober 2012
Kita prihatin, masih saja terjadi kekerasan atas nama agama di
negeri ini. Kekerasan bisa berupa serangan pada penganut yang seagama tapi
berbeda mazhab seperti pada penganut Ahmadiyah dan Syiah.
Kekerasan juga bisa berupa pelarangan
pendirian tempat ibadah lewat kebijakan otoriter kepala daerah dengan
dukungan ormas keagamaan seperti kasus GKI Yasmin, atau penyegelan cukup
banyak gereja berbagai kawasan di negeri ini.
Kekerasan seperti itu jelas tidak bisa
dibenarkan. Dilakukan oleh siapa pun, disponsori lembaga apa pun, kekerasan
itu sungguh merupakan sesuatu yang biadab dan merendahkan martabat luhur
manusia. Jelas ada unsur pelanggaran HAM berat dalam kekerasan bernuansa
agama tersebut.
Meski pihak penyerang atau yang menyegel
menggunakan atribut dan simbol-simbol agama tetentu, kekerasan itu tetap
tidak bisa dibenarkan oleh akal sehat kita.
Matinya Akal Sehat
Namun mungkin saja akal sehat kita memang
sudah mati karena kekerasan, khususnya kepada kaum minoritas seperti Syiah,
Ahmadiyah, umat kristiani, dsb, kadang malah sudah diketahui informasinya
oleh aparat kepolisian. Kekerasan atas nama agama menjadi bukti bahwa setelah
67 tahun merdeka, kita ternyata masih sulit untuk bisa menerima perbedaan.
Yang berbeda dianggap sebagai sebuah aib
dan pantas serta sah untuk dilenyapkan. Ini jelas merupakan bentuk
pengkhianatan terhadap cita-cita para pendiri bangsa agar Indonesia bisa
menjadi rumah yang aman dan nyaman bagi semua orang dari semua agama.
Padahal dulu negeri ini dikenal sebagai
negeri yang ramah dan warganya bisa saling menghargai perbedaan. Kini
tampaknya kita harus kembali dari nol untuk belajar menghargai keberagaman
dan perbedaan.
Indonesia di mata dunia kini dipandang
sebagai negeri penuh intoleransi. Indonesia lebih buruk daripada Israel. Itu
karena di negeri Yahudi tersebut, baik Kristen atau Islam dengan segala
aliran, justru terus tumbuh, meski kekejaman bangsa itu terhadap bangsa
Palestina tidak bisa kita terima.
Menyedihkan bahwa sebagian warga kita telah
memilih menjadi “bigot”. Dalam psikologi, istilah “bigot” menunjuk pada orang
yang sangat kuat loyalitasnya pada kelompok tertentu, entah agama, etnis,
partai politik, sekolah, kampus, kampung, dan sebagainya.
Orang semacam ini sama sekali sudah tak
punya toleransi terhadap golongan lain yang yang tidak sepaham. Agama yang
seharusya menjadi jalan pembebasan pun bagi penganut agama yang “bigot”
justru bisa ditafsirkan sebagai alat untuk menindas yang berbeda. Orang
“bigot” memang sangat mudah menghakimi orang lain. Kategori kafir dan sesat
bisa dengan cepat meluncur.
Memperbincangkan tafsir, memang sebenarnya
semua kekerasan itu bisa didorong oleh tafsir sehingga ketika seorang “bigot”
punya tafsir yang banal atas agama yang dianutnya, maka dijamin pesan sejuk
agama bisa dipelintir menjadi pesan penuh amarah. Pemahaman keagamaan yang
sepotong, dijadikan sesuatu yang kebenaranya absolut.
Tuhan pun bisa ditafsirkan tidak toleran
dan seolah hanya berpihak pada “agamaku” sendiri sebagai agama yang paling
benar, sedangkan semua agama yang lain adalah sesat. Tuhan di mata para
“bigot” seolah “sosok” yang haus kekuasaan dan gila hormat. Memang orang
bebas menafsirkan, tapi jangan pernah memonopoli dan memaksakan tafsir pada
pihak lain.
Tafsir seperti itu, ditambah sifat “bigot”
semakin mendorong pemahaman keagamaan yang ekstrem. Ekstremitas atau
radikalisme kini memang menjadi problem di banyak belahan dunia, tak
terkecuali Indonesia. Banyak hal tak masuk akal terjadi, ketika pemahaman
keagamaan sudah menjadi ekstrem.
Maka kita perlu menggunakan akal sehat
kembali, karena akal sehat mati ketika kekerasan kian marak. Coba kalau kita
sungguh berakal, tentu kita prihatin.
Jangankan mau menghunus pedang, mau
mencubit sesama pun pasti tidak akan jadi kalau akal sehat dan nurani masih
dipakai. Itu karena segala bentuk kekerasan sebenarnya merupakan tindakan
yang tidak manusiwi lagi, lebih rendah daripada kelakukan binatang buas mana
pun.
Padahal kalau orang gemar mengobral
kekerasan atas nama agama, sebenarnya ini menjadi promosi yang buruk bagi
agama yang kita anut. Kekerasan jelas merusak citra agama sebagai pembawa
pesan perdamaian. Jika tanpa kekerasan atas nama agama saja, kita sudah
dibuat muak maka kekerasan atas nama agama benar-benar membuat kita semakin
muak.
Tidak heran, meski di negeri kita secara
formal tidak ada pengakuan terhadap ateisme, tapi jika hendak dilakukan
penelitian, kini cukup banyak orang khususnya di kota-kota besar lebih
memilih menjadi ateis daripada beragama tapi memuja kekerasan. Karya dan
pemikiran Daniel Denett, Christopher Hitchens, Richard Dawkin, atau Sam Haris
yang ateis diam-diam banyak dibaca di kota-kota besar di negeri ini.
Kekerasan yang dilakukan oleh sebagian
orang dengan membawa atribut agama, jika dikaji secara mendalam memang amat
bertentangan dengan ajaran agama sebagai pembawa kebaikan, keadilan dan
kedamaian.
Kekerasan juga amat bertentangan dengan
kemanusiaan karena dalam setiap kekerasan pasti ada martabat manusia yang
dilecehkan, termasuk di dalamnya kaum perempuan dan anak-anak. Pernahkah kita
memikirkan masa depan anak-anak yang mengalami pengucilan, kehilangan akses
pendidikan, bahkan status kependudukan, gara-gara agama yang dianut orang
tuanya?
Biasanya yang dijadikan alasan adalah
masalah akidah atau dogma atau rebutan klaim kebenaran. Padahal terkait sesat
tidaknya sebuah agama, biarlah menjadi urusan Sang Pencipta saja. Tuhan tidak
memerlukan juru bicara atau pembela, apalagi polisi atau hakim agama dan
menghalalkan kekerasan. Masalahnya, bisa tidak kita sebenarnya untuk menerima
perbedaan.
Silakan orang meyakini penafsiran keagamaan
model apa pun, tapi biarkan juga orang lain punya keyakinannya sendiri.
Jangan menghakimi keyakinan orang lain dengan paham kita, apalagi
diekspresikan dalam tindak dan perilaku kekerasan terhadap yang lain.
Kembali ke Jati Diri Agama
Maka kita perlu kembali belajar untuk
berbeda, tanpa perlu meletupkan kekerasan pada pihak lain. Semua agama
membawa pesan damai dan damai ini sebenarnya harus dirasakan oleh orang-orang
lain. Mari ingat bahwa negara ini bukan negara agama dan bukan dimaksudkan
untuk melindungi satu agama atau aliran saja.
Semua penganut agama dijamin dalam
konstitusi kita, khususnya UUD 1945 Pasal 28 E ayat 1 dan 2 serta UU No
39/1999 tentang HAM. Maka dalam bertindak, khususnya kepolisian, justru
jangan membela satu kelompok saja, tapi semua perlu dilindungi. Polisi jangan
memperkeruh keadaan, hanya karena ingin mencari selamat.
Yang suka memuja kekerasan, mari
merenungkan kalimat Bawa Muhayaiddeen. Menurut Sufi dari Amerika Serikat itu,
setiap penganut agama adalah musafir yang sedang mengembara di gurun pasir
untuk menuju suatu tempat keabadian.
Kita ibaratnya sedang mencari air kesejukan
di sebuah oasis untuk bekal dalam perjalanan panjang. Sesampai di oasis itu,
sebagian besar manusia lupa mengambil air kesejukan karena lebih suka melihat
perbedaan wadah air itu. Ada yang membawa wadah air dari logam, ada yang dari
kuningan, ada yang dari kayu, dan sebagainya.
Manusia saling menyalahkan bahwa wadah yang
dibawa orang lain salah karena seharusnya orang lain memakai wadah seperti
yang dimilikinya. Mereka juga sering beradu pendapat, berkelahi bahkan saling
membunuh.
Ketika waktunya telah habis, mereka tidak
sempat mengisi wadahnya dengan air kesejukan. Tragis! Jadi mari kembali ke
jati diri agama sebagai pembawa cinta kasih dan damai, bukan pembawa
kebencian dan mengobral kekerasan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar