TNI yang
Intelek, Profesional, dan Dedikatif
Launa ; Dosen FISIP Universitas Satya Negara
Indonesia
|
SINAR
HARAPAN, 05 Oktober 2012
Reformasi yang bermakna transformasi sistemik
(baik struktural maupun kultural) telah mengubah wajah negara yang otoriter
menjadi (lebih) demokratis. Seluruh komponen bangsa, tak terkecuali Tentara
Nasional Indonesia (TNI), harus berada dalam “spirit” perubahan tersebut.
Sepanjang 14 tahun reformasi (1998-2012), TNI
telah melakukan berbagai perubahan (paradigma) dan penyesuaian internal.
Secara internal TNI telah melakukan berbagai
penataan untuk merespons tantangan dan tuntutan terkait peran dan fungsi
pokoknya di era demokratisasi. Respons TNI atas tuntutan reformasi antara lain
dilakukan dengan memosisikan diri sebagaimana alat negara di bidang pertahanan
dan keamanan yang tunduk pada otoritas (supremasi) sipil.
Salah satu target dari agenda reformasi TNI
adalah menjauhkan institusi ini dari berbagai praktik penyimpangan yang terjadi
pada masa lampau, sekaligus memastikan terbangunnya watak profesionalisme TNI,
yakni TNI yang netral, terlatih, terdidik, nonpolitis, tidak berbisnis, serta
patuh pada kebijakan politik negara serta menjunjung tinggi demokrasi,
supremasi sipil, dan hak asasi manusia (HAM).
Namun, implementasi atas perubahan peran dan
fungsi TNI tersebut, masih menghadapi berbagai kendala, di antaranya
terhambatnya pengembangan sumber daya yang intelek, postur pertahanan ideal,
penghapusan keterlibatan TNI dalam fungsi nonpertahanan, penghapusan secara
penuh fungsi komando teritorial, penuntasan restrukturisasi bisnis TNI, dan
doktrin dwifungsi ABRI yang belum sepenuhnya terhapus dari kultur TNI.
Reformasi TNI menuntut konsistensi seluruh
prajurit untuk senantiasa siap dan sigap melakukan introspeksi, antisipasi, dan
adaptasi terhadap berbagai tantangan taktis dan strategis ke depan. Untuk
membuat para prajurit siap melakukan tugas tersebut, tak ada pilihan lain, TNI
harus lebih banyak memberikan perhatian bagi pembentukan prajurit yang
”berintegritas dan berkualitas” di semua lini dan tingkat manajemen satuan TNI.
Mengutip Sjafrie Sjamsoeddin (2010), setidaknya
terdapat tiga pendekatan yang bisa dikembangkan TNI untuk memantapkan kualitas
prajurit. Pertama, meraih peluang pendidikan dan latihan yang dipersyaratkan
oleh institusi, dengan mengikuti berbagai jenis pendidikan dan pelatihan serta
menyerap esensi ilmu dari program yang diikuti.
Kedua, menjalani berbagai ragam tugas jabatan
dengan kesiapan mental menghadapi dinamika pasang surut penugasan. Prajurit TNI
jangan membiasakan ”memilih” tugas jabatan karena setiap pekerjaan punya nilai
tersendiri. Suatu saat pengalaman ini bisa bermanfaat untuk menjalani tugas
berikutnya.
Ketiga, prajurit TNI harus terus
mengembangkan diri dengan menambah ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu
lain. Tambahan ilmu dibutuhkan untuk menopang keunggulan yang sudah dimiliki
prajurit TNI.
Profesional dan Dedikatif
Mewujudkan TNI yang profesional dan dedikatif
jelas tak bisa dipisahkan dari pasang surut hubungan sipil-militer era
reformasi. Di era kepemimpinan BJ Habibie (1998-1999), Megawati Soekarnoputri
(2001-2004), dan Susilo Bambang Yudhoyono (2004-sekarang), relasi sipil-militer
relatif harmonis dan berjalan efektif. Namun, di era Presiden Abdurrahman Wahid
(1999-2001), hubungan sipil-militer sempat berada pada titik paling nadir.
TNI tak mungkin lagi berperan sebagai
kekuatan dominan dalam turbulensi politik Indonesia. Reformasi telah mendorong
hadirnya paradigma baru hubungan sipil-militer yang lebih senapas dengan
tuntutan demokratisasi.
Mengutip Samuel Huntington (1964), militer
profesional harus dicirikan oleh keahlian profesi, semangat korps yang positif,
tak terlibat dalam politik praktis, dan mengakui supremasi sipil. Itulah wajah
militer yang tumbuh di negara demokrasi.
Beberapa capaian penting dalam reformasi TNI
di antaranya jaminan netralitas TNI dalam urusan politik praktis, komitmen
politik TNI untuk tidak berafiliasi dengan parpol tertentu, persyaratan
mengundurkan diri bagi prajurit TNI yang akan terjun ke dunia politik, dan
kerelaan TNI untuk menyerahkan unit-unit bisnis militer kepada pemerintah.
Reformasi TNI sesungguhnya ingin menegaskan
kembali jati diri TNI bahwa tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan
negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI, serta melindungi rakyat, bangsa,
dan seluruh tumpah darah Indonesia dari beragam ancaman dan gangguan, baik
potensial maupun aktual. Dari fungsi tersebut dapat dilihat bahwa “watak
politik” TNI adalah politik negara, bukan politik partisan.
Surutnya peran politik TNI tak
berarti pudarnya daya tawar institusi itu dalam turbulensi politik nasional.
Secara formal, TNI memang tak lagi terlibat dalam urusan politik praktis.
Namun, secara faktual, peran dan pengaruh TNI tetap diperlukan dalam menopang
kebijakan pemerintah sipil di sektor pertahanan dan keamanan (hankam).
Kalau kita urai benang masalah, masih banyak
kendala (internal maupun eksternal) yang kerap dihadapi TNI untuk mewujudkan
dirinya sebagai tentara profesional.
Pertama, TNI belum mampu sepenuhnya
melepaskan diri dari karakter tentara politik, karena di banyak negara,
kelahiran dan eksistensi militer terkait erat dengan sejarah evolusi bangsa,
yakni hak sejarah dan prinsip kompetensi.
Prinsip hak sejarah dilatari keyakinan bahwa
militer telah berkorban dan berperan besar dalam pembentukan bangsa dan
mempertahankan keutuhan negara. Sementara itu, prinsip kompetensi dilandasi
keyakinan bahwa militer merupakan institusi terbaik yang dimiliki negara untuk
mewujudkan kepentingan nasional.
Kedua, belum lengkapnya regulasi politik yang
mengatur posisi TNI dan institusi sektor keamanan lainnya dalam konfigurasi
politik nasional. UU TNI dan UU Pertahanan Negara, ke depan masih perlu
disempurnakan.
Regulasi politik yang lebih lengkap
diharapkan dapat memperkuat implementasi prinsip-prinsip transparansi dan
akuntabilitas di seluruh sektor penyelenggara kebijakan Hankamnas yang vital
dan strategis.
Ketiga, transformasi struktural TNI belum
dipandang sebagai reformasi sektor keamanan negara secara menyeluruh.
Reformasi TNI, tentu tak sekadar bertujuan
menata ulang hubungan sipil-militer. Dalam jangka panjang, harus efektif dalam
menciptakan transparansi, akuntabilitas, kinerja dan kontrol demokratis,
berlangsungnya good governance dalam
sistem pertahanan, serta memperkuat otoritas pemerintahan sipil.
Keempat, masih terfragmentasinya sikap dan komitmen
politikus sipil dalam mendukung reformasi TNI (kerap terjebak untuk menarik
kembali TNI masuk ke dalam ranah politik).
Seperti terungkap dalam wacana penggunaan hak
pilih TNI serta mendorong kebijakan politik, menyiapkan regulasi, dan dukungan
anggaran operasional yang memadai di sektor hankam, guna mewujudkan TNI yang
profesional, tangguh, modern, dan dedikatif.
Kelima, dukungan sarana pendidikan,
pelatihan, dan pengembangan SDM TNI, termasuk dukungan pengembangan industri
strategis pendukung pertahanan nasional.
Keenam, peningkatan kesejahteraan prajurit
TNI. Sulit bagi kita untuk bermimpi memiliki TNI yang profesional, dedikatif,
tangguh, pantang menyerah, serta mampu menjaga kedaulatan dan kehormatan negara
dari segala ancaman, tanpa dukungan kesejahteraan bagi prajurit TNI dan
keluarganya.
Kita berharap, di bawah kepemimpinan
Laksamana Agus Suhartono, keenam isu di atas dapat segera dituntaskan guna
merampungkan agenda reformasi TNI, sekaligus mewujudkan TNI yang intelek,
profesional, dan dedikatif. Dirgahayu
TNI! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar