Idul Adha dan
Spirit Melayani
Zuhairi Misrawi ; Ketua Moderate
Muslim Society
|
SINAR
HARAPAN, 25 Oktober 2012
Pada 26 Oktober ini, umat Islam di seantero dunia memperingati
Hari Raya Kurban, yang dikenal akrab sebagai Idul Adha.
Di dunia Arab, Hari Raya Kurban dirayakan dengan penuh
gegap-gempita, melebihi Hari Raya Idul Fitri. Umat Islam pun menyambutnya
dengan haru-biru. Kenapa demikian?
Hari Raya Kurban dirayakan bersamaan dengan ibadah haji, rukun
Islam yang kelima. Puncaknya, peringatan hari raya ini ditandai dengan
penyembelihan unta, domba, kambing, dan sapi, yang dagingnya dibagikan kepada
kalangan fakir miskin. Setiap muslim yang mampu diwajibkan mengeluarkan
sebagian hartanya untuk berbagi rezeki kepada orang lain yang tidak mampu.
Setelah melaksanakan salat Idul Adha, umat Islam secara
bersamaan melaksanakan aktivitas kurban. Peristiwa ini membuktikan sebuah
pemandangan yang nyata perihal hakikat Islam sebagai agama yang tidak hanya
semata-mata menekankan tentang ritualitas (‘ibadah mahdlah), melainkan juga
menitikberatkan pentingnya ranah relasi sosial (mu’amalah).
Perayaan kurban bukan hanya dalam rangka menyerahkan diri kepada
Tuhan, tetapi juga yang jauh lebih penting dari itu, yaitu membumikan
nilai-nilai ketuhanan dalam kehidupan senyata-nyata.
Karena itu, dalam sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan Abu
Hurairah: “Siapa yang memiliki kelapangan rezeki tapi ia tidak berkurban maka
janganlah mendekati musala kami” (HR Iman Ahmad dan Ibnu Majah). Di dalam
Alquran, Allah SWT berfirman: “hendaklah kamu melaksanakan salat dan
sembelihlah hewan kurban” (QS Al-Kautsar: 2).
Karena itu, setiap muslim sejatinya tidak hanya menjadikan agama
sebagai peristiwa ritual belaka, melainkan juga sebagai perhelatan yang
bernuansa sosial sehingga mampu menumbuhkan kepedulian sosial. Menurut Peter
L Berger, setiap agama harus melahirkan voluntarisme, yaitu kesukarelaan
untuk melayani sesama manusia.
Agama tidak pada tempatnya jika hanya menumbuhkan sikap fanatis
dan fundamentalistis, karena setiap agama pada hakikatnya merupakan instrumen
untuk memupuk kesadaran pentingnya saling berbagi di antara sesama makhluk
manusia.
Bahkan, sebuah fakta yang sangat kontradiktif dipertontonkan.
Ketika festival keagamaan makin marak dan hiruk-pikuk di berbagai tempat,
korupsi dan intoleransi juga makin masif. Realitasnya dapat disimpulkan,
tidak ada relasi antara perayaan keagamaan yang mengharu-biru dengan perilaku
sosial-politik kewargaan.
Saban hari kita disajikan dengan informasi yang menohok hati
nurani, betapa korupsi tidak kunjung sirna dalam praktik politik para elite.
Alih-alih ingin memberantas korupsi, justru rezim yang berkuasa cenderung
ingin menutup-nutupi kasus korupsi yang menimpa mereka. Kasus Wisma Atlet,
Hambalang, dan simulator SIM merupakan betapa korupsi sudah menjadi masalah
serius. Korupsi dimulai oleh pemangku kekuasaan dengan total penyimpangan
anggaran yang sangat fantastik.
Pada saat yang sama, khutbah keagamaan terlihat abai terhadap
fenomena tersebut. Kita jarang sekali mendengarkan ceramah-ceramah keagamaan
yang secara lantang mengkritik maraknya korupsi.
Secara implisit terlihat adanya sikap permisif dari kalangan
agamawan terhadap budaya korupsi yang sudah menggerogoti nilai-nilai luhur
dalam berbangsa dan bernegara.
Semua itu terjadi, karena ritual dan perayaan keagamaan
kehilangan nilai profetik dan makna transformatifnya. Belum lagi
ketidakmampun dalam melakukan kontekstualisasi nilai-nilai keagamaan dalam
ranah sosial-politik sudah menjadi pemandangan yang lumrah. Akibatnya,
peristiwa keagamaan ibarat buih yang ditelan ombak dari masa ke masa.
Identitas Soliter
Berbanding lurus dengan maraknya budaya korupsi, kekerasan atas
nama agama juga menjadi fenomena yang makin meresahkan setiap warga negara.
Kehidupan berbangsa yang dibangun di atas kesadaran tentang
pentingnya persaudaraan dan solidaritas justru dikoyak dengan tumbuhnya
identitas soliter, yaitu pemahaman sebagai umat yang menganggap hanya
pandangannya sendiri yang benar, sementara pandangan orang lain salah.
Ironisnya, sikap tersebut disertai dengan sakralisasi kekerasan
atas nama agama. Mereka melakukan penyerangan, bahkan pembunuhan terhadap
pihak yang dianggap “sesat” atau “menyimpang”. Kisah pembakaran tempat
tinggal dan pembunuhan warga penganut Syiah di Sampang, Madura, seakan
mengukuhkan betapa sebagian umat menggunakan agama sebagai instrumen
sakralisasi kekerasan.
Atas nama agama mereka telah melakukan kekerasan, yang
sebenarnya tidak dibenarkan oleh agama, khususnya Islam. Sebagai agama yang
menjunjung tinggi toleransi dan kasih sayang terhadap seluruh umat manusia di
alam raya ini, sama sekali tidak dibenarkan adanya kekerasan yang
mengatasnamakan Islam.
Di sinilah momentum Idul Adha menjadi relevan dan signifikan.
Perayaan kurban harus menjadi alarm dan early warning yang dapat mengingatkan
umat agar menjadikan agama sebagai sumber inspirasi untuk menegakkan
nilai-nilai solidaritas dan persaudaraan. Inti dari agama pada hakikatnya
adalah “melayani orang lain”, bukan “merugikan orang lain” atau “mencederai
orang lain”.
Prinsip “melayani orang lain” sejatinya tidak hanya menjadi
khutbah belaka, melainkan harus diterjemahkan dalam kehidupan nyata.
Seperti disebutkan dalam hadis Nabi di atas, “barang siapa tidak
melaksanakan kurban, hendaknya jangan mendekati musala kami”, dapat menjadi
peringatan penting agar setiap umat menumbuhkan kepedulian kepada orang lain
dengan cara mengulurkan tangan bagi mereka yang tidak mampu. Perintah salat
Idul Adha sejalan lurus dengan perintah menyembelih hewan kurban.
Dengan demikian, peringatan Idul Adha 1433 H sejatinya dapat
memberikan nilai tambah bagi kehidupan berbangsa, bernegara, dan
bermasyarakat, khususnya dalam rangka menyambungkan antara nilai-nilai
keislaman yang adiluhung dengan realitas sosial-politik.
Kita berharap agar perayaan keagamaan tidak hanya dijadikan
seremonial belaka, melainkan sebagai momentum untuk memecahkan persoalan yang
mahapelik, seperti korupsi dan kekerasan atas nama agama.
Kuncinya adalah memaknai kekuasaan sebagai jalan untuk melayani
warga negara, bukan untuk menumpuk harta dan menyengsarakan orang lain.
Spirit melayani harus menjadi prinsip yang menghujam kuat di dalam setiap
sanubari para elite politik sekaligus elite agama kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar