Refleksi Idul
Adha:
Butuh Bapak
Pengorbanan Sejati
M Bashori Muchsin ; Direktur Program
Pascasarjana Universitas Islam Malang
|
MEDIA
INDONESIA, 25 Oktober 2012
MENGAPA Nabi Ibrahim AS dipopulerkan sebagai
figur `Bapak Pengorbanan', sang peletak dasar ajaran tentang kesejatian
nilainilai berkorban? Karena beliau telah memberikan keteladanan tentang
kesucian cinta dalam setiap pengorbanan yang dilakukannya. Baik kepada diri
sendiri, istri, anak, maupun masyarakat. Nabi Ibrahim AS telah menunjukkan
pola pengorbanan berbasis cinta.
“Di mana ada cinta, di situ ada kehidupan,“
demikian ujar reformis India, Mahatma Gandi, yang menunjukkan bahwa cinta itu
menentukan corak kehidupan manusia. Bangunan hidup manusia baik dalam dimensi
persaudaraan kerakyatan, kemanusiaan, maupun kebangsaan ditentukan oleh cinta
yang bersemi dalam dirinya.
Cinta menjadi moral force yang menggerakkan terjadinya pertemuan antarsegmen
bangsa yang berbeda etnik, budaya, agama, politik, ekonomi, status sosial,
dan aspek-aspek lainnya yang semula menjadi sekatnya. Cinta mampu mencairkan
bekunya hubungan antarkomponen bangsa yang semula sibuk menganyam friksi dan
mengultuskan faksi-faksi, serta menjunjung arogansi kelas sosial-politiknya.
Cinta merupakan kekuatan yang mampu menyangga
sejatinya kehidupan bermasyarakat. Seseorang dan kelompok yang semula
terseret dalam arus kesewenang-wenangan atau praktik-praktik yang berpola
ketidakadaban dapat disadarkan oleh kekuatan cinta, yang menempatkan manusia
sebagai subjek yang wajib dimartabatkan, dan bukan `dibinatangkan'.
Setiap pecinta sejati tentulah punya usaha
yang gigih atau setidak-tidaknya mengasah kebeningan nuraninya untuk menjadi
sosok yang hidupnya diabdikan untuk Tuhannya, sesama manusia, dan makhluk
hidup lainnya. Baik pikiran maupun perilakunya tidak pernah dibiarkan
stagnan, dan sebaliknya diberdayakan selalu mengembara untuk menjelajahi dan
membebaskan kesulitan yang diderita sesamanya.
Pecinta sejati itu sudah digariskan oleh Nabi
Muhammad SAW, “Tidak disebut beriman di antara kalian, sehingga mencintai
saudara-saudara (sesama) sebagaimana kalian mencintai diri sendiri.“
Cinta dalam sabda Nabi Muhammad SAW itu
merupakan wujud keberimanan berbasis kemanusiaan. Manusia tidak akan bermakna
kedekatannya dengan Tuhan jika dalam hidupnya tidak rajin melakukan investasi
seperti membagikan (mengorbankan) harta demi mengentas manusia dari
kemiskinan dan memberdayakan ekonomi sesama. Kedekatan dengan sesama harus
dibuktikan dengan mencintainya secara ikhlas dan maksimal.
Predikat Beriman
Seseorang umumnya hanya bisa menyaksikan dan
bahkan mengeksploitasi penderitaan orang lain, tetapi lupa menyikapi
penderitaan orang lain sebagai penderitaannya sendiri. Jika seseorang bisa
menjadikan derita orang lain sebagai bagian utama dari `proyek' perjuangannya
sendiri, seseorang ini baru layak menyandang predikat beriman. Apa yang
diperbuat seseorang ini telah mengalahkan ambisi, egoisme, atau kecenderungan
`memberhalakan' diri sendiri.
Seiring dengan berbagai krisis yang menestapakan
sebagian masyarakat negeri ini, sikap dan perilaku kita idealnya seperti yang
dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS yakni menjadi bapakbapak pengorbanan sejati.
Pengorbanan sejati tak pernah menghitung keun tungan politik, ekonomi,
sosial, budaya, dan dimensi-dimensi lain kecuali keikhlasan memberi dan
mendistribusi hak-hak pribadi dan bahkan yang dicintainya demi kemaslahatan
publik, seperti Nabi Ibrahim yang rela mengorbankan putra kesayang annya
untuk memuaskan (panggilan) cintanya kepada Allah SWT.
Kenyataan di masyarakat kita saat ini, `banjir
petaka sosial' sedang menjadi potret yang membelenggu, khususnya masyarakat
bawah (lower class). Penghasilan puluhan ribu buruh pabrik tidak mampu
mengimbangi derasnya kebutuhan pokok sehari-hari, keluarga miskin masih tetap
kesu litan menjawab kebutuhan keberlanjutan hak pendidikan anak-anak me reka,
dan ko munitas `alit' di wilayah pinggiran dan pedala man kesu litan men
dapatkan pangan bergizi.
Di orde `banjir petaka sosial' itu, kita
seharusnya bernapak tilas dengan pelajaran Nabi Ibrahim AS, yang
pengorbanannya kepada Allah SWT dan sesama manusia benar-benar didasarkan
atas cinta. Kepada sesama manusia, misalnya, Ibrahim rela menyerahkan ribuan
hewan ternaknya untuk dikurbankan demi `investasi umat', mengentas umatnya
dari kemiskinan, menyenangkan orang-orang susah, dan merajut persaudaraan
kemanusiaan (ukhuwah insaniah).
Sementara dalam berelasi dengan Tuhan, Nabi
Ibrahim benar-benar sebagai pecinta sejati. Putra satu-satunya rela
`dikorbankan' untuk memenuhi panggilan ilahiah. Anak semata wayang ini
bermaksud `dipersembahkan' demi memenuhi kehausan rasa cinta dan rindunya
kepada Allah (QS As-Shafat: 103). Cinta demikian agung terbukti mampu
melahirkan sejarah keteladanan pengorbanan anak manusia yang le bih
menuhankan Tuhannya daripada kepentingan lainnya.
Cinta dan kerinduan Ibrahim AS kepada Al lah
SWT sudah tidak terhalang oleh sekat sekat kebendaan dan keduniaan. Nikmat
harta dan anak yang menjadi subordinasi hak privasinya tidak ditem patkan
sebagai `berhala' yang menegaskan dan mengontaminasi hablummi¬nallahnya.
Nikmat duniawi tidak dibiarkan menguasai dan memperbudak dirinya. Harta tak
dijadikan sebagai pemuas dahaga kepentingan dan kesenangan diri sendiri,
namun didistribusikan demi membebaskan derita sesama. Beda dengan masyarakat
sekarang yang gampang menjadikan kepentingan duniawi sebagai `berhala-berhala
kontemporernya'.
Penyakit Teologis
Cendekiawan muslim kenamaan Imaduddin
Abdurrahim, misalnya, mengkritik bahwa masyarakat modern sering kali mengidap
penyakit teologis yang disebut sebagai `tuhan
triple ta', yakni tuhan takhta, tuhan harta, dan tuhan wanita. Masyarakat
yang telah menyebut dirinya modern merupakan gambaran dari kumpulan
manusia-manusia yang sebenarnya sedang terperosok dalam kubangan penuhanan
kekuasaan, kekayaan, dan perempuan.
Itulah gambaran kehidupan masyarakat yang
sedang retak keimanannya, tidak lagi fitri karena mengidap `najis-najis' yang justru
dipertahankan, dan bahkan dijadikan simbolsimbol arogansi dan kriminalisasinya.
`Najis-najis' yang menguasai kepribadian ini seperti sebuah kenikmatan yang
lezat dan wajib dihidangkan sebagai menu fundamental.
Jika manusia sekarang mau berkiblat pada
keteladanan Nabi Ibrahim AS, tentulah di dalam dirinya akan tumbuh subur
kekuatan cinta, yang benar-benar menempatkan Tuhan sebagai imam sejatinya. Nabi
Ibrahim yang sudah punya jiwa pecinta kepada-Nya ini tidak takut jatuh
bangkrut untuk memaksimalkan kesalehan humanitasnya, karena di dalam dirinya
sudah melekat keyakinan bahwa pengorbanan sejati pastilah banyak dimensi
masalahnya untuk diri, masyarakat, dan negara.
Cinta yang selalu bersemi kepada sesama
manusia akan menjadi kekuatan dahsyat untuk membebaskan berbagai bentuk
derita atau kesulitan yang terjadi di tengah masyarakat. Di dalam diri setiap
pecinta (seperti Nabi Ibrahim AS) ini selalu ada perasaan terpanggil untuk
mengabdikan hidupnya bagi kepentingan orang lain, atau di dalam dirinya ada
tuntutan untuk tak mendiamkan berbagai problem sosial, ekonomi, politik,
budaya, dan lainnya menjajah sesamanya.
Di dalam `kamus'-nya pecinta seperti Ibrahim
AS itu, yang ditabur di tengah kehidupan bermasyarakat dan bernegara ialah
pola pengabdian yang tulus, yang inklusif, tak mengenal kasta, tak menjadikan
golongan sebagai panglima, dan menjauhkan egoisme sektoral. Yang
dikedepankannya ialah `nafsu' kemuliaan dan aksi-aksi berkorban yang
berdampak terhadap terbentuknya masyarakat saling mencintai, menyayangi, dan
tentu saja saling menghidupkan, serta bukan saling membinatangkan.
Lain halnya jika masyarakat kita memang sedang
terjerumus dalam kultur mengorbankan sesama dan Tuhannya ketimbang
kepentingan diri, kerabat, dan kroni-kroninya, tentulah akan sulit dicapai
terbentuknya bangunan masyarakat ideal, karena bisa dipastikan di antara jerit
tangis saudara-saudara yang bergulat dengan `banjir petaka sosial', masih ada
yang menjatuhkan diri dalam perilaku tak terpuji, seperti `opsi kleptomania', menjarah hak
masyarakat miskin, atau distribusi sumbangan kemanusiaan dibuatnya salah
sasaran.
`Orde petaka sosial' itu jelas
merupakan tantangan (tuntutan) bagi elemen elite bangsa ini supaya mendidik
dirinya menjadi bapak pengorbanan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar