Kepekaan Sosial
Kaum Muda
Benny Susetyo ; Pemerhati Sosial
|
SINAR
HARAPAN, 29 Oktober 2012
SEMANGAT Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 adalah kemerdekaan dan
antipenjajahan. Artinya, dalam peringatan Sumpah Pemuda yang setiap tahun
digelar, apakah hal tersebut sudah menjiwai para pemuda Indonesia untuk
mengambil bagian dalam berpikir dan berbuat merdeka.
Jiwa Sumpah Pemuda adalah nasionalisme dan
kebersatuan untuk menolak imperialisme dan segala bentuknya.
Pemahaman bahwa imperialisme zaman dahulu
berbeda dengan masa sekarang sudah seharusnya menjiwai semangat peringatan
Sumpah Pemuda masa kini. Itu berarti makna Sumpah Pemuda masih bisa dipetik
sampai hari ini.
Kepekaan Sosial
Kontradiktif bila Sumpah Pemuda terus
diperingati setiap tahun tapi tidak melahirkan pemuda yang memiliki kepekaan
terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi bangsanya. Permasalahan bangsa
saat ini demikian kompleks.
Kita tidak lagi berperang untuk
membangkitkan kebersatuan melawan penjajah secara fisik, melainkan berperang
untuk menegakkan harga diri bangsa yang semakin hari hilang digerus oleh
keserakahan dalam bingkai individualisme.
Saat kemiskinan bukan menjadi masalah
bersama dan sering dipolitisasi oleh kekuasaan demi keuntungan sekelompok
orang, saat kebodohan dianggap sebagai fenomena biasa, saat itulah refleksi
kepemudaan tidak memiliki banyak arti, kecuali seremoni belaka.
Pemuda adalah tulang punggung. Mereka yang
akan meneruskan perjalanan bangsa ini. Pemuda adalah agen perubahan.
Hal ini penting ditekankan dalam kerangka
nasionalisme sebab hakikat Sumpah Pemuda adalah pernyataan sikap cinta Tanah
Air. “Satoe” dalam setiap butir sumpah itu merujuk pada kesadaran tentang
adanya kesatuan dalam perjuangan untuk memerdekakan bangsa dari
ketidakadilan.
Peran Masa Kini
Masih belum maksimalnya peran pemuda dalam
kepemimpinan di masa kini harus diakui. Secara positif hal tersebut harus
dimaknai dalam konteks refleksi para calon pemimpin politik bangsa ini.
Memahami konteks dan fakta politik kekinian, kita semua bisa merasakannya
dalam berbagai level kehidupan kita.
Kaum muda yang berperan demikian besar
dalam merombak struktur kekuasaan
negeri ini nyatanya tidak sedikit dari
mereka yang mengisi reformasi dengan semangat oportunistik, dan malah tak
sadar mengembangkan sikap kepolitikan yang dahulu dibenci.
Mereka “tidak gigih” menjaga aura reformasi
dengan idealisme untuk membangun habitus kebangsaan yang sehat dan
benar-benar bersih dari kolusi, korupsi, dan nepotisme. Ini karena tidak sedikit
pula dari mereka yang menjadi bagian dari hal itu dalam berbagai petualangan
politiknya.
Tentu saja ini harus direspons sebagai
autotokritik bagi kaum muda dalam dunia politik, pun dunia lainnya. Persoalan
kita saat ini adalah lemahnya cara pandang yang mampu menggempur pola pikir
yang seolah-olah kehidupan hanya akan berjalan bila ditopang dengan uang dan
kuasa.
Pola pikir ini sering membentuk watak
kekuasaan kita dalam wajah yang demikian bengis. Kehidupan rakyat sering
dirusak karena pola pikir yang individualistik, dan “mencari selamat
sendiri-sendiri”.
Kaum muda nyaris kehilangan kemampuan untuk
mendobrak semua ini karena setelah mereka masuk dalam lingkaran kekuasaan,
justru mereka hanyut.
Cara berpikir, bertindak, dan berelasi
dalam dunia politik nyaris stagnan karena tak ada perubahan. Mentalitas
reformis, kreatif, dan pengenalan budaya alternatif hanya ada dalam kata-kata
dan tak pernah menjelma menjadi tindakan nyata.
Dunia politik digadaikan untuk kepentingan
“sendiri-sendiri”, bukan untuk kepentingan rakyat semesta.
Uang menjadi mahakuasa dalam menentukan
berbagai hal yang menguntungkan para pemimpin dan pejabatnya, dan tak jarang
bahkan menjadi elemen perusak kehidupan rakyat melalui kebijakan-kebijakan
yang bersifat menindas.
Petualangan Politik
Politik kita lebih identik dengan
petualangan bagi pelakunya untuk merebut dan meraih keuntungan individual,
dan tidak menjadi bagian untuk memperbaiki kehidupan kolektif. Itu nyatanya.
Bila kita tidak jeli, fakta ini sering
menipu. Dalam dunia politik sering terlontar kata-kata “kesejahteraan
rakyat”, namun dalam fakta sesungguhnya intrik untuk keuntungan pribadi lebih
mudah dibaca daripada kepentingan rakyat.
Semakin bertambah waktu, fenomena ini
begitu mudah dimengerti bahkan oleh “rakyat bodoh” sekalipun. Antipati
terhadap perilaku politik bersemi di hati rakyat dan sering melahirkan
ketidakpercayaan secara massal terhadap berbagai tindakan penguasa, yang
positif sekalipun.
Kaum muda memiliki tugas demikian berat
dalam situasi sulit ini. Mereka diharapkan menjadi pelopor perubahan nyata.
Yang paling utama berkaitan dengan masalah
yang dipaparkan di muka adalah bagaimana menata kembali dunia politik kita
menjadi media untuk melayani kesejahteran bersama. Tekad itu sebenarnya sudah
pernah dikatakan oleh kaum muda dalam sebuah deklarasi untuk menawarkan jalan
baru bagi bangsa ini keluar dari kesempitan paradigmatik.
Cara pandang yang sempit dalam melihat
permasalahan kebangsaan ini akan membuat putusnya lingkaran kepedulian, sebab
yang ada dalam pikiran hanyalah problem individu dan identitas.
Saat “identitas” dijadikan bahasa politik,
ekonomi, agama, dan pendidikan, bangsa ini akan demikian mudah terpuruk ke
dalam sikap reaksioner terhadap perbedaan. Di sinilah dibutuhkan pemikiran
yang reflektif dan jujur, serta memiliki ketulusan untuk menata kembali
bangsa ini dari berbagai kebuntuan.
Sumpah Pemuda harus dimaknai sebagai
momentum bagi kaum muda ini untuk kembali bergerak, dan tampil ke depan
mendobrak semua kebuntuan ini.
Dibutuhkan sebuah regenerasi yang memiliki
visi yang jelas, terukur, bernalar, bertanggung jawab, menjunjung etika, dan
moralitas, serta yang utama adalah mengembangkan dunia politik sebagai media
untuk memperbaiki kehidupan semua.
Yang utama di sini kaum muda harus berani
mengadakan perubahan dari dirinya sendiri. Kesempatan memang harus diraih
dengan kualitas pribadi yang berintegritas tinggi, bukan semata-mata diminta.
Rasanya sejarah kepemudaan Soekarno, Hatta,
Tan Malaka, dan Syahrir harus dibaca kembali untuk menata kembali visi dan
misi kebangsaan dan kerakyatan, serta untuk mengarahkan bagaimana jiwa kaum
muda harus berperan positif membangun bangsa ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar