Kamis, 25 Oktober 2012

Menegakkan Kebebasan Pers


Menegakkan Kebebasan Pers
Marwan Mas ; Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
SINDO, 25 Oktober 2012


Aksi pemukulan wartawan oleh seorang perwira menengah Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) saat sedang meliput jatuhnya pesawat jenis Hawk200 di Riau (16/9) kembali mencederai kebebasan pers.

Pasal 28F UUD 1945 secara tegas mengatur, setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang ada.Kemudian Pasal 4 ayat (3) UU No 40/1999 tentang Pers (UU Pers) menegaskan, untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari,memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

Itulah yang mendasari kebebasan (kemerdekaan) pers di negeri ini yang harus ditaati siapa pun.Ternyata kebebasan pers kembali ternoda dengan cara kekerasan terhadap wartawan yang sedang mencari berita. Berdasarkan catatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta,sepanjang 2003 hingga 2012 telah terjadi 467 kasus kekerasan terhadap wartawan. Untuk tahun 2012 hingga Mei 2012 terjadi 45 kasus kekerasan terhadap wartawan. Adapun pelaku kekerasan beragam, selain oknum anggota TNI, juga oknum anggota Polri, anggota DPRD, pegawai negeri sipil, mahasiswa, dan anggota ormas.

 Hak Publik

Apa pun bentuk kekerasan itu, tentu suatu pelanggaran terhadap hukum yang harus diproses. Masyarakat dan aparat negara perlu kembali diberi pemahaman tentang kerja wartawan. Aparat tidak perlu memperlihatkan sikap arogansi saat melarang wartawan untuk meliputi suatu peristiwa.Tak ada yang mesti ditutupi atas kecelakaan pesawat tempur itu.

Apalagi kecelakaan terjadi di ruang publik, bukan di kawasan khusus yang memang membutuhkan izin untuk masuk. Publik berhak mengetahui kenapa perwira- perwira penerbang kita selalu jadi korban, bukan di medan perang. Sejumlah kecelakaan pesawat TNI, baik itu pesawat latih maupun tempur yang diduga sudah uzur, sepantasnya diketahui publik sebagai bagian dari tanggung jawab pengelolaan aset negara yang dibeli dari uang rakyat.

Apalagi pers sering digaungkan sebagai pilar keempat dari demokrasi yang berfungsi menyampaikan informasi melalui pemberitaan. Cara-cara arogan yang terkesan melindungi kebobrokan sudah pasti mencoreng demokrasi yang tengah dibangun di negeri ini. Seperti terungkap di media, oknum TNI AU begitu leluasa menendang, mendorong, mencekik, sampai merampas perlengkapan wartawan yang digunakan meliput kecelakaan.

Sudah ketinggalan zaman menyelesaikan persoalan dengan cara arogan. Selain tidak bijaksana, juga melanggar UUD 1945 dan berbagai ketentuan UU.Di medan perang saja seorang wartawan yang sedang melaksanakan tugas jurnalistik dilindungi hukum, apalagi di wilayah damai.Seorang wartawan memiliki kewajiban untuk menginformasikan peristiwa sosial yang terjadi di ruang publik kepada pembacanya.

Media massa harus berani menyampaikan fakta secara objektif, bahkan melakukan investigasi untuk kebaikan bersama. Jika memang kecelakaan itu tidak boleh diketahui publik karena ada rahasia negara yang harus disterilkan, pendekatan dengan cara musyawarah dan manusiawi seharusnya dikedepankan. Bukan dengan cara-cara kasar, apalagi melakukan penganiayaan, sebab hidup dalam negara hukum berarti siapa pun, termasuk aparat keamanan, wajib bertindak berdasarkan hukum yang berlaku.

Maka itu, menjatuhkan sanksi yang setimpal terhadap oknum aparat yang telah melakukan tindakan arogan merupakan keniscayaan di tengah harapan publik bahwa aparat negara itu selalu dijadikan anutan rakyat.

Pers Penyeimbang

Peran pers dalam kehidupan bermasyarakat merupakan penyeimbang. Selalu terjadi tarik ulur kepentingan antara kekuatan pers dengan kekuasaan, termasuk pemilik modal, antara yang berkuasa dan yang dikuasai, antara bisnis dan idealisme, antara nurani dan pragmatisme.Tapi tidak berarti kebebasan bagi seorang wartawan mencari informasi untuk diketahui publik harus berada di bawah kendali untuk kepentingan tertentu.

Konsekuensi pembatasan kemerdekaan pers ditegaskan dalam Pasal 18 ayat (1) UU Pers bahwa setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah).

Pers wajib memberikan informasi terkini tentang hal-hal yang menjadi kepentingan bersama sehingga tak boleh dihalangi oleh siapa pun. Mendorong pertumbuhan demokrasi yang sedang berlangsung, membutuhkan kebebasan pers.Sebaliknya,para pekerja pers memiliki rasa tanggung jawab dalam menyampaikan informasi.

Makanya, tidak bijak membiarkan tindakan kekerasan terus terjadi terhadap pekerja pers dalam melaksanakan tugasnya. Peristiwa di Riau harus dijadikan pelajaran berharga, bukan hanya bagi TNI AU, tetapi semua komponen bangsa melalui paradigma bahwa itulah kasus terakhir dan tidak boleh terulang.Wartawan harus diberi perlindungan saat melaksanakan tugas jurnalistiknya.

TNI harus berani bersikap dan bertindak tegas terhadap oknum anggotanya yang mencederai reformasi yang sedang dibangun.Tindakan kekerasan yang dimungkinkan dalam arena perang tidak boleh diimplementasi di ruang sipil. Selama ini rakyat mendukung agar peralatan tempur TNI diperbarui dan ditingkatkan kelayakannya demi melindungi bangsa dan negara.

Wajar jika rakyat ingin tahu apa yang sesungguhnya terjadi dengan banyak pesawat TNI AU yang akhir-akhir ini mengalami kecelakaan. Bagi pers, ini juga sebagai bagian dari perjuangan. Jangan- jangan oknum TNI AU yang bertindak kasar itu belum paham fungsi dan tugas pers.

Perlu lebih mengintensifkan sosialisasi pentingnya kebebasan pers dari ketidakmengertian aparat negara.Tapi, yang pasti, menghambat kerja pers, apalagi melakukan kekerasan (menganiaya) wartawan saat bertugas,bukan pilihan di negeri ini. ●


Tidak ada komentar:

Posting Komentar