Sabtu, 06 Oktober 2012

Keberanian Moral Memimpin Jakarta


Keberanian Moral Memimpin Jakarta
Thomas Koten ;  Direktur Social Development Center
SINAR HARAPAN, 05 Oktober 2012


Pembangunan dan pengembangan kota metropolitan Jakarta, terutama pasca-Ali Sadikin (1969-1977), dapat dikatakan kian menjurus menjadi kota tanpa bentuk, tak beraturan, alias kota tanpa identitas.

Kemacetan yang semakin sulit terurai, banjir di musim hujan yang semakin menggenangi banyak wilayah Jakarta, kriminalitas yang semakin membuncah, jumlah pengangguran yang terus merangkak naik, dan lain-lain mempertegas wajah Jakarta yang kian berkembang menjadi kota tanpa identitas itu.

Dalam arti, perkembangan sosok dan wajah Jakarta sekarang ini terasa semakin sulit untuk bisa disebut, misalnya, sebagai kota mode, kota seni, serta kota budaya, atau menjadi kota bisnis kelas Asia atau dunia. Perkembangan Jakarta semakin kalah jauh dari Beijing, Shanghai, Madrid, Paris, London, New York, Los Angeles, Beirut, atau sejumlah kota di Asia, seperti Tokyo, Osaka, Hong Kong, dan Mumbai.

Pertanyaan yang perlu diadopsi, mengapa perkembangan Jakarta semakin mengarah tak beraturan? Jawabannya, karena Jakarta dari gubernur yang satu ke gubernur yang lain, terutama pasca-Ali Sadikin (Bang Ali), terkesan tidak memiliki cetak biru yang jelas, dus tidak memiliki keberanian untuk mengarahkan dan mengembangkan Jakarta sesuai dengan rancangan atau perencanaan dalam pembangunan kota.

Terutama, para pemimpin Jakarta tidak memilik keberanian moral dalam menghadapi para pemilik kekuatan finansial yang ada di Jakarta.

Ingat bahwa Jakarta merupakan ladang pertempuran ekonomi (economic battleground) sehingga selama ini siapa yang memiliki kekuatan finansial, dialah yang akan menentukan arah dan wajah Jakarta.

Siapa pun gubernurnya, ia selalu dikendalikan oleh para pemilik kekuatan finansial itu. Jakarta yang terus dipadati mal, megamal, supermal, department store, pusat-pusat perbelanjaan (shopping centers), apartemen, dan lain-lain yang terus tumbuh tak beraturan adalah indikasinya.

Keberanian Moral

Pertanyaan lain yang perlu diajukan di sini, mengapa Jakarta berwajah seperti sekarang ini, dengan arah perkembangannya ditentukan oleh para pemilik kekuatan finansial? Jawaban sederhananya, karena setiap gubernur, terutama pasca-Bang Ali, tidak memiliki keberanian moral untuk melakukan kebijakan pembangunan Jakarta tanpa dipengaruhi para pemilik modal besar.

Ketiadaan keberanian moral akan terus memelorotkan kredibilitas dan moralitas sang pemimpin Jakarta. Inilah tragisnya. Namun, mengapa moral atau keberanian moral?
Peter Koestenbaum, pakar di bidang kepemimpinan dalam Leadership the Inner Side of Greatness (1991) yang mengklaim faktor kepemimpinan dalam suatu spektrum moral, mengatakan moralitas kepribadian sang pemimpin sangat menjamin dan menentukan kredibilitasnya, dus keberaniannya dalam menjalankan fungsi-fungsi kepemimpinannya.

Dalam arti, kepemimpinan yang berwibawa, berintegritas, dan memiliki keberanian moral merupakan suatu proses moralitas untuk mencapai tingkat kesuksesan sang pemimpin. Tanpa ini, seorang pemimpin akan terus dikenang sebagai pemimpin kerdil dan tidak bermartabat.

Dengan demikian, seorang pemimpin, seperti pemimpin Jakarta atau pemimpin bangsa dan negara, yang paling dituntut darinya bukanlah kecerdasannya, melainkan lebih pada keberanian moralnya. Ini karena kecerdasan bisa menjadi penghambat keberhasilan dalam memimpin. Karena keputusan-keputusan penting selalu mengandung risiko-risiko yang amat besar. Keputusan-keputusan yang penuh risiko hanya bisa diambil oleh pemimpin-pemimpin yang berani secara moral, bukan oleh pemimpin-pemimpin yang hanya cerdas secara intelektual.

Meminjam teori Bill Newman, yang disitir Adjie Suradji (2010) tentang elemen penting kepemimpinannya, yang membedakan seorang pemimpin sejati dengan seorang manajer biasa adalah keberanian. Keberanian harus didasarkan pada pandangan dan keyakinan benar tanpa keraguan dan bersedia menerima risiko apa pun.

Seorang pemimpin tanpa keberanian apalagi hanya menonjolkan populisme bukan pemimpin sejati. Ini karena pemimpin yang mengedepankan populisme dalam setiap penampilan dan kebijakan selalu tidak berani mengambil risiko, bekerja menggunakan uang, kekuasaan, dan politik populis atau pencitraan diri.

Sementara keberanian moral seorang pemimpin dapat tumbuh dari komitmen yang tinggi dengan visi yang kuat dan bersandar pada keyakinan yang tidak tergoyahnya atas kebenaran yang diperjuangkan. Keyakinan yang berkomitmen tinggi menjadi landasan keberanian moral sang pemimpin. Memang, keberanian moral muncul dari kepribadian yang berkarakter kuat sementara keraguan datang dari kepribadian yang goyah. 

Pemimpin yang ragu-ragu dan lamban akan menjadi bumerang bagi kekuasaannya, karena sikap ini yang menjadi lahan empuk bagi para korporat menanamkan pengaruhnya, dan para koruptor besar serta para konglomerat hitam menggalang dan membangun jaringan mafia hukum.

Lihat, misalnya, betapa sulitnya seorang presiden di republik ini memberantas korupsi dan memutus jaringan mafia hukum yang di dalamnya terlibat para mafioso yang merupakan konglomerat hitam, yang tidak lain juga anak korporasi.

Contoh yang paling mutakhir, betapa terkesan tidak berdayanya Presiden Yudhoyono dalam menyelesaikan kasus Lapindo Brantas Inc yang tidak lain merupakan anak korporasi Grup Bakrie. Ujungnya, nasib korban Lapindo terus digantung dengan alasan-alasan privat korporasi, seperti kesulitan finansial Lapindo akibat krisis global atau alasan lain yang dalam kacamata publik tidak masuk akal.

Harapan untuk Jokowi-Ahok

Oleh karena itu, ke depan, sangat diharapkan adanya keberanian moral gubernur dan wakil gubernur baru, Joko Widodo dan Basuki Tjahya Purnama (Jokowi-Ahok), dalam melakukan kebijakan pembangunan Jakarta agar kepemimpinannya dalam membangun Jakarta dan birokrasi pemerintahannya semakin bermartabat.

Mengacu pada pemikiran filsuf klasik Aristoteles, politik dan pemerintahan yang bermartabat akan dapat mengubah rakyat dari sekadar “hidup belaka” (bare life) menjadi “hidup yang lebih baik” atau “hidup baik” (good life). Martabat pemimpin dan kekuasaan sang pemimpin memancar dari keberanian moral.

Artinya, Jakarta kini sangat membutuhkan pemimpin yang tampil dengan kepemimpinan dan kekuasaan yang bermartabat yang dilandasi keberanian moral, komitmen yang tinggi, serta konsistensi yang tahan uji dalam menghadapi kerasnya dan beratnya membangun Jakarta.

Dengan kepemimpinan Jakarta seperti ini, tentu akan bisa menggantungkan impian besar dan berani membayar harga dan efektif dalam memimpin, serta mengambil keputusan-keputusan penting, penuh risiko, terutama keputusan yang tegas dalam mengarahkan pembangunan Jakarta yang lebih baik, lebih maju, dan beradab menuju terciptanya wajah Jakarta yang bermartabat dan beridentitas.

Karena itu, sangat diharapkan gubernur dan wakil gubernur yang baru ini memiliki keberanian moral agar dapat membawa Jakarta menuju perubahan yang diinginkan warga Jakarta, bahkan warga Indonesia seluruhnya.

Karena Jakarta sebagai ibu kota Republik, tentu juga menjadi milik dan kebanggaan seluruh warga negeri ini. Perlu digarisbawahi, terpilihnya Jokowi-Ahok sesungguhnya lebih karena harapan besar warga Jakarta akan perubahan itu. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar