Minggu, 28 Oktober 2012

Kurban dan Spirit Melayani


Kurban dan Spirit Melayani
Launa ;  Dosen FISIP Universitas Satya Negara Indonesia
SINAR HARAPAN, 27 Oktober 2012
  

PERAYAAN Idul Kurban, yang setiap tahunnya diperingati oleh kaum muslim di dunia, adalah sebuah jalan (shirath) yang ditunjukkan Tuhan ketika manusia tak lagi dapat melakoni kehidupannya secara benar.

Secara teologis, para nabi diutus Tuhan ke muka bumi untuk meluruskan iman (akhlak-moral-spiritual) manusia yang telah menyimpang. Sementara secara sosiologis, para nabi diturunkan untuk me-reform tatanan sosial yang timpang akibat beragam bentuk diskrimisasi dan proses dehumanisasi.

Peringatan kurban adalah sebuah "teguran langit", bahwa dalam konteks kehidupan manusia di bumi masih teramat banyak soal hidup yang perlu diluruskan. Nabi Ibrahim adalah contoh historis dan reflektif kisah perjalanan seorang nabi yang meretas jalan kebenaran.

Dalam perspektif nalar teologis, kisah Ibrahim adalah pesan profetis-asketis agama guna meneguhan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, dan toleransi. Drama kurban adalah pesan kontekstual kemanusiaan Islam agar kehidupan di bumi bisa menjadi berkah bagi sekalian alam (rahmatan lil’ alamin).

Dalam bahasa Kirkegard, kurban adalah sebuah “lompatan keimanan”, refleksi total atas fundamen nilai-nilai kemanusiaan agar ia tetap dekat dengan nilai-nilai ketuhanan (qurbah).

Dengan semangat kemanusiaan yang utuh, Ibrahim melakoni kebenaran yang diyakininya sebagai sebuah konsekuensi keimanan guna membangun kehidupan manusia yang beralas kasih dan bernapas persaudaraan; untuk menuai kemakmuran dan kemaslahatan bersama (baldatun thayyibatun warabbun ghafur).

Ketika Ibrahim memilih ”lompatan keimanan”, ia demikian istiqomah dalam menjalani seluruh ritme kehidupannya sebagai bukti sikap keimanannya itu. Ketika Allah memintanya mengorbankan Ismail, Ibrahim dengan ikhlas melakukannya (Al-Shaffat, 100-101).

Perintah Allah ini merupakan ujian berat bagi Ibrahim. Baginya, Ismail bukan sekadar seorang putra idaman hati, tetapi juga pelipur lara di tengah perjuangan kenabiannya yang berat melawan penindasan Namrud untuk menegakkan agama tauhid.
Kurban (dalam bahasa Arab qurbah) bermakna ajakan kepada setiap muslim untuk selalu mendekatkan diri kepada Sang Pemilik Sekalian Alam.

Ditinjau dari sudut ruhaniyah, kurban bermakna keteguhan iman (wujud kepasrahan Nabi Ibrahim AS kepada Sang Pencipta). Sementara dalam konteks nalar sosial, kurban bermakna pemuliaan atas perjuangan Ibrahim AS dalam menegakkan teks kemanusiaan dan peneguhan nilai-nilai keadilan (sosial).

Kurban mengajak setiap manusia yang berakal untuk menangkap pesan transenden agama, yakni bersimpati dan berempati pada mereka yang miskin, papa, dan terpinggirkan. Inilah visi kurban dan misi utama Islam sebagai ajaran yang memberi rahmat bagi sekalian alam (rahmatan lil’ alamin).

Drama kurban adalah sebuah penegasan historis perjalanan kebajikan perjuangan monoteistik dan humanistis yang telah ditorehkan Ibrahim AS. Ia adalah refleksi sekaligus reflikasi keteladanan Ibrahim AS yang sukses mentransformasi pesan ruhaniyah kurban sebagai amalan spiritual sekaligus kerja kemanusiaan yang membebaskan dan mencerahkan.

Sebagai sebuah “lompatan keimanan”, kurban bertujuan menautkan pesan spiritual agama (hablu’minallah) yang meraga dalam nilai-nilai kemanusiaan (hablu’minanas). Dengan spirit teologis yang utuh, Ibrahim AS berhasil menjahit kain kemanusiaan yang terkoyak untuk meretas peradaban manusia yang beralas kasih, bersendi toleransi, dan bernapas kemaslahatan.

Humanisme Islam

Bagi Ali Syari’ati, ritual kurban tak sekadar pesan ruhaniyah agama agar manusia mendekatkan diri pada Tuhannya, namun juga kepada sesamanya. Sementara bagi Jalaluddin Rakhmat, ibadah kurban dengan tegas mencerminkan komitmen humanisme Islam: mendekatkan diri kepada saudara-saudara kita yang miskin dan menderita.

Ketika Ibrahim AS memilih lompatan keimanan, rasul peletak dasar agama samawi dan bapak para nabi itu, menjalani seluruh tugas kenabiannya dengan sabar dan tawakal (istiqomah); di tengah beban perjuangannya yang berat melawan penindasan dan pencideraan nilai-nilai kemanusiaan yang dilakukan Raja Namrud.

Inilah jihad akbar yang ditorehkan Ibrahim, jihad melawan egoisme diri dan absolutisan kuasa. Ketika egoisme menguasai diri manusia, saat itulah manusia melupakan Tuhannya dan kerap menistakan sesamanya. Sikap egois dan tamak yang acap muncul dalam perilaku manusia terbukti telah melahirkan panggung kehidupan yang penuh konflik dan perpecahan.

Dengan berkurban, kita mendekatkan diri kepada mereka yang fakir. Bila Anda memiliki kelimpahan rezeki, maka Anda wajib berbagi dengan orang lain. Bila Anda berpuasa, maka Anda akan merasa lapar seperti mereka yang miskin.
Ibadah kurban dan puasa mengajak mereka yang mustada’afiin untuk merasakan senang dan kenyang seperti Anda.

Atas dasar spirit teosentrik itu, ritual kurban mengandung pesan spiritual sekaligus amalan sosial. Pertama, makna ketakwaan manusia atas perintah Sang Khalik. Kurban adalah simbol penyerahan diri manusia secara utuh kepada Sang Pencipta.
Kedua, makna bahwa apa yang dikurbankan merupakan simbol dari “penyembelihan” sifat intrisik manusia yang berwatak homo homini lupus: tamak, serakah, rakus, ambisius, jumawa, suka menindas, gemar melanggar hukum dan menabrak norma-norma sosial.

Ketiga, makna sosial, di mana Rasulullah melarang kaum mukmin mendekati orang-orang yang memiliki kelebihan rezeki namun kikir dalam menunaikan perintah kurban.
Keempat, makna solidaritas universal, yang tak lagi memberi ruang pada sikap dan perilaku hidup diskriminatif. Di dalam nilai solidaritas universal itu, terkandung komitmen pembebasan manusia dari segala bentuk penindasan manusia lainnya atas nama kepentingan apa pun.

Kelima, makna bahwa Idul Kurban juga harus diletakkan dalam dimensi antroposentris, yakni membumikan sikap adil, toleran, dan saling mengasihi antarmanusia sebagai pesan profetik agama; sekaligus jalan (shirath) menuju kesalehan sosial dan kesempurnaan iman.

Keenam, makna bahwa kemanusiaan, keadilan, dan toleransi adalah pilar utama yang menjadi fundamental dalam kehidupan keberagamaan kita. Ketiga nilai itu sesungguhnya adalah inti dari ajaran setiap agama, namun kurang dihayati dan sulit dibumikan dalam ruang kehidupan nyata.

Islam menganjurkan agar kita mengikuti agama Ibrahim yang lurus (hanif), tidak menyimpang (hanifan), dan toleran (samaahah). Pesan kurban adalah refleksi nyata atas persoalan krusial yang dihadapi umat, sekaligus metode ampuh untuk mengatasi problem aktual kehidupan, seperti kesejahteraan yang kian meredup, keadilan (sosial) yang acap menguap, demokrasi yang makin sumir, hingga kondisi lingkungan yang terus memburuk.

Paradoksnya, di banyak tempat, kita menyaksikan begitu banyak umat yang saleh secara ritual, rajin berkurban, gemar berhaji, dan khusyuk dalam berdoa, namun kerap tak peduli pada tampilnya kemunkaran. Kierkegard menyebut fenomena ini sebagai formlessness; kondisi di mana agama hadir sebagai ajaran mulia, tapi lumpuh di jagad kehidupan nyata.

Perilaku manusia yang kian materilasitik dan eksploitatif faktual kian menyuburkan sikap tamak dan serakah serta perilaku picik dan jumud. Modernitas telah memaksa manusia dengan rakus telah mengeksploitasi alam tanpa batas.

Mengutip Farish Noor, hakikat ajaran agama sesungguhnya terletak pada sejauh mana nilai yang dikandungnya menjunjung tinggi kemanusiaan, keadilan, dan toleransi. Inilah amanat tekstual Islam sekaligus relevansi kontekstual Kurban sebagai ajaran kemanusiaan yang utuh; jalan menuju keselamatan dan kemuliaan hidup.

Rohaniwan Rabindranath Tagore pernah berkata, Tuhanmu ada di jalan di mana manusia mencintai kemanusiaannya dan memuliakan sesamanya, bukan di kuil yang penuh asap dupa dan gumaman doa para pengiring yang sibuk menghitung lingkaran tasbih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar