Stabilitas
Kawasan Timur Tengah
Broto Wardoyo ; Dosen Mata Kuliah Dinamika Kawasan Timur Tengah,
Departemen Ilmu Hubungan Internasional, UI
|
KOMPAS,
31 Oktober 2012
Ketegangan antara Turki dan Suriah
memunculkan kekhawatiran pecahnya perang di kawasan Timur Tengah. Setidaknya ada empat hal yang harus
dipertimbangkan untuk menilai stabilitas di kawasan Timur Tengah terkait
kemungkinan pecahnya perang di kawasan.
Sangat Dimungkinkan
Pertama, ada dan tidaknya sengketa
perbatasan antara Turki dan Suriah. Beberapa sengketa militer tercatat pernah
terjadi antara Turki dan Suriah. Kedua negara pernah terlibat sengketa atas
turunnya debit air Sungai Eufrat ketika Turki membangun Bendungan Ataturk.
Kedua negara juga memiliki perselisihan politik ketika Suriah memberikan
perlindungan kepada kelompok bersenjata Kurdi untuk melancarkan serangan
gerilya ke wilayah Turki.
Sengketa-sengketa tersebut tak terkait
sendiri dengan adanya perebutan teritori. Kedua negara berseteru atas
kepemilikan Distrik Alexandretta/Hatay yang sebelumnya dimiliki oleh Suriah,
tetapi kemudian diberikan kepada Turki oleh Perancis pada 1939. Sengketa atas
wilayah Alexandretta/Hatay tidak pernah pecah sebagai konflik bersenjata
antara Turki dan Suriah.
Suriah secara konsisten menentang
kepemilikan Turki atas wilayah ini dan menuntut pengembalian wilayah ini ke
Suriah. Selama kepemimpinan Presiden Bashar al-Assad, upaya untuk membuka
sengketa atas kawasan Alexandretta/Hatay ini senantiasa ditutup. Bahkan,
sebagai langkah rekonsiliasi, tahun 2009 kedua negara sepakat meniadakan
penggunaan visa bagi kunjungan warga Suriah ke Hatay.
Kedua, ada atau tidaknya aliansi dan
kontra-aliansi yang dimiliki kedua negara. Baik Turki maupun Suriah sama-sama
memiliki aliansi strategis dengan negara-negara yang berbeda. Turki merupakan
anggota NATO, sedangkan Suriah membangun aliansi strategis dengan Iran.
Kedekatan Suriah dengan Iran didorong oleh adanya kesamaan persepsi ancaman
yang berasal dari Israel dan sekutu Barat-nya.
Turki, meskipun dekat dengan negara-negara
Barat anggota NATO dan menjadi salah satu negara di kawasan yang memiliki
hubungan diplomatik dengan Israel, tak sepenuhnya sejalan dengan negara
Yahudi itu. Beberapa insiden mewarnai ketegangan hubungan Turki-Israel,
termasuk salah satunya kasus penyerbuan kapal Mavi Marmara yang membawa
bantuan kemanusiaan ke Gaza oleh tentara Israel.
Ketiga, ada atau tidaknya sejarah rivalitas
antara Turki dan Suriah. Pemahaman konsep rivalitas secara teoretik dapat
dibedakan jadi dua: enduring rivalries dan strategic rivalries. Enduring
rivalries menekankan pada intensitas sengketa bersenjata, sedangkan strategic
rivalries menekankan pada persepsi sebagai lawan yang dibangun tanpa harus mendasarkan
diri pada intensitas sengketa bersenjata saja.
Dalam kedua penjelasan itu, Turki dan
Suriah tidak diidentifikasikan sebagai dua negara yang memiliki rivalitas.
Secara militer, Turki memiliki rivalitas dengan Inggris, Perancis (keduanya
dianggap selesai dalam keterlibatan mereka di NATO), dan Yunani (secara
strategis Turki juga memiliki rivalitas dengan Yunani). Sementara Suriah
memiliki rivalitas dengan Israel, baik enduring rivalry maupun strategic rivalry.
Keempat, ada atau tidaknya perlombaan senjata
antara Turki dan Suriah. Kemampuan militer Suriah senantiasa disebut sebagai
salah satu yang terbaik di kawasan Timur Tengah selain Israel, Iran, dan Arab
Saudi. Sebagian besar persenjataan yang dimiliki Suriah berasal dari Rusia
dan Iran. Adapun persenjataan yang dimiliki Turki mengikuti standar NATO yang
sebagian besar berasal dari Amerika Serikat dan negara-negara Barat. Namun,
tidak ada indikasi yang jelas bahwa Turki dan Suriah melakukan perlombaan
senjata.
Dari keempat faktor itu, dua faktor tak mendukung
pecahnya perang dan dua lainnya mendukung pecahnya perang. Vasquez dan
Henehan (2001) menjelaskan bahwa sengketa teritorial menjadi penyebab utama
pecahnya perang. Vasquez dan Senese (2005) mengembangkan tesis itu dengan
menambahkan, secara berurutan, faktor aliansi- kontra aliansi, rivalitas, dan
perlombaan senjata.
Berkaca dari tesis tersebut, kemungkinan
pecahnya perang antara Turki dan Suriah cukup terbuka. Upaya untuk meredakan
ketegangan agar tidak berujung pada perang harus dilakukan salah satunya
dengan tidak mengaitkan kekerasan yang terjadi dengan sengketa atas wilayah
Alexandretta/Hatay.
Harus Dicegah
Meskipun demikian, dalam konteks Timur
Tengah ada dua faktor lain yang harus dipertimbangkan dalam menilai
kemungkinan pecahnya perang. Faktor pertama adalah efek bola salju perang dan
faktor kedua adalah jebakan komitmen aliansi.
Efek bola salju dari pecahnya perang antara
Turki dan Suriah akan menciptakan rentetan konflik bersenjata di beberapa
tempat di kawasan Timur Tengah. Suriah tidak hanya membangun aliansi dengan
Iran, tetapi juga jadi pelindung bagi kelompok-kelompok bersenjata di
kawasan, seperti Hamas dan Hezbollah.
Keterlibatan Suriah dalam perang
antarnegara akan menyeret keterlibatan kelompok-kelompok bersenjata itu.
Permasalahan terbesarnya, kelompok-kelompok itu tak bersinggungan dengan
Turki, tetapi bersinggungan dengan Israel. Konflik bersenjata yang melibatkan
Hamas dan Hezbollah akan berdampak pada kondisi di Palestina dan Lebanon,
terutama Lebanon selatan.
Faktor kedua yang harus dipertimbangkan
adalah munculnya jebakan komitmen aliansi. Turki merupakan salah satu anggota
NATO yang merupakan pengaturan keamanan di Eropa untuk menghadapi ancaman
dari luar NATO. Keterikatan ini berpotensi membawa semua negara NATO ke dalam
perang antara Turki dan Suriah.
Keterlibatan NATO dalam konflik ini akan
semakin memperburuk kondisi. Belum lagi jika Iran turut terlibat karena
keterikatan relasi strategisnya dengan Suriah.
Skenario menggunakan Turki untuk menekan
kedekatan Suriah dengan Iran pernah dikemukakan dalam laporan ICG bulan
Desember 2009. Skenario yang sama dapat juga digunakan untuk memberikan
tekanan terhadap rezim Assad untuk mengakhiri kekerasan terhadap kelompok
oposisi.
Pilihan terhadap skenario ini juga pernah
diungkapkan oleh Jon Alterman, Direktur Kajian Timur Tengah CSIS Washington,
di depan Komisi Senat untuk Urusan Luar Negeri pada April 2012. Alterman
mengusulkan agar Pemerintah AS menggunakan ketidakharmonisan hubungan
Suriah-Turki untuk memberikan tekanan bagi rezim Assad. Apalagi, Turki juga
menjadi safe-haven bagi kelompok-kelompok anti-Assad dan menampung para
pengungsi Suriah. Meski demikian, patut dicatat bahwa skenario tersebut tidak
diarahkan pada upaya menciptakan konflik bersenjata dalam skala serius antara
Turki dan Suriah.
Dua pertimbangan tersebut harus lebih
dikedepankan untuk mencegah munculnya kekerasan yang lebih serius antara
Turki dan Suriah. Upaya untuk meredakan ketegangan harus dilakukan secara
serius untuk menghindarkan kedua negara dalam konflik yang berkepanjangan.
Upaya itu sama pentingnya dengan upaya untuk menyelesaikan konflik internal
di Suriah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar