Jumat, 26 Oktober 2012

Butuh Bapak Pengorbanan Sejati


Refleksi Idul Adha:
Butuh Bapak Pengorbanan Sejati
M Bashori Muchsin ; Direktur Program Pascasarjana Universitas Islam Malang
MEDIA INDONESIA, 25 Oktober 2012

  
MENGAPA Nabi Ibrahim AS dipopulerkan sebagai figur `Bapak Pengorbanan', sang peletak dasar ajaran tentang kesejatian nilainilai berkorban? Karena beliau telah memberikan keteladanan tentang kesucian cinta dalam setiap pengorbanan yang dilakukannya. Baik kepada diri sendiri, istri, anak, maupun masyarakat. Nabi Ibrahim AS telah menunjukkan pola pengorbanan berbasis cinta.

“Di mana ada cinta, di situ ada kehidupan,“ demikian ujar reformis India, Mahatma Gandi, yang menunjukkan bahwa cinta itu menentukan corak kehidupan manusia. Bangunan hidup manusia baik dalam dimensi persaudaraan kerakyatan, kemanusiaan, maupun kebangsaan ditentukan oleh cinta yang bersemi dalam dirinya.

Cinta menjadi moral force yang menggerakkan terjadinya pertemuan antarsegmen bangsa yang berbeda etnik, budaya, agama, politik, ekonomi, status sosial, dan aspek-aspek lainnya yang semula menjadi sekatnya. Cinta mampu mencairkan bekunya hubungan antarkomponen bangsa yang semula sibuk menganyam friksi dan mengultuskan faksi-faksi, serta menjunjung arogansi kelas sosial-politiknya.

Cinta merupakan kekuatan yang mampu menyangga sejatinya kehidupan bermasyarakat. Seseorang dan kelompok yang semula terseret dalam arus kesewenang-wenangan atau praktik-praktik yang berpola ketidakadaban dapat disadarkan oleh kekuatan cinta, yang menempatkan manusia sebagai subjek yang wajib dimartabatkan, dan bukan `dibinatangkan'.

Setiap pecinta sejati tentulah punya usaha yang gigih atau setidak-tidaknya mengasah kebeningan nuraninya untuk menjadi sosok yang hidupnya diabdikan untuk Tuhannya, sesama manusia, dan makhluk hidup lainnya. Baik pikiran maupun perilakunya tidak pernah dibiarkan stagnan, dan sebaliknya diberdayakan selalu mengembara untuk menjelajahi dan membebaskan kesulitan yang diderita sesamanya.

Pecinta sejati itu sudah digariskan oleh Nabi Muhammad SAW, “Tidak disebut beriman di antara kalian, sehingga mencintai saudara-saudara (sesama) sebagaimana kalian mencintai diri sendiri.“

Cinta dalam sabda Nabi Muhammad SAW itu merupakan wujud keberimanan berbasis kemanusiaan. Manusia tidak akan bermakna kedekatannya dengan Tuhan jika dalam hidupnya tidak rajin melakukan investasi seperti membagikan (mengorbankan) harta demi mengentas manusia dari kemiskinan dan memberdayakan ekonomi sesama. Kedekatan dengan sesama harus dibuktikan dengan mencintainya secara ikhlas dan maksimal.

Predikat Beriman

Seseorang umumnya hanya bisa menyaksikan dan bahkan mengeksploitasi penderitaan orang lain, tetapi lupa menyikapi penderitaan orang lain sebagai penderitaannya sendiri. Jika seseorang bisa menjadikan derita orang lain sebagai bagian utama dari `proyek' perjuangannya sendiri, seseorang ini baru layak menyandang predikat beriman. Apa yang diperbuat seseorang ini telah mengalahkan ambisi, egoisme, atau kecenderungan `memberhalakan' diri sendiri.

Seiring dengan berbagai krisis yang menestapakan sebagian masyarakat negeri ini, sikap dan perilaku kita idealnya seperti yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS yakni menjadi bapakbapak pengorbanan sejati. Pengorbanan sejati tak pernah menghitung keun tungan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan dimensi-dimensi lain kecuali keikhlasan memberi dan mendistribusi hak-hak pribadi dan bahkan yang dicintainya demi kemaslahatan publik, seperti Nabi Ibrahim yang rela mengorbankan putra kesayang annya untuk memuaskan (panggilan) cintanya kepada Allah SWT.

Kenyataan di masyarakat kita saat ini, `banjir petaka sosial' sedang menjadi potret yang membelenggu, khususnya masyarakat bawah (lower class). Penghasilan puluhan ribu buruh pabrik tidak mampu mengimbangi derasnya kebutuhan pokok sehari-hari, keluarga miskin masih tetap kesu litan menjawab kebutuhan keberlanjutan hak pendidikan anak-anak me reka, dan ko munitas `alit' di wilayah pinggiran dan pedala man kesu litan men dapatkan pangan bergizi.

Di orde `banjir petaka sosial' itu, kita seharusnya bernapak tilas dengan pelajaran Nabi Ibrahim AS, yang pengorbanannya kepada Allah SWT dan sesama manusia benar-benar didasarkan atas cinta. Kepada sesama manusia, misalnya, Ibrahim rela menyerahkan ribuan hewan ternaknya untuk dikurbankan demi `investasi umat', mengentas umatnya dari kemiskinan, menyenangkan orang-orang susah, dan merajut persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah insaniah).

Sementara dalam berelasi dengan Tuhan, Nabi Ibrahim benar-benar sebagai pecinta sejati. Putra satu-satunya rela `dikorbankan' untuk memenuhi panggilan ilahiah. Anak semata wayang ini bermaksud `dipersembahkan' demi memenuhi kehausan rasa cinta dan rindunya kepada Allah (QS As-Shafat: 103). Cinta demikian agung terbukti mampu melahirkan sejarah keteladanan pengorbanan anak manusia yang le bih menuhankan Tuhannya daripada kepentingan lainnya.

Cinta dan kerinduan Ibrahim AS kepada Al lah SWT sudah tidak terhalang oleh sekat sekat kebendaan dan keduniaan. Nikmat harta dan anak yang menjadi subordinasi hak privasinya tidak ditem patkan sebagai `berhala' yang menegaskan dan mengontaminasi hablummi¬nallahnya. Nikmat duniawi tidak dibiarkan menguasai dan memperbudak dirinya. Harta tak dijadikan sebagai pemuas dahaga kepentingan dan kesenangan diri sendiri, namun didistribusikan demi membebaskan derita sesama. Beda dengan masyarakat sekarang yang gampang menjadikan kepentingan duniawi sebagai `berhala-berhala kontemporernya'.

Penyakit Teologis

Cendekiawan muslim kenamaan Imaduddin Abdurrahim, misalnya, mengkritik bahwa masyarakat modern sering kali mengidap penyakit teologis yang disebut sebagai `tuhan triple ta', yakni tuhan takhta, tuhan harta, dan tuhan wanita. Masyarakat yang telah menyebut dirinya modern merupakan gambaran dari kumpulan manusia-manusia yang sebenarnya sedang terperosok dalam kubangan penuhanan kekuasaan, kekayaan, dan perempuan.

Itulah gambaran kehidupan masyarakat yang sedang retak keimanannya, tidak lagi fitri karena mengidap `najis-najis' yang justru dipertahankan, dan bahkan dijadikan simbolsimbol arogansi dan kriminalisasinya. `Najis-najis' yang menguasai kepribadian ini seperti sebuah kenikmatan yang lezat dan wajib dihidangkan sebagai menu fundamental.

Jika manusia sekarang mau berkiblat pada keteladanan Nabi Ibrahim AS, tentulah di dalam dirinya akan tumbuh subur kekuatan cinta, yang benar-benar menempatkan Tuhan sebagai imam sejatinya. Nabi Ibrahim yang sudah punya jiwa pecinta kepada-Nya ini tidak takut jatuh bangkrut untuk memaksimalkan kesalehan humanitasnya, karena di dalam dirinya sudah melekat keyakinan bahwa pengorbanan sejati pastilah banyak dimensi masalahnya untuk diri, masyarakat, dan negara.

Cinta yang selalu bersemi kepada sesama manusia akan menjadi kekuatan dahsyat untuk membebaskan berbagai bentuk derita atau kesulitan yang terjadi di tengah masyarakat. Di dalam diri setiap pecinta (seperti Nabi Ibrahim AS) ini selalu ada perasaan terpanggil untuk mengabdikan hidupnya bagi kepentingan orang lain, atau di dalam dirinya ada tuntutan untuk tak mendiamkan berbagai problem sosial, ekonomi, politik, budaya, dan lainnya menjajah sesamanya.

Di dalam `kamus'-nya pecinta seperti Ibrahim AS itu, yang ditabur di tengah kehidupan bermasyarakat dan bernegara ialah pola pengabdian yang tulus, yang inklusif, tak mengenal kasta, tak menjadikan golongan sebagai panglima, dan menjauhkan egoisme sektoral. Yang dikedepankannya ialah `nafsu' kemuliaan dan aksi-aksi berkorban yang berdampak terhadap terbentuknya masyarakat saling mencintai, menyayangi, dan tentu saja saling menghidupkan, serta bukan saling membinatangkan.

Lain halnya jika masyarakat kita memang sedang terjerumus dalam kultur mengorbankan sesama dan Tuhannya ketimbang kepentingan diri, kerabat, dan kroni-kroninya, tentulah akan sulit dicapai terbentuknya bangunan masyarakat ideal, karena bisa dipastikan di antara jerit tangis saudara-saudara yang bergulat dengan `banjir petaka sosial', masih ada yang menjatuhkan diri dalam perilaku tak terpuji, seperti `opsi kleptomania', menjarah hak masyarakat miskin, atau distribusi sumbangan kemanusiaan dibuatnya salah sasaran.

`Orde petaka sosial' itu jelas merupakan tantangan (tuntutan) bagi elemen elite bangsa ini supaya mendidik dirinya menjadi bapak pengorbanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar