Kontribusi
dalam Sekeping Coin
Rhenald Kasali ; Guru Besar Fakultas
Ekonomi UI dan Pendiri ‘Rumah Perubahan’
|
MEDIA
INDONESIA, 25 Oktober 2012
DEMAM Gangnam style kini sedang mendunia. Lagu
dan jogetnya yang unit membuat semua orang tak malu-malu mendendangkan
ataupun mengikuti gerakannya. Tak terkecuali Chairman Google Eric Scmidt pun
ikut bergoyang ala Gangnam style yang dipopulerkan rapper Korea Selatan
(Korsel) PSY itu.
Lagu Gangnam Style bahkan menjadi paling populer di laman daring Youtube
dengan jumlah like mencapai 2,6 juta sehingga memecahkan rekor baru.
Kepopuleran lagu yang menyindir kalangan kelas
atas yang tinggal di Gangnam, Korsel, itu seolah melengkapi demam artis-artis
Korea atau biasa dikenal dengan Kpop tersebut. Budaya-budaya Korea kini
secara perlahan mulai merasuk ke budaya budaya negara lain, melengkapi
produk-produk Korea yang sudah mendunia sebelumnya seperti Samsung dan
Hyundai.
Perlahan tapi pasti, produk-produk Korea mulai
berani bersaing dengan produkproduk Jepang yang sudah mendunia terlebih
dahulu. Tapi bagaimana sikap kita terhadap nilai-nilai, budaya, dan bahkan
pada produk dan korporasi buatan bangsa sendiri?
Bagaimana produk Korea itu bisa mendunia,
tentu tidak lepas dari sikap keras kepala mereka. Mengapa keras kepala?
Orang-orang Korea terkenal keras dalam membeli produk-produk buatan
negerinya. Ketika Hyundai meluncurkan produk pertamanya pada 1975,
orang-orang Korea mendukungnya habis-habisan meski gengsinya tidak ada, pa
sokan suku cadangnya belum terjamin, dan servisnya belum memadai. Secara
hitung-hitungan, jadinya malah mahal.
Tetapi mereka tetap menghargai produk negeri sendiri dan membelinya.
“Ini adalah produk bangsaku, dan aku harus
mendukung. Jika suatu saat menjadi besar dan bagus, saya juga ikut menjadi
besar,“ begitu panggilan jiwa mereka. Itulah budaya ekonomi orang-orang
Korea.
Kebanggaan serupa juga ditemui pada
bangsa-bangsa Yahudi. Sewaktu belajar di Amerika Serikat, saya sering menyaksikan
orang-orang Yahudi yang selalu membeli baju-baju buatan Israel meski harganya
lebih mahal dan kualitasnya kalah dari baju buatan bangsa lain. Ini semua
tentu dilakukan karena kesadaran, bukan paksaan. Berkontribusi terhadap
negara dengan membeli produk buatan bangsa sendiri adalah sebuah panggilan.
Maka saya berpikir, tak mengherankan jika kemudian bangsa Yahudi menjadi
bangsa yang sulit ditaklukkan.
Melalui Hal Kecil
Sayangnya, dewasa ini kecintaan terhadap
produk buatan dalam negeri masih belum terlihat. Masyarakat kelas menengah
Indonesia hanya mau membayar mahal untuk barang-barang mewah buatan asing,
tetapi perhitungan dalam membayar barang atau jasa buatannya sendiri. Kita
berobat ke luar negeri, tetapi yang murah-murah kita tinggalkan. Kita rela
membayar tiket pesawat terbang armada asing yang mahal, namun hanya memakai
armada nasional saat sedang diskon. Padahal dunia internasional telah
mengakui pelayanan armada nasional (Garuda) adalah yang terbaik dalam
industri penerbangan dunia. Demikian pula gairah memakai bahan bakar
kendaraan di sini. Kita berebut bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, namun
begitu harus membeli yang lebih mahal beralih ke stasiun pengisian bahan
bakar umum (SPBU) asing.
Masih belum banyak orang yang memperhatikan bahwa dengan mendukung merek
lokal berarti telah berkontribusi besar. Sifat masyarakat yang hitung-hitungan kemudian
dimanfaatkan oleh para produsen asing di sini dengan market entry strategy
pada produk-produk yang terkesan homogen seperti BBM dan telekomunikasi.
Dengan harga yang sedikit saja lebih murah bahkan cenderung predatory like
pricing, yang menawarkan lebih murah akan mengambil semuanya. Bahkan setahu
saya ada SPBU asing yang memakai pricing strategy Rp50 lebih murah dari
berapa pun harga yang dipasang Pertamina. Harganya hanya beda sekeping mata
uang logam yang nilainya tidak seberapa, tetapi menghipnosis pasar dengan
persepsi.
Tentu saja produk BBM sesungguhnya tidak
homogen. Beda sekeping uang logam berakibat besar karena market size-nya
begitu besar. Tentu saja ada technical treatment yang harus dikorbankan.
Secara ekonomis sudah pasti dampak buruknya jauh lebih besar dari penghematan
yang hanya lima puluh perak itu.
Produk BBM tidak homogen karena masing-masing
memiliki kelebihan tersendiri. Penasaran melihat harga predatory like itu, saya pun memeriksa pertamax yang dipakai
sopir saya. Dengan selisih tak seberapa itu saya menemukan implikasi yang
besar. Mesin kendaraan lebih sehat dan ramah lingkungan. Membeli produk
tersebut juga berarti memberikan kontribusi kepada BUMN yang menjualnya,
sehingga kemudian keuntungannya bisa diberikan kepada masyarakat. Memang ini
agak teknis, tetapi saya kira masyarakat perlu diberi tahu.
Karena kurangnya pengetahuan terhadap nilai
tambah tersebut, satu-satunya patokan yang kemudian digunakan konsumen dalam
membeli produk itu ialah faktor harga yang lebih murah. Itulah mengapa
kemudian BBM yang dijual BUMN kita menjadi produk yang sangat elastis. Sekali
harganya naik sedikit saja, permintaannya beralih kepada yang lebih murah.
Namun ini berarti keuntungannya akan dibawa ke luar negeri dan kerusakan akan
dialami konsumen dalam negeri. Padahal kalangan menengah Indonesia saat ini
mulai tumbuh, makin kuat, dan mobil-mobilnya pun terlihat lebih mahal. Kelas
menengah kita mulai mampu menyekolahkan anaknya di sekolah internasional.
Saya merasa perlu menuliskan hal ini agar jangan terhipnosis hanya oleh
sekeping uang logam, namun satu generasi hilang.
Sejarah mengajarkan,
bangsa-bangsa yang keras kepala seperti Korea dan Yahudi bisa saja banyak
dimusuhi, namun mereka bisa kuat karena bersatu. Bagi mereka, kontribusi
kepada negara tidak bisa dinilai dengan selisih harga yang setara dengan uang
koin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar