Cara
Menghargai PNS Bersih
Hifdzil Alim ; Peneliti dari Pusat
Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
|
SUARA
MERDEKA, 25 Oktober 2012
"Apakah sudah tak ada PNS
bersih untuk mengisi kursi kepala dinas yang pernah menjadi terpidana kasus
korupsi?"
SEPERTINYA ada
yang miring dengan penegakan hukum di republik ini. Tak hanya penegakan hukum
dalam arti menegakkan hukum pidana tapi juga penegakan hukum dalam ranah
hukum administrasi. Bagaimana mungkin seorang atasan keliru dan fatal membaca
aturan yang membuat banyak orang mempertanyakan maksudnya.
Adalah
Azirwan, terpidana kasus korupsi, yang terbukti menyuap anggota DPR (waktu
itu) Al-Amin Nasution dalam alih fungsi hutan lindung di Pulau Bintan Sumatra
tahun 2008. Saat itu Azirwan menjabat Sekda Kabupaten Bintan Provinsi
Kepulauan Riau. Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan pidana
penjara 2 tahun 6 bulan, dan denda Rp 100 juta subsider 3 bulan kurungan.
Setelah bebas,
Azirwan dipromosikan menjadi Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi
Kepulauan Riau. Terkait sorotan banyak pihak, Azirman akhirnya memilih mundur
(Kompas, 23/10/12). Sehari sebelumnya, Mendagri Gamawan Fauzi menyatakan,’’
"Dia (Azirwan) mundur secara sukarela."
Dengan
pengunduran pejabat itu, saat ini masih ada 8 bekas terpidana korupsi yang
menjabat kepala dinas di Pemprov Kepulauan Riau. Terkait Azirwan, sebelumnya
Gubernur HM Sani mengatakan, Azirwan sosok yang memiliki kemampuan mengelola
Dinas Kelautan dan Perikanan. Karo humas pemprov Riono menambahkan Azirwan dinilai
berperilaku baik dan berprestasi oleh pimpinan.
Apakah
pertimbangan kompetensi, berperilaku baik, dan berprestasi yang dimiliki
Azirwan, bekas koruptor, menjadi alasan pembenar untuk memberinya kedudukan
baru di struktur pemda? Apakah pemberian kedudukan itu tidak melanggar hukum?
Apakah sudah tak ada PNS bersih yang mampu mengisi kursi kepala dinas, yang
pernah menjadi terpidana kasus korupsi?
Sakiti PNS Bersih
Ketentuan
hukum yang mengatur PNS, salah satunya adalah UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang
Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Perihal
pemberhentian PNS diatur dalam Pasal 23 UU Nomor 43 Tahun 1999. Pasal 23
terdiri atas lima ayat yang bernorma pilihan, wajib bersyarat, dan/ atau
wajib. Sifat pilihan tertera dalam Ayat (2), (3), dan (4). Adapun Ayat (1)
dan (5) bersifat wajib.
Tampaknya
Gubernur Provinsi Kepulauan Riau membaca bagian pasal yang bersifat pilihan.
Transkrip Pasal 23 Ayat (3) Huruf b UU Nomor 43 Tahun 1999 menyebutkan,’’ PNS
dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak diberhentikan karena dihukum
penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan yang ancaman
hukumannya kurang dari 4 tahun.’’
Norma Pasal 23
Ayat (3) Huruf b memang bersifat pilihan, sekaligus memberikan diskresi
kepada kepala daerah untuk memberhentikan atau tidak memberhentikan PNS di
lingkungannya. Apabila misalnya, gubernur merasa putusan pengadilan yang
dijatuhkan kepada pegawainya itu tidak memengaruhi kompetensi, perilaku, atau
prestasi si pegawai, gubernur dapat mempersilakan anak buahnya untuk tetap
bekerja. Bahkan gubernur memiliki hak menaikkan jabatan.
Namun,
sepertinya norma pasal yang bersifat wajib kemungkinan tidak dibaca, atau
bahkan tidak diindahkan oleh gubernur beserta semua ahli hukumnya. Pasal 23
Ayat (5) Huruf c UU Nomor 43 Tahun 1999 menyebutkan,’’ PNS diberhentikan
tidak dengan hormat karena dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan
tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada
hubungannya dengan jabatan.’’
Ketentuan
Pasal 23 Ayat (5) Huruf c bersifat wajib, artinya tak ada tawar-menawar.
Ketika PNS melakukan kejahatan yang memiliki hubungan dengan jabatan maka
kepala daerah harus memberhentikannya secara tidak hormat. Pemberhentian tipe
ini sampai pada si oknum pegawai tidak berhak atas uang pensiun. Norma ini
sesuai dengan aturan hukum lain yang mengatur mengenai pemberhentian PNS,
semisal PP Nomor 32 Tahun 1979.
Pasal 9 Huruf
a PP Nomor 32 Tahun 1979 mengatur hal yang sama dengan Pasal 23 Ayat (5)
huruf c UU Nomor 43 Tahun 1999. Pegawai negeri sipil harus diberhentikan
secara tidak hormat karena melakukan kejahatan jabatan atau kejahatan yang
ada kaitannya dengan jabatan.
Artinya,
putusan Azirwan yang menyuap Al-Amin Nasution mestinya dibaca bahwa ia
melakukan kejahatan karena jabatannya. Karena itu, pengangkatannya saat itu
bertentangan dengan hukum sehingga secara hukum administrasi pengangkatan
tersebut juga bertentangan dengan hukum.
Selain
bertentangan dengan hukum, pengangkatan Azirwan rasa-rasanya menyakiti
PNS yang masih bersih. Mereka yang meniti karier melalui jalan lurus
pasti merasa tidak dihargai. Hal ini berarti dari sudut pandang kemanusiaan,
pemerintah menancapkan ketidakadilan secara nyata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar