Selisik
Soekarno-Hatta
Abu Su’ud ; Sejarawan, Guru Besar Emiritus Unnes,
Guru Besar IKIP PGRI Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 27 Oktober 2012
BILA kita
mau memperhatikan, semua penggal sejarah memiliki kesinambungan dan ada
benang merah yang menautkan. Demikian juga di antara kelompok yang berbeda, selalu
terjadi proses penepis perbedaan. Caranya bisa dengan membangun monumen
kebulatan tekad, bersumpah, melalui ikatan perkawinan, prasetya, atau
lewat cara mendeklarasikan kebulatan tekad.
Mereka adalah
produk zamannya. Borobudur misalnya, ia monumen sebagai tengara bagi tekad
untuk bersatu dari dua kekuatan sosial dinasti Syailendra yang ada di Jawa
dan Sumatra. Menurut Moh Yamin, setelah itu tidak ada lagi ’’penjajahan’’
Jawa atas Sumatra, atau sebaliknya. Yang ada adalah proses penyatuan setelah
Balaputradewa kembali dari Sumatra, dari dinasti Syailendra, ke Tanah Jawa.
Demikian pula
keputusan Airlangga mudik dari Bali, menyeberangi Selat Bali menuju Jawa, dan
mengawini putri raja dari Jawa, menandai tekadnya untuk menyatukan Jawa
dengan Bali dalam keprabuan Mataram Hindu.
Pada masa
Majapahit ada Gadjah Mada, yang kemudian mengucapkan Sumpah Palapa, sebuah
tekad untuk tidak mengikuti arus perpecahan. Sumpah tersebut manifestasi dari
konsep Bhinneka Tunggal Ika. Bisa berbeda kelompok atau kepentingan, namun
lebih mengedepankan kepentingan utama, dan muncullah tokoh sentralnya, yaitu
Gadjah Mada.
Senyatanya dia
bukan sosok yang disenangi semua pihak melainkan hanya berani ’’bertindak
salah’’ untuk mengatasi kondisi perpecahan. Dalam kekinian, kita bisa menyebutnya
sosok kontroversial. Langkahnya berisiko menyakiti hati para kesatria Sunda,
demi menggapai cita-cita persatuan Nusantara di bawah Majapahit. Secara
simbolik Gadjah Mada mengucapkan Sumpah Palapa, yakni tidak akan makan buah
palapa, sebelum ’’persatuan nasional’’ tercapai.
Pada masa-masa
terakhir penjajahan Belanda, tepatnya tanggal 28 Oktober 1928, sejumlah
pemuda yang tergabung dalam Perhimpunan Pemuda Pelajar Indonesia (PPPI)
menggelar Kongres Pemuda (KP) II di Jakarta.
Forum itu
merupakan wadah kebulatan tekad untuk mengesampingkan berbagai perbedaan yang
bersifat primordial demi mengakui ikatan kesatuan Tanah Air, bangsa maupun
bahasa yang bernama Indonesia. Memperhatikan perjalanan sejarah kita bisa
melihat sejumlah tonggak kebulatan tekad anak-anak bangsa demi menggapai
kesamaan tujuan, yaitu kesatuan bangsa untuk mendirikan kesatuan nasional.
Itulah benang merah yang terbentang menembus batas-batas waktu dari sejumlah
penggal sejarah.
Posisi
Soekarno-Hatta
Bukan
bermaksud mencari-cari masalah melainkan hanya memaparkan sejarah. Fakta
menunjukkan bahwa dari 71 peserta dan anggota panitia Kongres Pemuda II
(KP II) yang menghasilkan Sumpah Pemuda tidak ada nama Soekarno dan Mohamad
Hatta. Panitia kongres terdiri atas Ketua Soegondo Djojopoespito (PPPI),
Wakil Ketua RM Djoko Marsaid (Jong Java).
Sekretaris Moh
Yamin (Jong Sumateranen Bond), Bendahara Amir Sjarifoeddin (Jong Bataks
Bond), Pembantu I Djohan Mohammad Tjai (Jong Islamieten Bond), Pembantu II R
Katjasoengkana (Pemoeda Indonesia), Pembantu III RCI Sendoek (Jong Celebes),
Pembantu IV Johanes Leimena (Jong Ambon), dan Pembantu V M Rochjani Soe’oed
(Pemoeda Kaoem Betawi). Adapun peserta terdiri atas 71 orang.
Pastilah
muncul pertanyaan, mengapa tokoh nasionalis sekaliber Bung Karno dan Bung
Hatta seakan-akan tidak terlibat dalam gerakan pemuda, semisal KP II yang
menghasikan Sumpah Pemuda? Padahal usia mereka pastilah berada dalam usia
muda. Bahkan ketika tahun 1926 mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI)
Bung Karno masih berusia 26 tahun.
Pada tahun itu
pun Bung Karno dan Bung Hatta belum menjalani hukuman pembuangan karena
sidang pengadilan terkait mereka baru digelar pada 1933. Apakah dua tokoh itu
juga disepakati menjadi pasangan pertama presiden-wakil presiden pada 1945
dengan sebutan Dwitunggal?
Jawabnya tidak
karena Soekarno-Hatta tidak sepakat terkait gagasan besar Sumpah Pemuda
sehingga tak mau bergabung bersama mereka. Tapi banyak tokoh yang jadi
peserta kongres itu kemudian menjadi kolega perjuangan atau pasangan kerja
dalam menjalankan pemerintahan RI. Kita bisa menyebut di antaranya Moh Yamin,
Wilopo, Amir Sjarifoeddin, Arnold Mononutu, Sartono, Kasman Singodimedjo, Moh
Roem, dan Johanes Leimena.
Patut
diketahui bahwa penyelenggara KP II adalah PPPI, sementara organisasi
itu dibentuk dengan latar belakang ketidaksejalanannya dengan
penampilan dan kinerja partai-partai politik yang dianggap keras, terutama
terhadap Partai Komunis. Lebih dari itu ternyata kongres dihadiri oleh
utusan pihak penjajah, yaitu van der Plas, yang anticita-cita persatuan
nasional Indonesia. Patut kita duga pula bahwa penyelenggara kongres memang
tidak menghendaki keterlibatan Soekarno-Hatta dalam kegiatan tersebut. Karena
itu, perlu kiranya ada kajian yang lebih mapan guna memperjelas sejarah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar