Sabtu, 27 Oktober 2012

Kurban sebagai Pendidikan Karakter


Kurban sebagai Pendidikan Karakter
Muhammad Zainul Majdi ; Ketua Umum PB Nahdlatul Wathan
Gubernur Nusa Tenggara Barat
MEDIA INDONESIA, 27 Oktober 2012



SELALU ada dua dimensi dalam setiap ritual ibadah keagamaan yang kita jalankan. Di satu sisi, ritual-ritual itu merupakan simbol keyakinan kepada Tuhan dengan menjalankan apa yang Dia perintahkan. Di sisi lain, ritual-ritual agama pada hakikatnya ditujukan untuk kemaslahatan dan kepentingan manusia itu sendiri. Bukankah Tuhan adalah zat Yang Mahabesar, yang kebe sarannya tidak bergantung pada ketaatan umat-Nya? “Agama itu nasihat,” kata Rasullah SAW suatu ketika. Semua yang ada dalam agama ialah nasihat bagi setiap pemeluknya.

Dalam perspektif demikian, ritual ibadah hendaknya tidak dilaksanakan secara fisik saja. Mereka para pencari kebahagiaan hakiki harus berupaya fokus pada nilai-nilai yang ter kandung dalam setiap ritual ibadah yang dilakukan. Keberhasilan menemukan nilai-nilai spiritual dalam setiap ritual ibadah niscaya menentukan seberapa besar manfaat ibadah itu bagi diri pelaksananya. Mereka yang di mata manusia terlihat taat beribadah secara fi sik, tanpa kemauan menggali nilai-nilai yang ada di balik iba dahnya, bisa dianggap lalai dalam ibadah (Al-Ma’uun: 5).

Ibadah yang kering esensi cenderung tidak mendatangkan maslahat bagi pelakunya, utamanya dalam membentuk karakter pribadi dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Bila diibaratkan sebagai pohon, Islam terdiri dari tiga bagian. Akarnya ialah keimanan pada hal-hal yang terdapat dalam rukun iman yang enam, batangnya ialah pokok-pokok ritual yang terkandung dalam rukun Islam, dan buahnya ialah ihsan, yaitu kebajikan itu sendiri. Trilogi iman, Islam, dan ihsan itu ialah kesatuan yang tidak terpisahkan. Keimanan yang kuat niscaya membuat orang dengan penuh keriangan dan keringanan menjalankan peribadatan. Ibadah yang benar dilandasi keyakinan iman, bukan motifmotif lain. Untuk mengukur seberapa jauh ibadah itu dilandasi iman, kita bisa melihat dari buah ibadah tersebut. Ibadah yang benar niscaya membuahkan kebajikan.

Ibadah Kurban

Trilogi semacam itulah yang kita lihat dalam kisah Nabi Ibrahim AS yang menjadi konteks historis ibadah kurban yang kita kenal sekarang ini. Ibrahim, sebagai sosok manusia yang telah ‘menemukan’ Tuhan, terancam kehilangan orientasi ketuhanannya ketika Allah memberikan Ismail, putra yang sekian lama dinanti-nanti kehadirannya. Siti Sarah, sang istri, tidak kunjung hamil. Baru ketika Ibrahim memperistri Siti Hajar, Ismail hadir sebagai jawaban atas segala doa Ibrahim. Secara psikologis, kehadiran anak setelah sekian lama berharap cenderung memabukkan dan menghanyutkan. Ibrahim yang sebelumnya mabuk dalam kecintaannya kepada Allah mulai hanyut dalam kebahagiaan merengkuh Ismail.

Ibadah Ibrahim dan kecintaannya kepada Allah SWT tidak berkurang dengan kehadiran Ismail. Namun, kecintaan itu mulai terbagi dan sebuah ujian keimanan dinilai pantas dilakukan. Allah pun memerintahkan lewat mimpi agar Ibrahim rela mengurbankan Ismail dengan menyembelihnya. Perintah itu terkesan kejam dan radikal serta secara logis mustahil datang dari Zat penuh kasih sayang, tetapi justru di situlah letak ujian keimanannya. Ibrahim dihadapkan pada pilihan untuk meyakini bahwa itu benar-benar perintah Allah dan menaatinya atau dia berpaling dengan beragam argumentasi logis dan emosional kebapakannya.

Sejarah kemudian mencatat keimanan Ibrahim keluar sebagai pemenang. Pilihan jatuh pada pengurbanan Ismail sebagai wujud ibadah dan ketaatan. Sejarah juga mencatat buah manis pengurbanan itu. Ismail terselamatkan dan diganti dengan seekor hewan kurban. Bagi Ibrahim sendiri, peristiwa itu mengajarinya banyak hal. Kesabaran, keikhlasan, dan kekuatannya untuk tidak lagi terikat pada hal-hal yang bersifat material keduniawian. Kurban, bagi Ibrahim, ialah sebuah peristiwa dengan efek psikologis mahadahsyat, yang harusnya juga dirasakan bagi para pelaksananya sekarang ini.

Pendidikan Karakter

Sebagai sebuah peristiwa psikologis sebagaimana tecermin dalam konteks historisnya, ibadah kurban senyatanya ialah sebuah pendidikan karakter bagi Ibrahim dan manusia sesudahnya. Karakter terpenting dalam ritual kurban barangkali ialah karakter `manusia tauhid'. Tauhid di sini tidak dimaknai sebagai terminologi teologis, tetapi keterpusatan jiwa dan pikiran hanya kepada Allah SWT. Karakter itu memberikan orientasi hakiki kehidupan hanya pada Sang Pencipta dan melepaskan keterikatan pada sesuatu di luar-Nya seperti anak, harta, dan kedudukan. Keterikatan besar manusia pada materi-materi selain Dia merupakan penghalang terhebatnya untuk berkurban.

Ritual kurban mengajarkan kepada kita untuk memiliki sikap moral yang tidak bersifat egosentris dan mau untung sendiri. Betapa banyak permasalahan bangsa ini yang muncul karena sifat warganya yang cenderung berorientasi ke diri pribadi, kelompok, atau golongan mereka saja. Padahal kerelaan Ibrahim berkurban tanpa memikirkan keinginan nya sendiri, jika diaplikasikan pada tataran sosial, niscaya akan menjadi solusi setiap konflik sosial yang mengancam keutuhan dan relasi antarindividu dan antargolongan.

Manusia memiliki kecenderungan kebinatangan (hayawaniyyah) dalam dirinya yang punya kecenderungan merusak. Ritual kurban dengan menyembelih binatang merupakan simbol bagi penyembelihan karakter-karakter buruk kebinatangan dalam diri manusia seperti hidup tanpa mengindahkan aturan, penghalalan segala cara guna mencapai tujuan, dan punya kecondongan memuaskan kepentingan (nafsu) diri sendiri dengan menzalimi orang atau kelompok lain. Jika ritual kurban dihayati, tidak akan ada perusakan karena perbedaan pandangan atau keyakinan.

Digantinya Ismail oleh Allah dengan seekor binatang juga merupakan perlambang betapa Islam mengharuskan nyawa manusia dihargai. Bukankah Allah sudah menggariskan dalam kitab-Nya yang mulia bahwa barang siapa yang menghilangkan sebuah jiwa, padahal jiwa itu tidak membunuh jiwa yang lain atau berbuat fasad (kerusakan yang berdampak masif ), pada hakikatnya orang itu telah membunuh kemanusiaan seluruhnya (Al-Maidah: 32). Penghayatan akan konteks historis kurban niscaya menjadi legitimasi teologis bagi setiap argumen yang menentang penghilangan nyawa orang lain, apa pun alasannya.

Di level elite, kita rindu kepemimpinan yang rela mengurbankan sedikit kepentingan dirinya, keluarga, golongan, atau kelompoknya dengan membuat kebijakan yang adil bagi semua dan membawa kemaslahatan umum. Perilaku koruptif, selain menunjukkan kecintaan berlebih pada materi, menunjukkan betapa elite belum mampu meninggalkan hawa nafsu dan egonya karena cenderung berorientasi pada keuntungan diri sendiri. Yang terjadi selama ini ialah sejumlah elite terkesan lebih condong mengurbankan kepentingan orang banyak.

Sejumlah contoh tersebut menegaskan betapa ritual kurban memiliki dampak yang tidak saja bersifat keakhiratan, tetapi juga berdampak pada peningkatan karakter manusia dan bangsa. Itulah hakikat setiap ritual yang kita laksanakan. Hal mana membuktikan betapa religiositas merupakan hal yang tidak saja masih relevan, tetapi malah semakin dibutuhkan di era modern ini. Bukan demi kepentingan Dia Yang Mahakuat, melainkan demi kepentingan kemanusiaan kita itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar