Kemiskinan
Struktural Mencemaskan
Ivanovich Agusta ; Sosiolog Pedesaan IPB
|
KOMPAS,
30 Oktober 2012
Insiden penolakan Menteri
Keuangan atas usul DPR untuk memasukkan indeks gini dalam asumsi RAPBN 2013
dapat dimaknai sebagai pengabaian pemerintah terhadap peningkatan kemiskinan
struktural.
Pemerintah
cenderung menyukai indikator kemiskinan absolut, seperti persentase
kemiskinan yang terus menurun. Padahal, indikator kemiskinan struktural,
berdasarkan indeks gini, menunjukkan peningkatan pesat. Bahkan kini sampai
pada taraf terlalu berbahaya!
Batas
psikologis indeks gini sebesar 0,4. Melewati batas tersebut, Uni Soviet
terpaksa memecah diri sejak akhir 1980-an karena masyarakat tak lagi stabil.
Indeks gini Timor Timur juga melintasi batas psikologis tersebut selama
bertahun-tahun sehingga memudahkan pilihan lepas dari Indonesia tahun 1999.
Sejak
2011 indeks gini Indonesia bertengger pada angka 0,41. Indikator kegentingan
sosial sebenarnya lebih dahulu disuarakan pemuka agama, awal 2010, ketika
menyampaikan bahwa rakyat merasa jauh lebih miskin ketimbang laporan
pemerintah perihal penurunan persentase kemiskinan.
Cara
pandang kemiskinan terbagi atas kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif.
Kemiskinan absolut diukur menurut garis kemiskinan, lazimnya ditanggulangi
melalui program parsial. Ditunggangi modernisme yang menimpakan penyebab
kemiskinan kepada orang miskin sendiri, konsep kemiskinan absolut berkelindan
dengan konsep budaya kemiskinan.
Digembar-gemborkan
oleh Bank Dunia melalui MDGs (Millennium Development Goals), kemiskinan
absolut lebih mengemuka di banyak negara, di antaranya Indonesia. Persentase
kemiskinan diharapkan pada batas 0,8 atau 8 persen tahun 2015. Target itu
hampir pasti terpenuhi, terutama di perkotaan. Tahun ini saja persentase
penduduk miskin tinggal 11,96 persen.
Sebenarnya,
jika dibandingkan laju pertumbuhan penduduk 1,49 persen per tahun, hanya jika
penurunan persentase kemiskinan melebihinya barulah angka itu bermakna.
Sayangnya, dibanding tingkat kemiskinan 12,36 persen pada 2011, dalam setahun
terakhir penurunannya hanya 0,4 persen. Artinya, total orang miskin tetap
meningkat sekalipun persentase mereka menurun.
Sebaliknya,
kemiskinan relatif secara dinamis mengukur kesenjangan antara lapisan atas
dan bawah. Karena mencakup beragam aspek, penanganannya harus menyeluruh ke
sendi-sendi struktural bangsa. Kemiskinan relatif dinilai sebagai impak dari
keburukan tata cara bernegara sehingga kerap dijuluki kemiskinan struktural.
Kemiskinan
struktural dengan mudah diukur lewat indeks gini. Ukuran ini menunjukkan
proporsi penduduk yang menikmati pendapatan dan kekayaan lebih banyak
daripada warga negara secara keseluruhan. Angka indeks gini 0,41 menunjukkan
ada 1 persen penduduk yang telah menguasai hingga 41 persen total kekayaan di
Indonesia.
Perlu
dicatat dua cara penghitungan kekayaan. Badan Pusat Statistik (BPS) secara
konservatif memperkirakan kekayaan dari nilai pengeluaran. Menanyakan
pengeluaran rumah tangga per bulan dinilai lebih valid daripada menanyakan
pendapatannya.
Sayangnya,
perkiraan demikian luput mengukur tabungan dan kredit sehingga sulit
memperkirakan pendapatan konglomerat. Belum lagi petugas survei sulit
memasuki rumah-gedung rumah tangga terkaya. Konsekuensinya, indeks gini
keluaran BPS bersifat underestimated terhadap ketimpangan sosial. Atau bisa
dibaca, ketimpangan sosial kenyataannya lebih tinggi lagi.
Penelitian
kasuistik telah menghitung indeks gini dari pendapatan rumah tangga. Hasilnya
menunjukkan angka di atas 0,65. Artinya, 1 persen lapisan teratas menikmati
hingga 65 persen total kekayaan rumah tangga di Indonesia.
Mungkin
pemerintah masih terbuai dengan laporan berbagai lembaga internasional, yang
masih saja memasukkan Indonesia sebagai 30 negara paling merata sedunia.
Bahkan dicatat pemerataan sosial Indonesia telah berlangsung sejak dekade
1950-an. World Development Report tahun 2009 dari Bank Dunia, bertajuk
ekonomi regional, malah me- ”lumrah”-kan ketimpangan sosial dengan alasan
pembangunan di Indonesia masih terus berkembang.
Oleh
karena itu, sekalipun publikasi indeks gini oleh BPS telah menghidupkan
indikasi kelewat berbahaya, tampaknya masih sulit meyakinkan pemerintah akan
masalah ini. Dikhawatirkan kemiskinan struktural jadi tsunami masalah yang
kelak mendadak menghantam seluruh teritori Nusantara.
Tsunami
masalah sosial ini hanya bisa ditangani melalui pembagian kekayaan lapisan
atas kepada lapisan bawah. Misalnya, penyertaan indikator indeks gini dalam
asumsi RAPBN, pajak progresif yang maksimal, jaminan sosial bagi lapisan
bawah, reforma agraria, pengurangan pengangguran lapisan bawah, dan upah
minimum yang tinggi. ●
|
thanks buat infonya gan :)
BalasHapus