Sabtu, 27 Oktober 2012

Nostalgia 28 Oktober?


Nostalgia 28 Oktober?
Dewi Aryani ; Anggota Fraksi PDI Perjuangan; Ketua PP Ikatan Sarjana NU 
SINDO, 27 Oktober 2012



Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya.. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia (Bung Karno) 

Pemuda, yang dikenal sebagai kaum dengan semangat yang membara, selalu menggebu itu tak pernah kehabisan peran dalam setiap perubahan. 

Sejarah mencatat bahwa kaum muda Indonesia berperan penting dalam kemerdekaan 68 tahun silam. Sikap alami pemuda yang selalu ”ngotot” atas apa yang mereka inginkan mampu memaksa golongan tua untuk membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Begitulah pemuda, penuh gelora, penuh asa. 

Tanah Air, Bangsa, Bahasa 

Indonesia memiliki puluhan ribu pulau, dari Sabang hingga Merauke. Kompleksitas Indonesia secara geografis, praktis menciptakan keragaman suku, bahasa, hingga agama.Sebagai bangsa yang plural, Indonesia memiliki risiko untuk mengalami separatisme di mana-mana. Namun, momen 28 Oktober 1928 menjadi saksi bisu betapa pemuda Indonesia memiliki posisi penting dalam keutuhan Indonesia. 

Pemuda Indonesia berikrar tentang persatuan dalam tanah air, bangsa, dan bahasa Indonesia. Rangkaian bait atas ikrar itu dinamakan dengan Sumpah Pemuda, dan sejak itu Indonesia merayakan Hari Sumpah Pemuda pada setiap 28 Oktober. Pemuda adalah mereka yang bekerja dengan ribuan ide dan cara. Oleh karena itu, pemuda adalah potensi kemajuan bangsa. 

Awal mula Sumpah Pemuda dibuat ialah agar pemuda Indonesia yang tersebar di penjuru Nusantara tetap bersatu, meski berbeda secara suku, agama, dan bahasa. Dengan demikian, jelas bahwa kaum muda sebagai generasi bangsa selanjutnya amat dipentingkan untuk tidak terpecah belah. Bersatu untuk memajukan Indonesia menjadi salah satu tujuan awal mengapa Hari Sumpah Pemuda menjadi salah satu yang sangat sakral untuk diperingati. 

Krisis Moral, Krisis Bangsa 

Indonesia sebagai negara dengan model piramida penduduk yang berbentuk limas seharusnya memiliki potensi besar untuk memperoleh perubahan. Penduduk Indonesia yang 63,91% berusia produktif adalah aset bangsa. Namun, aset hanya akan menjadi aset tak bermanfaat jika tak diberdayakan sebagaimana seharusnya. 84 tahun pasca-Sumpah Pemuda,rasanya tidak terlalu berlebihan jika disebutkan bahwa pemuda Indonesia memasuki fase kritis. Jauh sudah harapan para founding fathers yang menangguhkan perjuangan mereka pada pemuda Indonesia.Pasalnya, mayoritas pemuda Indonesia saat ini memiliki perilaku melenceng dari apa yang diamanatkan oleh para pendahulu. 

Bahkan, mahasiswa yang disebut-sebut sebagai kaum intelektual muda,belum juga pantas memperoleh predikat ”intelek”sepenuhnya. Miris sekali saat melihat ribuan mahasiswa di berbagai penjuru nusantara melakukan demonstrasi anarkistis. Mereka merusak berbagai fasilitas negara, membakar ban atau bendera, bahkan tak jarang akhirnya muncul korban jiwa akibat anarkisme yang mereka lakukan. Sungguh ironis, kaum intelektual berperilaku layaknya orang tak berpendidikan. 

Selain mahasiswa,usia produktif di Indonesia juga diisi oleh para pelajar.Namun, pelajar di Indonesia justru tampak lebih senang ”belajar”kekerasan ketimbang duduk manis di kelas.Tawuran yang dilakukan oleh pelajar kita seakan menjadi potret buram pendidikan Indonesia. Pada 2010, setidaknya terjadi 128 kasus tawuran antar pelajar. Angka itu melonjak tajam lebih dari 100% pada 2011, yakni 330 kasus tawuran yang menewaskan 82 pelajar. Pada Januari–Juni 2012, telah terjadi 139 tawuran yang menewaskan 12 pelajar. (TVone, 2012). 

Selain di dunia pendidikan, pemuda Indonesia juga mengalami krisis jati diri. Begitu banyak anak muda Indonesia yang terlibat narkoba dan seks bebas. Berdasarkan data statistik lima tahun ke belakang, Jumlah remaja yang terlibat kasus Napza sekitar 78% dari 3,2 juta penduduk (SKRRI 2007), di tahun 2009 jumlah remaja yang terlibat narkoba adalah sekitar 1,1 juta pelajar dan mahasiswa (Badan Narkotika Nasional, 2012), Badan Narkotika Nasional (BNN) tercatat, hingga saat ini sudah empat juta menjadi pengguna atau pencandu narkoba, 150.000 di antaranya adalah remaja.

Selain itu, hasil penelitian Universitas Indonesia dan Australian National University pada 2010 mengatakan bahwa sebanyak 20,9% remaja putri di Indonesia, telah hamil di luar nikah karena berhubungan seks dan 38,7% telah mengalami pernikahan usia dini (Antara,2012). Sungguh ironis.Fakta-fakta di atas menyiratkan bahwa pemuda Indonesia mengalami degradasi moral dan seakan mengalami amnesia akan apa yang diamanatkan oleh pendahulunya. Pemuda Indonesia mengalami parsialisme dalam kehidupan mereka masingmasing. Jika menjaga moral saja sudah menjadi barang langka bagi dunia muda Indonesia, apalagi memajukan Indonesia melalui pengamalan Sumpah Pemuda? 

Tanggung Jawab Bersama 

Mati surinya peran pemuda Indonesia menjadi masalah besar yang harus diselesaikan. Pemuda adalah mereka yang kelak memimpin bangsa Indonesia. Bayangkan jika 10 tahun lagi Indonesia dipimpin oleh orang-orang yang menghabiskan masa mudanya dengan kegiatan sia-sia, padahal di sisi lain globalisasi menuntut Indonesia untuk berkompetisi dengan negara lain. 

Jika demikian yang terjadi, hampir tidak mungkin Indonesia beranjak memperoleh posisi atas kompetisi global. Indonesia semakin jauh dari generasi muda yang siap tempur. Jangankan untuk berlaga di kancah internasional, untuk mempertahankan hasil perjuangan masa lalu saja rasanya sulit jika keadaan pemuda kita seperti sekarang. Lantas, siapa yang harus bertanggung jawab atas suramnya potret pemuda Indonesia sekarang? Jelas,semua pihak punya porsi masing-masing atas tanggung jawab ini. Lingkup terdekat yakni orang tua, jelas memiliki peran besar. 

Keluarga adalah sekolah primer bagi setiap manusia. Karena itu, apa yang diajarkan oleh orang tua menjadi faktor penentu bagaimana seorang pemuda bersikap. Kemudian lembaga pendidikan. Pihak ini memberikan efek laten terhadap pembentukan karakter anak muda. Tanpa adanya penanaman nilai kebangsaan yang mendalam terhadap anak muda di setiap lembaga pendidikan, mereka akan lebih mudah terbawa ke dalam halhal yang semakin menjauhkan mereka dari kebaikan. 

Tak hanya nilai-nilai kebangsaan, nilai-nilai dalam pendidikan antikorupsi juga harus menjadi fokus pendidikan karakter para pemuda. Pihak terakhir yang juga penting memberikan tanggung jawabnya terhadap kondisi pemuda Indonesia adalah pemerintah.Mengingat bahwa pemuda Indonesia adalah agen perubahan dan calon pemimpin masa depan bangsa, maka sudah selayaknya mereka memperoleh perhatian khusus dari pemerintah. Keberlangsungan bangsa Indonesia ada di tangan pemudanya dan kita semua bertanggung jawab penuh atas hal itu. 

Oleh karena itu, mari jadikan 28 Oktober tak sekadar nostalgia belaka, akan tetapi menjadi cambuk dan semangat bagi kita semua untuk tetap menjaga persatuan, menghargai berbagai perbedaan, dan berkomitmen memajukan bangsa, bukan larut dalam kesia-siaan belaka. Pemuda perlu panutan, perlu contoh dan konsistensi dalam karya, kinerja dan kecintaan mendalam kepada empat pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bineka Tunggal Ika. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar