Jumat, 26 Oktober 2012

Hari Kemenangan Manusia


Hari Kemenangan Manusia
Hasibullah Satrawi ; Peneliti pada Moderate Muslim Society (MMS) Jakarta,
Alumni Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir 
SINDO, 26 Oktober 2012



Hari Raya Kurban adalah hari kemenangan bagi manusia. Dalam peristiwa kurban agung, Nabi Ibrahim “tidak terjadi” mengurbankan anaknya. Ketidakterjadian ini bukan karena Nabi Ibrahim ataupun anaknya (Nabi Ismail) menghindar dari perintah ilahi, melainkan semata karena kehendak-Nya. 

Hingga yang dikurbankan bukan manusia, melainkan hewan sembelihan. Tuhan mengagungkan dan menghormati manusia sebagai makhluk-Nya yang paling dibanggakan, bahkan di hadapan jin dan para malaikat.Tuhan “tidak rela” makhluk terbaik–Nya dikorbankan untuk hal-hal apa pun, bahkan atas nama diri-Nya sekalipun. Inilah salah satu refleksi penting dari Hari Raya Kurban. 

Refleksi ini sangatlah urgen dalam situasi yang sarat dengan krisis kemanusiaan seperti sekarang. Di mana manusia acap menjadi korban kejahatan manusia lain, baik secara langsung maupun tidak secara langsung. Bahkan, tak jarang aksi kekerasan dilakukan oleh pihak-pihak tertentu atas nama agama. 

Kekerasan Bernuansa Agama 

Hingga hari ini kekerasan bernuansa agama masih menjadi salah satu persoalan utama di negeri ini. Baik aksi kekerasan yang bersifat antaragama maupun intraagama. Kekerasan bernuansa agama telah membuat manusia kehilangan derajat dan martabat, baik para korban maupun para pelaku aksi kekerasan. Disebut demikian karena para korban kerap diperlakukan secara tidak manusiawi; dipukul, dibunuh, rumahnya dibakar, bahkan juga rumah ibadahnya. 

Adapun para pelaku anarkis karena perbuatan mereka tidak mencerminkan akal budi yang dimilikinya, alih-alih nilai-nilai luhur agama. Hal yang tak kalah penting adalah kekerasan atas nama agama telah mengeringkan agama dari ajaran-ajaran luhur yang ada di dalamnya. Ibarat sebuah botol yang penuh dengan minuman segar di dalamnya, aksi kekerasan telah membuat botol itu kosong melompong. 

Tak heran bila botol itu kemudian menjadi rawan pecah dan bisa menggoreskan luka di sana-sini. Dalam hemat penulis, kehidupan umat bergama dalam beberapa waktu terakhir cenderung mengalami nasib seperti botol kosong dalam ibarat di atas. 

Keberagamaan menjadi suatu kerawanan yang akut bagi terjadinya konflik, aksi kekerasan, atau setidaknya segregasi sosial, sehingga masyarakat terpecah-pecah dalam bentuk kelompok-kelompok tertentu yang tidak jarang terlibat dalam baku-konflik tertentu pula. Padahal secara normatif, agama sangat menekankan pentingnya perdamaian. Begitu juga agama sangat menekankan urgensi persatuan dan gotong royong yang jauh dari semangat segregasi dan apatisme sosial. 

Aksi Terorisme 

Terorisme adalah puncak dari kekerasan atas nama agama, mengingat aksi berdarah ini kerap mengorbankan masyarakat umum secara brutal.Semua ini dilakukan dengan dalih keagamaan,seperti klaim memerangi orang kafir, mati syahid,jihad. Hingga sekarang, terorisme masih jauh dari kata selesai. 

Penangkapan sejumlah orang di beberapa tempat mutakhir (seperti Solo,Depok,dan Poso) menjadi salah bukti terkini terkait dengan ancaman terorisme yang terus membayangi kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan, kelompok teroris tampak semakin berani menantang aparat keamanan seperti terlihat dari surat atas nama Santoto alias Abu Musyab Az- Zaraqawi Al-Indunisi yang beredar luas di media beberapa waktu lalu. 

Ini merupakan sebuah ironi, mengingat perang melawan terorisme terus digalakkan oleh aparat keamanan. Bahkan, aparat keamanan telah berhasil meringkus, menangkap, dan membawa para pelaku teror di Indonesia ke meja pengadilan. Khususnya tokoh-tokoh utama mereka seperti Azhari, Noordin M Top,Dulmatin, Amrozi dkk,dan seterusnya. Alih-alih jaringan terorisme tampak mengalami perubahan yang sangat fundamental. Setidaknya dalam tiga hal utama. 

Pertama, perubahan secara struktural.Dalam beberapa waktu terakhir, jaringan terorisme cenderung mengecil dan terus mengecil (dari sisi keanggotaan di masing-masing sel). Di mana satu sel jaringan beranggotakan hanya puluhan orang. Hal ini sangat berbeda dengan postur jaringan terorisme pada tahun-tahun sebelumnya, khususnya saat para tokoh utama terorisme masih belum berhasil ditangkap dan dilumpuhkan oleh aparat keamanan. 

Bila sebelumnya jaringan terorisme tak ubahnya gedung tinggi menjulang yang bisa dilihat secara kasatmata, setelah meninggalnya tokoh- tokoh utamanya, terorisme justru berubah menjadi “bangunan-bangunan” kecil yang sulit untuk dideteksi,khususnya oleh masyarakat luas. Inilah tantangan terorisme mutakhir. Saat ini tak ada lagi organisasi terorisme yang dapat dirujuk sebagai sumber utama terorisme seperti halnya Al-Qaeda pada zaman Osama bin Laden. 

Saat ini tak ada lagi tokoh menonjol yang dapat disebut sebagai “bapak terorisme” seperti pada era Osama bin Laden, Noordin M Top,dan yang lainnya. Akibat dari perkembangan di atas, para teroris tak lagi membutuhkan restu dari organisasi atau tokoh yang diseganinya dalam menjalankan aksi teror. Justru para teroris bisa melakukan aksi terorisme secara sendiri-sendiri, kapan pun dan terhadap siapa pun. Inilah yang di kalangan para pengamat terorisme dikenal dengan istilah fase jihad fardiyah atau jihad individual (Sholahudin,2011). 

Kedua,perubahan dari segi target operasi.Dari segi target operasi, aksi terorisme mutakhir juga mengalami perubahan yang sangat mendasar. Telah dimaklumi bersama, pada waktu-waktu sebelumnya, simbol-simbol negara asing (khususnya negara - negara Barat) kerap menjadi sasaran aksi terorisme, seperti kedutaan asing, tempat berkumpulnya warga asing, dan seterusnya. 

Namun demikian, dalam beberapa waktu terakhir para teroris tampak mulai meninggalkan “pola lama” di atas. Mereka tampak pola baru yang menjadikan simbol-simbol kekuasaan negara sebagai target,mulai asetaset yang dimiliki oleh negara hingga aparat pemerintahan, khususnya aparat keamanan. Bahkan, masjid pun mulai dijadikan sebagai target serangan mereka seperti pernah dilakukan oleh Syarif dan kelompoknya di Cirebon beberapa waktu lalu. 

Ketiga,dari segi rekrutmen. Jaringan terorisme dalam beberapa waktu terakhir tampak mulai menjadikan para pemuda sebagai pembasisan utama. Hal ini terlihat jelas dari keterlibatan sejumlah anak muda dalam pelbagai macam aksi terorisme mutakhir. Di antara mereka baru berumur 11-an atau 20-an tahun. 

Di sinilah pentingnya refleksi Hari Raya Kurban sebagaimana di atas.Hari Raya Kurban datang setiap tahun menyapa kehidupan umat manusia untuk menegaskan bahwa aksi kekerasan apa pun tidak dapat dibenarkan. Bila ada aksi kekerasan yang bisa dibenarkan, niscaya Tuhan tidak akan mengganti anak Nabi Ibrahim yang hendak dikurbankan dengan hewan sembelihan,karena kurban ini dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan anaknya semata-mata demi agama dan Tuhan. 

Toh, pada akhirnya Tuhan tidak rela manusia dikurbankan atas nama diri-Nya. Sebaliknya, melalui peristiwa kurban Tuhan mengajarkan agar manusia senantiasa berlaku cinta kasih, terhadap lingkungan, terlebih lagi terhadap sesama manusia. Tuhan Mahakasih telah meneladankan pengamalan ajaran kasih dalam kehidupan ini. 

Hingga Tuhan tak pernah melarang matahari-Nya untuk menyinari mereka yang ingkar terhadap ajaran-Nya. Begitu juga Tuhan tidak menarik bumi-Nya yang dijadikan tempat tinggal, mencari rezeki, bahkan tempat melakukan keburukan terhadap-Nya. 

Atas nama cinta kasih, manusia harus dihormati sebagaimana Tuhan Mahakasih menghormatinya. Inilah semangat kurban yang disimbolisasi melalui daging yang melimpah ruah pada lebaran ini. Selamat merayakan Hari Raya Kurban 1433 H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar