Senin, 29 Oktober 2012

Lintasan Pejalanan Demokrasi Kita


Lintasan Pejalanan Demokrasi Kita
Abdul Malik Gismar ;  Associate Director Paramadina Graduate School
KOMPAS, 29 Oktober 2012


Dua tahun terakhir dunia menyaksikan gelombang demokratisasi melanda Timur Tengah. Musim Semi Arab melengserkan rezim-rezim otoriter di Tunisia, Mesir, dan Libya.
Gelombang ini mencerminkan tren global yang kuat untuk memilih demokrasi sebagai sistem politik dan pemerintahan. Namun, pada waktu bersamaan, negara-negara yang memulai transisi pada gelombang sebelumnya (tahun 1990-an) justru mengalami kemerosotan demokrasi. Democracy Index dan Freedom in the World Index pada tahun 2010 menyimpulkan, sejak 2008 dunia mengalami kemunduran atau resesi demokrasi. Demokrasi Indonesia tak terlepas dari kecenderungan ini.
Realitas Indonesia
Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang disusun oleh Badan Pusat Statistik memberikan gambaran yang terang mengenai kondisi demokrasi di Indonesia. Indeks rata-rata provinsi dalam IDI 2010 adalah 63,17 (skala 0-100). Angka ini merupakan angka komposit dari ketiga aspek IDI 2010: kebebasan sipil (82,53), hak-hak politik (47,88), dan kelembagaan demokrasi (63,11). Capaian ini menunjukkan kebebasan sipil sudah tergolong ”baik”, diikuti kelembagaan demokrasi yang masuk kategori ”sedang”, sementara pemenuhan hak-hak politik masih tergolong ”buruk”. Dengan sedikit pengecualian, gambaran semacam ini ditemukan di semua provinsi.
Kesenjangan antar-aspek demokrasi yang sangat lebar ini menunjukkan adanya paradoks dalam demokrasi Indonesia. Di satu sisi, telah tercipta ruang kebebasan sipil serta ada gairah yang besar untuk memanfaatkannya. Di sisi lain, ada stagnasi kelembagaan demokrasi dan penyumbatan saluran partisipasi.
Realitas demokrasi Indonesia sehari-hari lahir dari paradoks ini. Dari pelosok desa di semua provinsi sampai ke Ibu Kota kita menyaksikan gairah menggebu masyarakat untuk turut mengawasi jalannya penyelenggaraan pemerintahan. Isu yang menjadi sorotan pun begitu beragam. Dari persoalan kehidupan sehari-hari seperti jalan rusak, listrik mati, ketiadaan air bersih, dan penelantaran pasien miskin di rumah sakit sampai persoalan lebih besar seperti korupsi, hubungan ketenagakerjaan, dan sengketa pertanahan.
Namun, tuntutan-tuntutan demokratik yang sah ini berhadapan dengan inersia (kelambanan) sistem dan kelembagaan dalam menanggapinya. Akibatnya, timbul frustrasi terhadap demokrasi yang memunculkan dua respons yang sangat kontras, yaitu apatisme atau ”anarkisme”. Simtom dari anarkisme ini dapat kita saksikan dalam fenomena pemblokiran jalan, penyegelan kantor, perusakan fasilitas, dan sebagainya.
Konsolidasi demokrasi ternyata tidak secara otomatis mengikuti transisi. Sementara itu, transisi yang berkepanjangan menimbulkan keraguan apakah demokrasi yang hiruk-pikuk dan berbiaya mahal itu membawa manfaat bagi kesejahteraan warga negara. Euforia reformasi dengan segala ilusi bahwa demokrasi akan memecahkan semua persoalan sosial dan politik mulai digantikan oleh realisme: bahwa demokrasi bukan panasea serta sangat terbuka untuk segala macam penyelewengan. Demokrasi pun di mana-mana digugat.
Dua Lintasan
Dilihat dari realitas di atas, ada dua lintasan ke mana demokrasi Indonesia mengarah. Pertama, lintasan pesimistik, di mana penurunan indeks demokrasi mencerminkan semakin kroniknya ketidakmampuan kelembagaan demokrasi Indonesia. Dalam keadaan demikian, lembaga-lembaga demokrasi tidak berfungsi mengakomodasi, menyalurkan, dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Ketidakpuasan rakyat semakin tinggi dan ekspresinya semakin banyak mengambil bentuk tindak kekerasan yang justru anti-demokratik.
Negara pun secara keseluruhan makin tak mampu menghadirkan kebebasan, keadilan, keamanan, dan kesejahteraan yang dijanjikan oleh demokrasi. Akibatnya, baik di kalangan penyelenggara pemerintahan maupun masyarakat muncul sinisme terhadap demokrasi. Bahkan, ada kecenderungan kembali kepada sistem yang tidak demokratik.
Kedua, lintasan optimistik, di mana penurunan indeks demokrasi di Indonesia bukan berarti Indonesia jadi atau mengarah ke rezim yang anti-demokratik. Penurunan ini terutama karena tuntutan masyarakat yang lebih tinggi terhadap kinerja pemerintah. Bila awal reformasi masyarakat dapat dipuaskan hanya dengan adanya sistem dan institusi demokrasi serta pelaksanaan prosedur-prosedurnya, kini mereka menuntut (sistem) demokrasi yang menjawab kebutuhan dan kepentingan mereka.
Dengan kata lain, stagnasi atau resesi demokrasi—khususnya yang ditunjukkan oleh anarkisme dalam masyarakat—adalah gejala yang menunjukkan tekanan dari masyarakat agar sistem dan kelembagaan demokrasi berfungsi lebih baik. Dengan demikian, dalam lintasan ini, simtom yang menunjukkan resesi dan stagnasi demokrasi Indonesia ini adalah kelokan kecil menuju demokrasi yang lebih substantif.
Indonesia tidak punya pilihan kecuali mencegah lintasan pertama dan merealisasikan lintasan kedua. Tantangan utama untuk itu adalah pada peningkatan kapasitas lembaga, terutama kapasitas para aktor dalam lembaga- lembaga demokrasi kita. Pengawasan masyarakat yang ketat dan cerdas perlu diarahkan kepada persoalan ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar