Minggu, 28 Oktober 2012

Kekerasan Agama: Sebuah Refleksi


Kekerasan Agama: Sebuah Refleksi
Tom Saptaatmaja ;  Kolumnis dan Aktivis Lintas Agama,
Alumnus STFT Widya Sasana Malang dan Seminari St Vincent de Paul
JAKARTA POST, 27 Oktober 2012
  

Kita prihatin, masih saja terjadi kekerasan atas nama agama di negeri ini. Kekerasan bisa berupa serangan pada penganut yang seagama tapi berbeda mazhab seperti pada penganut Ahmadiyah dan Syiah.

Kekerasan juga bisa berupa pelarangan pendirian tempat ibadah lewat kebijakan otoriter kepala daerah dengan dukungan ormas keagamaan seperti kasus GKI Yasmin, atau penyegelan cukup banyak gereja berbagai kawasan di negeri ini.
Kekerasan seperti itu jelas tidak bisa dibenarkan. Dilakukan oleh siapa pun, disponsori lembaga apa pun, kekerasan itu sungguh merupakan sesuatu yang biadab dan merendahkan martabat luhur manusia. Jelas ada unsur pelanggaran HAM berat dalam kekerasan bernuansa agama tersebut.

Meski pihak penyerang atau yang menyegel menggunakan atribut dan simbol-simbol agama tetentu, kekerasan itu tetap tidak bisa dibenarkan oleh akal sehat kita.

Matinya Akal Sehat

Namun mungkin saja akal sehat kita memang sudah mati karena kekerasan, khususnya kepada kaum minoritas seperti Syiah, Ahmadiyah, umat kristiani, dsb, kadang malah sudah diketahui informasinya oleh aparat kepolisian. Kekerasan atas nama agama menjadi bukti bahwa setelah 67 tahun merdeka, kita ternyata masih sulit untuk bisa menerima perbedaan.

Yang berbeda dianggap sebagai sebuah aib dan pantas serta sah untuk dilenyapkan. Ini jelas merupakan bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita para pendiri bangsa agar Indonesia bisa menjadi rumah yang aman dan nyaman bagi semua orang dari semua agama.

Padahal dulu negeri ini dikenal sebagai negeri yang ramah dan warganya bisa saling menghargai perbedaan. Kini tampaknya kita harus kembali dari nol untuk belajar menghargai keberagaman dan perbedaan.

Indonesia di mata dunia kini dipandang sebagai negeri penuh intoleransi. Indonesia lebih buruk daripada Israel. Itu karena di negeri Yahudi tersebut, baik Kristen atau Islam dengan segala aliran, justru terus tumbuh, meski kekejaman bangsa itu terhadap bangsa Palestina tidak bisa kita terima.

Menyedihkan bahwa sebagian warga kita telah memilih menjadi “bigot”. Dalam psikologi, istilah “bigot” menunjuk pada orang yang sangat kuat loyalitasnya pada kelompok tertentu, entah agama, etnis, partai politik, sekolah, kampus, kampung, dan sebagainya.

Orang semacam ini sama sekali sudah tak punya toleransi terhadap golongan lain yang yang tidak sepaham. Agama yang seharusya menjadi jalan pembebasan pun bagi penganut agama yang “bigot” justru bisa ditafsirkan sebagai alat untuk menindas yang berbeda. Orang “bigot” memang sangat mudah menghakimi orang lain. Kategori kafir dan sesat bisa dengan cepat meluncur.

Memperbincangkan tafsir, memang sebenarnya semua kekerasan itu bisa didorong oleh tafsir sehingga ketika seorang “bigot” punya tafsir yang banal atas agama yang dianutnya, maka dijamin pesan sejuk agama bisa dipelintir menjadi pesan penuh amarah. Pemahaman keagamaan yang sepotong, dijadikan sesuatu yang kebenaranya absolut.

Tuhan pun bisa ditafsirkan tidak toleran dan seolah hanya berpihak pada “agamaku” sendiri sebagai agama yang paling benar, sedangkan semua agama yang lain adalah sesat. Tuhan di mata para “bigot” seolah “sosok” yang haus kekuasaan dan gila hormat. Memang orang bebas menafsirkan, tapi jangan pernah memonopoli dan memaksakan tafsir pada pihak lain.

Tafsir seperti itu, ditambah sifat “bigot” semakin mendorong pemahaman keagamaan yang ekstrem. Ekstremitas atau radikalisme kini memang menjadi problem di banyak belahan dunia, tak terkecuali Indonesia. Banyak hal tak masuk akal terjadi, ketika pemahaman keagamaan sudah menjadi ekstrem.

Maka kita perlu menggunakan akal sehat kembali, karena akal sehat mati ketika kekerasan kian marak. Coba kalau kita sungguh berakal, tentu kita prihatin.
Jangankan mau menghunus pedang, mau mencubit sesama pun pasti tidak akan jadi kalau akal sehat dan nurani masih dipakai. Itu karena segala bentuk kekerasan sebenarnya merupakan tindakan yang tidak manusiwi lagi, lebih rendah daripada kelakukan binatang buas mana pun.

Padahal kalau orang gemar mengobral kekerasan atas nama agama, sebenarnya ini menjadi promosi yang buruk bagi agama yang kita anut. Kekerasan jelas merusak citra agama sebagai pembawa pesan perdamaian. Jika tanpa kekerasan atas nama agama saja, kita sudah dibuat muak maka kekerasan atas nama agama benar-benar membuat kita semakin muak.

Tidak heran, meski di negeri kita secara formal tidak ada pengakuan terhadap ateisme, tapi jika hendak dilakukan penelitian, kini cukup banyak orang khususnya di kota-kota besar lebih memilih menjadi ateis daripada beragama tapi memuja kekerasan. Karya dan pemikiran Daniel Denett, Christopher Hitchens, Richard Dawkin, atau Sam Haris yang ateis diam-diam banyak dibaca di kota-kota besar di negeri ini.

Kekerasan yang dilakukan oleh sebagian orang dengan membawa atribut agama, jika dikaji secara mendalam memang amat bertentangan dengan ajaran agama sebagai pembawa kebaikan, keadilan dan kedamaian.

Kekerasan juga amat bertentangan dengan kemanusiaan karena dalam setiap kekerasan pasti ada martabat manusia yang dilecehkan, termasuk di dalamnya kaum perempuan dan anak-anak. Pernahkah kita memikirkan masa depan anak-anak yang mengalami pengucilan, kehilangan akses pendidikan, bahkan status kependudukan, gara-gara agama yang dianut orang tuanya?

Biasanya yang dijadikan alasan adalah masalah akidah atau dogma atau rebutan klaim kebenaran. Padahal terkait sesat tidaknya sebuah agama, biarlah menjadi urusan Sang Pencipta saja. Tuhan tidak memerlukan juru bicara atau pembela, apalagi polisi atau hakim agama dan menghalalkan kekerasan. Masalahnya, bisa tidak kita sebenarnya untuk menerima perbedaan.

Silakan orang meyakini penafsiran keagamaan model apa pun, tapi biarkan juga orang lain punya keyakinannya sendiri. Jangan menghakimi keyakinan orang lain dengan paham kita, apalagi diekspresikan dalam tindak dan perilaku kekerasan terhadap yang lain.

Kembali ke Jati Diri Agama

Maka kita perlu kembali belajar untuk berbeda, tanpa perlu meletupkan kekerasan pada pihak lain. Semua agama membawa pesan damai dan damai ini sebenarnya harus dirasakan oleh orang-orang lain. Mari ingat bahwa negara ini bukan negara agama dan bukan dimaksudkan untuk melindungi satu agama atau aliran saja.

Semua penganut agama dijamin dalam konstitusi kita, khususnya UUD 1945 Pasal 28 E ayat 1 dan 2 serta UU No 39/1999 tentang HAM. Maka dalam bertindak, khususnya kepolisian, justru jangan membela satu kelompok saja, tapi semua perlu dilindungi. Polisi jangan memperkeruh keadaan, hanya karena ingin mencari selamat.

Yang suka memuja kekerasan, mari merenungkan kalimat Bawa Muhayaiddeen. Menurut Sufi dari Amerika Serikat itu, setiap penganut agama adalah musafir yang sedang mengembara di gurun pasir untuk menuju suatu tempat keabadian.

Kita ibaratnya sedang mencari air kesejukan di sebuah oasis untuk bekal dalam perjalanan panjang. Sesampai di oasis itu, sebagian besar manusia lupa mengambil air kesejukan karena lebih suka melihat perbedaan wadah air itu. Ada yang membawa wadah air dari logam, ada yang dari kuningan, ada yang dari kayu, dan sebagainya.
Manusia saling menyalahkan bahwa wadah yang dibawa orang lain salah karena seharusnya orang lain memakai wadah seperti yang dimilikinya. Mereka juga sering beradu pendapat, berkelahi bahkan saling membunuh.

Ketika waktunya telah habis, mereka tidak sempat mengisi wadahnya dengan air kesejukan. Tragis! Jadi mari kembali ke jati diri agama sebagai pembawa cinta kasih dan damai, bukan pembawa kebencian dan mengobral kekerasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar