Senin, 29 Oktober 2012

Ketimpangan dan Perdagangan


Ketimpangan dan Perdagangan
M Ikhsan Modjo ;  Ekonom Senior Financial Reform Institute
KOMPAS, 29 Oktober 2012



Ekonomi Indonesia mencatat tingkat pertumbuhan 6,4 persen pada triwulan II-2012. Walau sedikit di bawah target 6,5 persen, angka ini tergolong tinggi saat pelemahan ekonomi dunia dewasa ini.
Banyak negara mengalami pelemahan, bahkan pertumbuhan negatif akibat ketidakpastian yang melanda zona Eropa.
Sayang, tingginya angka pertumbuhan ini diikuti dengan semakin meningkatnya ketimpangan pendapatan masyarakat. Melebarnya jurang antara si miskin dan si kaya di Indonesia diindikasikan oleh semakin besarnya angka rasio gini yang mengukur ketimpangan dan pola distribusi pendapatan masyarakat. Semakin besar rasio ini berarti semakin besar ketimpangan dan distribusi pendapatan kelompok masyarakat satu dan lainnya.
Di Indonesia, data Badan Pusat Statistik menunjukkan rasio gini meningkat dari 0,31 pada 1999 menjadi 0,36 pada 2005. Kenaikan ini mencapai 0,41 pada 2011. Rasio gini pada 2012 bahkan mencapai angka 0,44. Pendapatan masyarakat semakin terkonsentrasi pada sedikit orang, artinya manfaat pertumbuhan dinikmati secara tidak merata.
Tergantung pada Global
Salah satu faktor peningkatan ketidakmerataan adalah makin terbukanya ekonomi Indonesia dan tingginya ketergantungan pada ekonomi global. Ini terlihat dari meningkatnya angka perdagangan internasional, ekspor dan impor. Data BPS, misalnya, menunjukkan peningkatan yang signifikan dan lebih dua kali lipat nilai total ekspor Indonesia dari sekitar 71 miliar dollar AS pada 2004 menjadi 203 miliar dollar AS pada 2011. Pada saat yang sama, nilai impor meningkat dari 46 miliar dollar AS menjadi 177 miliar dollar AS.
Dalam hal ini, pengaruh meningkatnya perdagangan internasional merupakan subyek yang hingga kini selalu diwarnai perdebatan dalam ilmu ekonomi. Di satu sisi, terdapat mazhab Ricardian klasik dengan teori keunggulan komparatif—merupakan teori ekonomi paling dikenal dan salah satu building blocks ilmu ekonomi—yang memprediksi perdagangan internasional akan memperbaiki kondisi distribusi pendapatan di satu negara. Di sisi lain, observasi langsung dan bukti-bukti empirik di beberapa negara justru menunjukkan sebaliknya.
Di Amerika Serikat, mayoritas pakar berpendapat, perdagangan internasional bertanggung jawab terhadap 20 persen pengurangan penghasilan golongan berpendapatan rendah relatif terhadap golongan berpendapatan tinggi (Rodrik, 1997).
Demikian pula pada sampel 125 negara, termasuk negara maju dan berkembang, Lundberg dan Squire (1999) menemukan hubungan negatif perdagangan internasional dan pertumbuhan pendapatan dari 40 persen penduduk termiskin.
Di Indonesia, peningkatan ketimpangan seiring dengan liberalisasi perdagangan awal 1990-an. Pembukaan pasar domestik terhadap aktivitas ekspor impor berbanding lurus dengan kenaikan rasio gini dari 0,32 pada 1990 menjadi 0,37 pada 1997. Padahal, sebelumnya ketimpangan diindikasikan menurun seiring dengan perbaikan indeks gini dari 0,40 pada 1971 menjadi 0,34 pada 1980 dan 0,32 pada 1990.
Terlepas dari indikasi hubungan di atas, kecenderungan globalisasi dan peningkatan perdagangan antarnegara memang tidak terelakkan. Kecenderungan ini terlihat dari peningkatan nilai perdagangan antarnegara dari tahun ke tahun. Misalnya, pada tahun 1950, nilai perdagangan barang antarnegara baru 320 miliar dollar AS. Jumlah ini meningkat dua puluh kali lipat menjadi 6,8 triliun dollar AS tahun 2002. Akhir 2011, total nilai transaksi perdagangan mencapai 18,2 triliun dollar AS.
Angka-angka ini menunjukkan peningkatan perdagangan lintas batas negara yang luar biasa. Berbagai kesepakatan regional dan internasional, seperti ACFTA, AFTA, dan sejenisnya, di mana Indonesia ikut menandatangani, hanyalah penandaan formal dari semakin pudarnya batas ekonomi antarnegara.
Bila globalisasi dan peningkatan perdagangan internasional merupakan keniscayaan, lantas apa solusinya untuk menekan semakin tajamnya ketimpangan pendapatan masyarakat?
Transfer Langsung
Dalam hal ini, sebagaimana yang dilakukan di banyak negara, Pemerintah Indonesia telah membuat beragam kebijakan anti-kemiskinan dan transfer langsung kepada penduduk miskin untuk mengurangi ketimpangan. Keberpihakan ini, antara lain, dapat dilihat dari terus meningkatnya transfer pendapatan untuk masyarakat golongan bawah dalam kebijaksanaan fiskal.
Ada berbagai subsidi langsung seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin (Jamkesmas), hingga berbagai program yang tercakup dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM). Masih ada berbagai subsidi tidak langsung seperti subsidi pupuk dan benih untuk petani.
Akan tetapi, efektivitas dari berbagai kebijakan transfer langsung ini dari tahun ke tahun semakin berkurang. Hal ini diindikasikan oleh makin melebarnya jurang ketimpangan yang diindikasikan oleh rasio gini sebagaimana diurai sebelumnya, juga oleh semakin turunnya persentase jumlah orang miskin yang berhasil dientaskan dari kemiskinan tahun ke tahun.
Sepanjang 2004-2009, persentase penduduk miskin yang berhasil dientaskan 1,0-1,3 persen per tahun. Angka ini turun menjadi 0,8 persen pada 2009-2011, hingga kemudian mencapai hanya 0,53 persen pada 2011-2012.
Pada saat yang sama, efektivitas transfer langsung ternetralisasi oleh kebijakan anggaran lain yang pada dasarnya pro-ketimpangan, seperti kebijakan subsidi energi. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional BPS menunjukkan bahwa kelompok 10 persen rumah tangga paling kaya menerima subsidi BBM Rp 5,8 triliun atau Rp 120.000 per bulan. Kelompok 10 persen rumah tangga miskin hanya menerima subsidi BBM Rp 0,7 triliun atau Rp 18.000 per bulan.
Dengan demikian, upaya meredam semakin tingginya angka ketimpangan terkait peningkatan perdagangan internasional harus dimulai dari kebijakan perdagangan. Namun, langkahnya tidaklah sederhana. Di satu sisi, pertumbuhan ekonomi dan peningkatan perdagangan adalah satu fenomena yang bersifat makroekonomi, sementara kemiskinan dan ketimpangan adalah fenomena mikroekonomi.
Kebijakan perdagangan juga merupakan area yang semakin lama semakin kompleks. Untuk itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah memahami alur transmisi liberalisasi perdagangan terhadap ketimpangan.
Tiga Jalur
Pada titik ini, literatur menunjukkan, terdapat tiga jalur transmisi dari perdagangan yang memiliki dampak distribusional: transmisi harga, pendapatan, dan pengeluaran pemerintah. Perubahan harga relatif akibat perdagangan akan lebih menguntungkan penduduk yang bekerja di sektor formal dan hidup di perkotaan. Perdagangan juga menyebabkan peningkatan pendapatan penduduk yang bekerja di sektor-sektor yang diperdagangkan (tradeables) relatif terhadap pendapatan penduduk yang bekerja di sektor-sektor yang tidak diperdagangkan (nontradeables) sehingga menambah timpang pendapatan.
Pola penganggaran dan pengeluaran fiskal juga akan memengaruhi kondisi distribusi pendapatan, sebagaimana halnya kondisi infrastruktur dan pasar kerja di sejumlah daerah.
Jelas bahwa langkah awal memitigasi dampak negatif perdagangan terhadap distribusi pendapatan adalah dengan mengidentifikasi pola transmisi dan stakeholders terkait. Analisis ini bisa menjadi komplemen yang mengungkap kunci pengentasan dari kemiskinan secara lebih efektif.
Dari situ, baru berbagai upaya modifikasi kebijakan terkait perdagangan bisa dilakukan, seperti pemberian insentif, penekanan komoditas tertentu secara sektoral, serta pembenahan prioritas investasi dan pasar kerja. Semoga. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar