Sabtu, 06 Oktober 2012

TNI yang Intelek, Profesional, dan Dedikatif


TNI yang Intelek, Profesional, dan Dedikatif
Launa ;  Dosen FISIP Universitas Satya Negara Indonesia
SINAR HARAPAN, 05 Oktober 2012


Reformasi yang bermakna transformasi sistemik (baik struktural maupun kultural) telah mengubah wajah negara yang otoriter menjadi (lebih) demokratis. Seluruh komponen bangsa, tak terkecuali Tentara Nasional Indonesia (TNI), harus berada dalam “spirit” perubahan tersebut.

Sepanjang 14 tahun reformasi (1998-2012), TNI telah melakukan berbagai perubahan (paradigma) dan penyesuaian internal.

Secara internal TNI telah melakukan berbagai penataan untuk merespons tantangan dan tuntutan terkait peran dan fungsi pokoknya di era demokratisasi. Respons TNI atas tuntutan reformasi antara lain dilakukan dengan memosisikan diri sebagaimana alat negara di bidang pertahanan dan keamanan yang tunduk pada otoritas (supremasi) sipil.

Salah satu target dari agenda reformasi TNI adalah menjauhkan institusi ini dari berbagai praktik penyimpangan yang terjadi pada masa lampau, sekaligus memastikan terbangunnya watak profesionalisme TNI, yakni TNI yang netral, terlatih, terdidik, nonpolitis, tidak berbisnis, serta patuh pada kebijakan politik negara serta menjunjung tinggi demokrasi, supremasi sipil, dan hak asasi manusia (HAM).

Namun, implementasi atas perubahan peran dan fungsi TNI tersebut, masih menghadapi berbagai kendala, di antaranya terhambatnya pengembangan sumber daya yang intelek, postur pertahanan ideal, penghapusan keterlibatan TNI dalam fungsi nonpertahanan, penghapusan secara penuh fungsi komando teritorial, penuntasan restrukturisasi bisnis TNI, dan doktrin dwifungsi ABRI yang belum sepenuhnya terhapus dari kultur TNI.

Reformasi TNI menuntut konsistensi seluruh prajurit untuk senantiasa siap dan sigap melakukan introspeksi, antisipasi, dan adaptasi terhadap berbagai tantangan taktis dan strategis ke depan. Untuk membuat para prajurit siap melakukan tugas tersebut, tak ada pilihan lain, TNI harus lebih banyak memberikan perhatian bagi pembentukan prajurit yang ”berintegritas dan berkualitas” di semua lini dan tingkat manajemen satuan TNI.

Mengutip Sjafrie Sjamsoeddin (2010), setidaknya terdapat tiga pendekatan yang bisa dikembangkan TNI untuk memantapkan kualitas prajurit. Pertama, meraih peluang pendidikan dan latihan yang dipersyaratkan oleh institusi, dengan mengikuti berbagai jenis pendidikan dan pelatihan serta menyerap esensi ilmu dari program yang diikuti.

Kedua, menjalani berbagai ragam tugas jabatan dengan kesiapan mental menghadapi dinamika pasang surut penugasan. Prajurit TNI jangan membiasakan ”memilih” tugas jabatan karena setiap pekerjaan punya nilai tersendiri. Suatu saat pengalaman ini bisa bermanfaat untuk menjalani tugas berikutnya.

Ketiga, prajurit TNI harus terus mengembangkan diri dengan menambah ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu lain. Tambahan ilmu dibutuhkan untuk menopang keunggulan yang sudah dimiliki prajurit TNI.

Profesional dan Dedikatif

Mewujudkan TNI yang profesional dan dedikatif jelas tak bisa dipisahkan dari pasang surut hubungan sipil-militer era reformasi. Di era kepemimpinan BJ Habibie (1998-1999), Megawati Soekarnoputri (2001-2004), dan Susilo Bambang Yudhoyono (2004-sekarang), relasi sipil-militer relatif harmonis dan berjalan efektif. Namun, di era Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001), hubungan sipil-militer sempat berada pada titik paling nadir.

TNI tak mungkin lagi berperan sebagai kekuatan dominan dalam turbulensi politik Indonesia. Reformasi telah mendorong hadirnya paradigma baru hubungan sipil-militer yang lebih senapas dengan tuntutan demokratisasi.

Mengutip Samuel Huntington (1964), militer profesional harus dicirikan oleh keahlian profesi, semangat korps yang positif, tak terlibat dalam politik praktis, dan mengakui supremasi sipil. Itulah wajah militer yang tumbuh di negara demokrasi.

Beberapa capaian penting dalam reformasi TNI di antaranya jaminan netralitas TNI dalam urusan politik praktis, komitmen politik TNI untuk tidak berafiliasi dengan parpol tertentu, persyaratan mengundurkan diri bagi prajurit TNI yang akan terjun ke dunia politik, dan kerelaan TNI untuk menyerahkan unit-unit bisnis militer kepada pemerintah.

Reformasi TNI sesungguhnya ingin menegaskan kembali jati diri TNI bahwa tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI, serta melindungi rakyat, bangsa, dan seluruh tumpah darah Indonesia dari beragam ancaman dan gangguan, baik potensial maupun aktual. Dari fungsi tersebut dapat dilihat bahwa “watak politik” TNI adalah politik negara, bukan politik partisan.

Surutnya peran politik TNI tak berarti pudarnya daya tawar institusi itu dalam turbulensi politik nasional. Secara formal, TNI memang tak lagi terlibat dalam urusan politik praktis. Namun, secara faktual, peran dan pengaruh TNI tetap diperlukan dalam menopang kebijakan pemerintah sipil di sektor pertahanan dan keamanan (hankam).

Kalau kita urai benang masalah, masih banyak kendala (internal maupun eksternal) yang kerap dihadapi TNI untuk mewujudkan dirinya sebagai tentara profesional.
Pertama, TNI belum mampu sepenuhnya melepaskan diri dari karakter tentara politik, karena di banyak negara, kelahiran dan eksistensi militer terkait erat dengan sejarah evolusi bangsa, yakni hak sejarah dan prinsip kompetensi.

Prinsip hak sejarah dilatari keyakinan bahwa militer telah berkorban dan berperan besar dalam pembentukan bangsa dan mempertahankan keutuhan negara. Sementara itu, prinsip kompetensi dilandasi keyakinan bahwa militer merupakan institusi terbaik yang dimiliki negara untuk mewujudkan kepentingan nasional.

Kedua, belum lengkapnya regulasi politik yang mengatur posisi TNI dan institusi sektor keamanan lainnya dalam konfigurasi politik nasional. UU TNI dan UU Pertahanan Negara, ke depan masih perlu disempurnakan.

Regulasi politik yang lebih lengkap diharapkan dapat memperkuat implementasi prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas di seluruh sektor penyelenggara kebijakan Hankamnas yang vital dan strategis.

Ketiga, transformasi struktural TNI belum dipandang sebagai reformasi sektor keamanan negara secara menyeluruh.

Reformasi TNI, tentu tak sekadar bertujuan menata ulang hubungan sipil-militer. Dalam jangka panjang, harus efektif dalam menciptakan transparansi, akuntabilitas, kinerja dan kontrol demokratis, berlangsungnya good governance dalam sistem pertahanan, serta memperkuat otoritas pemerintahan sipil.

Keempat, masih terfragmentasinya sikap dan komitmen politikus sipil dalam mendukung reformasi TNI (kerap terjebak untuk menarik kembali TNI masuk ke dalam ranah politik).
Seperti terungkap dalam wacana penggunaan hak pilih TNI serta mendorong kebijakan politik, menyiapkan regulasi, dan dukungan anggaran operasional yang memadai di sektor hankam, guna mewujudkan TNI yang profesional, tangguh, modern, dan dedikatif.

Kelima, dukungan sarana pendidikan, pelatihan, dan pengembangan SDM TNI, termasuk dukungan pengembangan industri strategis pendukung pertahanan nasional.
Keenam, peningkatan kesejahteraan prajurit TNI. Sulit bagi kita untuk bermimpi memiliki TNI yang profesional, dedikatif, tangguh, pantang menyerah, serta mampu menjaga kedaulatan dan kehormatan negara dari segala ancaman, tanpa dukungan kesejahteraan bagi prajurit TNI dan keluarganya.

Kita berharap, di bawah kepemimpinan Laksamana Agus Suhartono, keenam isu di atas dapat segera dituntaskan guna merampungkan agenda reformasi TNI, sekaligus mewujudkan TNI yang intelek, profesional, dan dedikatif. Dirgahayu TNI!  ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar