Kurban dan
Spirit Melayani
Launa ; Dosen FISIP Universitas Satya Negara
Indonesia
|
SINAR
HARAPAN, 27 Oktober 2012
PERAYAAN Idul Kurban, yang setiap tahunnya diperingati oleh kaum
muslim di dunia, adalah sebuah jalan (shirath) yang ditunjukkan Tuhan ketika
manusia tak lagi dapat melakoni kehidupannya secara benar.
Secara teologis, para nabi diutus Tuhan ke
muka bumi untuk meluruskan iman (akhlak-moral-spiritual) manusia yang telah
menyimpang. Sementara secara sosiologis, para nabi diturunkan untuk me-reform
tatanan sosial yang timpang akibat beragam bentuk diskrimisasi dan proses
dehumanisasi.
Peringatan kurban adalah sebuah
"teguran langit", bahwa dalam konteks kehidupan manusia di bumi
masih teramat banyak soal hidup yang perlu diluruskan. Nabi Ibrahim adalah
contoh historis dan reflektif kisah perjalanan seorang nabi yang meretas
jalan kebenaran.
Dalam perspektif nalar teologis, kisah
Ibrahim adalah pesan profetis-asketis agama guna meneguhan nilai-nilai
kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, dan toleransi. Drama kurban adalah pesan
kontekstual kemanusiaan Islam agar kehidupan di bumi bisa menjadi berkah bagi
sekalian alam (rahmatan lil’ alamin).
Dalam bahasa Kirkegard, kurban adalah
sebuah “lompatan keimanan”, refleksi total atas fundamen nilai-nilai
kemanusiaan agar ia tetap dekat dengan nilai-nilai ketuhanan (qurbah).
Dengan semangat kemanusiaan yang utuh,
Ibrahim melakoni kebenaran yang diyakininya sebagai sebuah konsekuensi
keimanan guna membangun kehidupan manusia yang beralas kasih dan bernapas
persaudaraan; untuk menuai kemakmuran dan kemaslahatan bersama (baldatun
thayyibatun warabbun ghafur).
Ketika Ibrahim memilih ”lompatan keimanan”,
ia demikian istiqomah dalam menjalani seluruh ritme kehidupannya sebagai
bukti sikap keimanannya itu. Ketika Allah memintanya mengorbankan Ismail,
Ibrahim dengan ikhlas melakukannya (Al-Shaffat, 100-101).
Perintah Allah ini merupakan ujian berat
bagi Ibrahim. Baginya, Ismail bukan sekadar seorang putra idaman hati, tetapi
juga pelipur lara di tengah perjuangan kenabiannya yang berat melawan
penindasan Namrud untuk menegakkan agama tauhid.
Kurban (dalam bahasa Arab qurbah) bermakna
ajakan kepada setiap muslim untuk selalu mendekatkan diri kepada Sang Pemilik
Sekalian Alam.
Ditinjau dari sudut ruhaniyah, kurban
bermakna keteguhan iman (wujud kepasrahan Nabi Ibrahim AS kepada Sang Pencipta).
Sementara dalam konteks nalar sosial, kurban bermakna pemuliaan atas
perjuangan Ibrahim AS dalam menegakkan teks kemanusiaan dan peneguhan
nilai-nilai keadilan (sosial).
Kurban mengajak setiap manusia yang berakal
untuk menangkap pesan transenden agama, yakni bersimpati dan berempati pada
mereka yang miskin, papa, dan terpinggirkan. Inilah visi kurban dan misi
utama Islam sebagai ajaran yang memberi rahmat bagi sekalian alam (rahmatan
lil’ alamin).
Drama kurban adalah sebuah penegasan
historis perjalanan kebajikan perjuangan monoteistik dan humanistis yang
telah ditorehkan Ibrahim AS. Ia adalah refleksi sekaligus reflikasi
keteladanan Ibrahim AS yang sukses mentransformasi pesan ruhaniyah kurban
sebagai amalan spiritual sekaligus kerja kemanusiaan yang membebaskan dan
mencerahkan.
Sebagai sebuah “lompatan keimanan”, kurban
bertujuan menautkan pesan spiritual agama (hablu’minallah) yang meraga dalam
nilai-nilai kemanusiaan (hablu’minanas). Dengan spirit teologis yang utuh,
Ibrahim AS berhasil menjahit kain kemanusiaan yang terkoyak untuk meretas
peradaban manusia yang beralas kasih, bersendi toleransi, dan bernapas
kemaslahatan.
Humanisme Islam
Bagi Ali Syari’ati, ritual kurban tak
sekadar pesan ruhaniyah agama agar manusia mendekatkan diri pada Tuhannya,
namun juga kepada sesamanya. Sementara bagi Jalaluddin Rakhmat, ibadah kurban
dengan tegas mencerminkan komitmen humanisme Islam: mendekatkan diri kepada
saudara-saudara kita yang miskin dan menderita.
Ketika Ibrahim AS memilih lompatan
keimanan, rasul peletak dasar agama samawi dan bapak para nabi itu, menjalani
seluruh tugas kenabiannya dengan sabar dan tawakal (istiqomah); di tengah
beban perjuangannya yang berat melawan penindasan dan pencideraan nilai-nilai
kemanusiaan yang dilakukan Raja Namrud.
Inilah jihad akbar yang ditorehkan Ibrahim,
jihad melawan egoisme diri dan absolutisan kuasa. Ketika egoisme menguasai
diri manusia, saat itulah manusia melupakan Tuhannya dan kerap menistakan
sesamanya. Sikap egois dan tamak yang acap muncul dalam perilaku manusia
terbukti telah melahirkan panggung kehidupan yang penuh konflik dan
perpecahan.
Dengan berkurban, kita mendekatkan diri
kepada mereka yang fakir. Bila Anda memiliki kelimpahan rezeki, maka Anda
wajib berbagi dengan orang lain. Bila Anda berpuasa, maka Anda akan merasa
lapar seperti mereka yang miskin.
Ibadah kurban dan puasa mengajak mereka
yang mustada’afiin untuk merasakan senang dan kenyang seperti Anda.
Atas dasar spirit teosentrik itu, ritual
kurban mengandung pesan spiritual sekaligus amalan sosial. Pertama, makna
ketakwaan manusia atas perintah Sang Khalik. Kurban adalah simbol penyerahan
diri manusia secara utuh kepada Sang Pencipta.
Kedua, makna bahwa apa yang dikurbankan
merupakan simbol dari “penyembelihan” sifat intrisik manusia yang berwatak
homo homini lupus: tamak, serakah, rakus, ambisius, jumawa, suka menindas,
gemar melanggar hukum dan menabrak norma-norma sosial.
Ketiga, makna sosial, di mana Rasulullah
melarang kaum mukmin mendekati orang-orang yang memiliki kelebihan rezeki
namun kikir dalam menunaikan perintah kurban.
Keempat, makna solidaritas universal, yang
tak lagi memberi ruang pada sikap dan perilaku hidup diskriminatif. Di dalam
nilai solidaritas universal itu, terkandung komitmen pembebasan manusia dari
segala bentuk penindasan manusia lainnya atas nama kepentingan apa pun.
Kelima, makna bahwa Idul Kurban juga harus
diletakkan dalam dimensi antroposentris, yakni membumikan sikap adil,
toleran, dan saling mengasihi antarmanusia sebagai pesan profetik agama;
sekaligus jalan (shirath) menuju kesalehan sosial dan kesempurnaan iman.
Keenam, makna bahwa kemanusiaan, keadilan,
dan toleransi adalah pilar utama yang menjadi fundamental dalam kehidupan
keberagamaan kita. Ketiga nilai itu sesungguhnya adalah inti dari ajaran
setiap agama, namun kurang dihayati dan sulit dibumikan dalam ruang kehidupan
nyata.
Islam menganjurkan agar kita mengikuti
agama Ibrahim yang lurus (hanif), tidak menyimpang (hanifan), dan toleran
(samaahah). Pesan kurban adalah refleksi nyata atas persoalan krusial yang
dihadapi umat, sekaligus metode ampuh untuk mengatasi problem aktual
kehidupan, seperti kesejahteraan yang kian meredup, keadilan (sosial) yang
acap menguap, demokrasi yang makin sumir, hingga kondisi lingkungan yang
terus memburuk.
Paradoksnya, di banyak tempat, kita
menyaksikan begitu banyak umat yang saleh secara ritual, rajin berkurban,
gemar berhaji, dan khusyuk dalam berdoa, namun kerap tak peduli pada
tampilnya kemunkaran. Kierkegard menyebut fenomena ini sebagai formlessness;
kondisi di mana agama hadir sebagai ajaran mulia, tapi lumpuh di jagad
kehidupan nyata.
Perilaku manusia yang kian materilasitik
dan eksploitatif faktual kian menyuburkan sikap tamak dan serakah serta
perilaku picik dan jumud. Modernitas telah memaksa manusia dengan rakus telah
mengeksploitasi alam tanpa batas.
Mengutip Farish Noor, hakikat ajaran agama
sesungguhnya terletak pada sejauh mana nilai yang dikandungnya menjunjung
tinggi kemanusiaan, keadilan, dan toleransi. Inilah amanat tekstual Islam
sekaligus relevansi kontekstual Kurban sebagai ajaran kemanusiaan yang utuh;
jalan menuju keselamatan dan kemuliaan hidup.
Rohaniwan Rabindranath Tagore pernah
berkata, Tuhanmu ada di jalan di mana manusia mencintai kemanusiaannya dan
memuliakan sesamanya, bukan di kuil yang penuh asap dupa dan gumaman doa para
pengiring yang sibuk menghitung lingkaran tasbih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar