Keberanian
Moral Memimpin Jakarta
Thomas Koten ; Direktur Social Development Center
|
SINAR
HARAPAN, 05 Oktober 2012
Pembangunan dan pengembangan
kota metropolitan Jakarta, terutama pasca-Ali Sadikin (1969-1977), dapat
dikatakan kian menjurus menjadi kota tanpa bentuk, tak beraturan, alias kota
tanpa identitas.
Kemacetan yang semakin sulit terurai, banjir
di musim hujan yang semakin menggenangi banyak wilayah Jakarta, kriminalitas
yang semakin membuncah, jumlah pengangguran yang terus merangkak naik, dan
lain-lain mempertegas wajah Jakarta yang kian berkembang menjadi kota tanpa
identitas itu.
Dalam arti, perkembangan sosok dan wajah
Jakarta sekarang ini terasa semakin sulit untuk bisa disebut, misalnya, sebagai
kota mode, kota seni, serta kota budaya, atau menjadi kota bisnis kelas Asia
atau dunia. Perkembangan Jakarta semakin kalah jauh
dari Beijing, Shanghai, Madrid, Paris, London, New York, Los Angeles, Beirut,
atau sejumlah kota di Asia, seperti Tokyo, Osaka, Hong Kong, dan Mumbai.
Pertanyaan yang perlu diadopsi, mengapa
perkembangan Jakarta semakin mengarah tak beraturan? Jawabannya, karena Jakarta
dari gubernur yang satu ke gubernur yang lain, terutama pasca-Ali Sadikin (Bang
Ali), terkesan tidak memiliki cetak biru yang jelas, dus tidak memiliki
keberanian untuk mengarahkan dan mengembangkan Jakarta sesuai dengan rancangan
atau perencanaan dalam pembangunan kota.
Terutama, para pemimpin Jakarta tidak memilik
keberanian moral dalam menghadapi para pemilik kekuatan finansial yang ada di
Jakarta.
Ingat bahwa Jakarta merupakan ladang
pertempuran ekonomi (economic battleground)
sehingga selama ini siapa yang memiliki kekuatan finansial, dialah yang akan
menentukan arah dan wajah Jakarta.
Siapa pun gubernurnya, ia selalu dikendalikan
oleh para pemilik kekuatan finansial itu. Jakarta yang terus dipadati mal,
megamal, supermal, department store, pusat-pusat perbelanjaan (shopping centers), apartemen, dan
lain-lain yang terus tumbuh tak beraturan adalah indikasinya.
Keberanian Moral
Pertanyaan lain yang perlu
diajukan di sini, mengapa Jakarta berwajah seperti sekarang ini, dengan arah
perkembangannya ditentukan oleh para pemilik kekuatan finansial? Jawaban
sederhananya, karena setiap gubernur, terutama pasca-Bang Ali, tidak memiliki
keberanian moral untuk melakukan kebijakan pembangunan Jakarta tanpa
dipengaruhi para pemilik modal besar.
Ketiadaan keberanian moral akan terus
memelorotkan kredibilitas dan moralitas sang pemimpin Jakarta. Inilah
tragisnya. Namun, mengapa moral atau keberanian moral?
Peter Koestenbaum, pakar di bidang
kepemimpinan dalam Leadership the Inner
Side of Greatness (1991) yang mengklaim faktor kepemimpinan dalam suatu
spektrum moral, mengatakan moralitas kepribadian sang pemimpin sangat menjamin
dan menentukan kredibilitasnya, dus keberaniannya dalam menjalankan
fungsi-fungsi kepemimpinannya.
Dalam arti, kepemimpinan yang berwibawa,
berintegritas, dan memiliki keberanian moral merupakan suatu proses moralitas
untuk mencapai tingkat kesuksesan sang pemimpin. Tanpa ini, seorang pemimpin
akan terus dikenang sebagai pemimpin kerdil dan tidak bermartabat.
Dengan demikian, seorang pemimpin, seperti
pemimpin Jakarta atau pemimpin bangsa dan negara, yang paling dituntut darinya
bukanlah kecerdasannya, melainkan lebih pada keberanian moralnya. Ini karena
kecerdasan bisa menjadi penghambat keberhasilan dalam memimpin. Karena
keputusan-keputusan penting selalu mengandung risiko-risiko yang amat besar.
Keputusan-keputusan yang penuh risiko hanya bisa diambil oleh pemimpin-pemimpin
yang berani secara moral, bukan oleh pemimpin-pemimpin yang hanya cerdas secara
intelektual.
Meminjam teori Bill Newman, yang disitir
Adjie Suradji (2010) tentang elemen penting kepemimpinannya, yang membedakan
seorang pemimpin sejati dengan seorang manajer biasa adalah keberanian.
Keberanian harus didasarkan pada pandangan dan keyakinan benar tanpa keraguan
dan bersedia menerima risiko apa pun.
Seorang pemimpin tanpa keberanian apalagi
hanya menonjolkan populisme bukan pemimpin sejati. Ini karena pemimpin yang mengedepankan
populisme dalam setiap penampilan dan kebijakan selalu tidak berani mengambil
risiko, bekerja menggunakan uang, kekuasaan, dan politik populis atau
pencitraan diri.
Sementara keberanian moral seorang pemimpin
dapat tumbuh dari komitmen yang tinggi dengan visi yang kuat dan bersandar pada
keyakinan yang tidak tergoyahnya atas kebenaran yang diperjuangkan. Keyakinan
yang berkomitmen tinggi menjadi landasan keberanian moral sang pemimpin.
Memang, keberanian moral muncul dari kepribadian yang berkarakter kuat
sementara keraguan datang dari kepribadian yang goyah.
Pemimpin yang ragu-ragu
dan lamban akan menjadi bumerang bagi kekuasaannya, karena sikap ini yang
menjadi lahan empuk bagi para korporat menanamkan pengaruhnya, dan para
koruptor besar serta para konglomerat hitam menggalang dan membangun jaringan
mafia hukum.
Lihat, misalnya, betapa sulitnya seorang
presiden di republik ini memberantas korupsi dan memutus jaringan mafia hukum
yang di dalamnya terlibat para mafioso yang merupakan konglomerat hitam, yang
tidak lain juga anak korporasi.
Contoh yang paling mutakhir, betapa terkesan tidak berdayanya Presiden Yudhoyono dalam
menyelesaikan kasus Lapindo Brantas Inc yang tidak lain merupakan anak
korporasi Grup Bakrie. Ujungnya, nasib korban Lapindo terus digantung dengan
alasan-alasan privat korporasi, seperti kesulitan finansial Lapindo akibat
krisis global atau alasan lain yang dalam kacamata publik tidak masuk akal.
Harapan untuk Jokowi-Ahok
Oleh karena itu, ke depan, sangat diharapkan
adanya keberanian moral gubernur dan wakil gubernur baru, Joko Widodo dan
Basuki Tjahya Purnama (Jokowi-Ahok), dalam melakukan kebijakan pembangunan
Jakarta agar kepemimpinannya dalam membangun Jakarta dan birokrasi
pemerintahannya semakin bermartabat.
Mengacu pada pemikiran filsuf klasik
Aristoteles, politik dan pemerintahan yang bermartabat akan dapat mengubah
rakyat dari sekadar “hidup belaka” (bare
life) menjadi “hidup yang lebih baik” atau “hidup baik” (good life). Martabat pemimpin dan
kekuasaan sang pemimpin memancar dari keberanian moral.
Artinya, Jakarta kini sangat membutuhkan
pemimpin yang tampil dengan kepemimpinan dan kekuasaan yang bermartabat yang
dilandasi keberanian moral, komitmen yang tinggi, serta konsistensi yang tahan
uji dalam menghadapi kerasnya dan beratnya membangun Jakarta.
Dengan kepemimpinan Jakarta seperti ini,
tentu akan bisa menggantungkan impian besar dan berani membayar harga dan
efektif dalam memimpin, serta mengambil keputusan-keputusan penting, penuh
risiko, terutama keputusan yang tegas dalam mengarahkan pembangunan Jakarta
yang lebih baik, lebih maju, dan beradab menuju terciptanya wajah Jakarta yang
bermartabat dan beridentitas.
Karena itu, sangat diharapkan gubernur dan
wakil gubernur yang baru ini memiliki keberanian moral agar dapat membawa
Jakarta menuju perubahan yang diinginkan warga Jakarta, bahkan warga Indonesia
seluruhnya.
Karena Jakarta sebagai ibu kota Republik,
tentu juga menjadi milik dan kebanggaan seluruh warga negeri ini. Perlu
digarisbawahi, terpilihnya Jokowi-Ahok sesungguhnya lebih karena harapan besar
warga Jakarta akan perubahan itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar