Refleksi 5
Oktober:
Sudahkah TNI
(Menjadi) Profesional?
Joko Riyanto ; Koordinator Riset Pusat Kajian dan Penelitian Kebangsaan,
Surakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 05 Oktober 2012
SETIAP
5 Oktober menjadi hari yang akan selalu membuat dada tiap prajurit Tentara
Nasional Indonesia (TNI) bergetar. Kehormatan, kebanggaan, dan tanggung jawab
sebagai perisai bayangkari negara memuncak dalam hati mereka. Tanggung jawab
amat mendalam (deep sense of
responsibility) atas keutuhan kedaulatan negara, selain merupakan nilai
dasar etika profesionalisme prajurit, juga telah terbangun melalui rangkaian
panjang pengabdian TNI sejak berdirinya Republik Indonesia.
Ada
pertanyaan mendasar saat TNI memasuki usia ke-67 tahun ini, sudahkah TNI
menjadi profesional? Tiga belas tahun reformasi yang dilakukan, harus diakui,
belum sepenuhnya menjadikan TNI profesional. Walau demikian, upaya TNI keluar
dari kancah politik dan menata diri tetap perlu diapresiasi sebagai prestasi.
Krisis kredibilitas yang pernah dialamatkan ke institusi tentara akibat
tindakan-tindakan di luar norma profesionalisme militer, secara perlahan, telah
mengembalikan rasa percaya diri.
Masih
banyak persoalan sebagai penghambat terbentuknya TNI yang profesional.
Kendala-kendala tersebut secara agak sistematis dapat dijelaskan. Pertama,
masih kuatnya perbedaan persepsi di kalangan internal TNI tentang ancaman
negara. Kecenderungan dalam tubuh TNI Angkatan Darat (AD) masih menganggap
bahwa ancaman terhadap eksistensi negara ialah masalah keamanan dalam negeri
yang dapat memancing campur tangan asing. Adapun TNI Angkatan Udara (AU) dan
Angkatan Laut (AL) menganggap ancaman dari luar justru muncul dari
perbatasan-perbatasan negara RI yang sebagian besar adalah laut dan udara.
Pendapat itu masuk akal mengingat letak geopolitik Indonesia sebagian besar
memang laut. Oleh karena itu, TNI memerlukan kekuatan laut dan udara yang
dilengkapi dengan peralatan canggih.
Kedua,
belum jelasnya persoalan antara bidang pertahanan dan bidang keamanan. Kaburnya
batasan mengenai persoalan tersebut berakibat pada rawannya konfl ik antara
polisi dan tentara. Walaupun persoalan telah diatur dalam Tap MPR No
VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri serta Tap MPR No VII tentang Peran
TNI dan Peran Polri, ketetapan itu masih bersifat sangat umum karena tidak
memuat secara rinci tentang tugas keamanan dan tugas pertahanan.
Tap
No VI/MPR/2000 Pasal 2 ayat 1 berbunyi, ‘TNI adalah alat negara yang berperan
dalam pertahanan negara’. Ayat 2 dari pasal tersebut berbunyi, ‘Kepolisian
Negara RI adalah alat negara yang berperan dalam bidang keamanan’. Adapun ayat
3 tetap pasal yang sama berisi, ‘Dalam hal terdapat keterkaitan kegiatan
pertahanan dan kegiatan keamanan, TNI dan Kepolisian Negara RI harus bekerja
sama dan saling membantu’.
Tidak
rincinya penjelasan konsep pertahanan dan keamanan tidak hanya membuat TNI dan
Polri gamang dalam melakukan tugas, tapi juga merepotkan pemerintahan sipil
dalam menentukan sebuah kasus.
Ketiga,
keterbatasan anggaran yang dimiliki ketiga matra TNI tersebut. Dengan minimnya
anggaran tersebut, rasanya sulit mewujudkan tentara yang betul-betul
profesional. Selain itu, gaji tentara yang sangat tidak memadai telah ikut
andil dalam mengikis kemampuan profesional mereka.
Secara Bertahap
Oleh
karena itu, cita-cita membangun profesionalisme TNI tidak mungkin dilakukan
secara cepat, tetapi harus bertahap. Padahal, menjaga keutuhan wilayah NKRI
yang sebagian besar laut membutuhkan peralatan canggih yang tentunya akan
sangat mahal.
Permasalahan
lain yang menjadi penghambat profesionalisme militer ialah belum adanya
platform yang jelas dan tegas dari kekuatan sipil untuk bersa ma-sama m e m
batasi ruang gerak mili ter dari politik. Naifnya, sebagian dari kekuatan sipil
acap kali m memolitisasi militer dengan m mengajak ke dalam koalisi taktis
mereka. Akibatnya militer sering kali memanfaatkan fragmentasi tersebut untuk
secara perlahan-lahan mengembangkan pengaruh politik.
Pasal
2 huruf d UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI dengan tegas mengamanatkan arti dan
makna tentara profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi
secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin
kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut
prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional
dan hukum internasional.
Profesionalisme
itu terkait dengan reformasi TNI. Setelah 13 tahun berjalan, reformasi di tubuh
TNI belum selesai dan masih jauh dari sempurna. Harus diakui, pencapaiannya
masih jauh dari sasaran yang diharapkan. Penyebabnya ialah TNI hanya merupakan
bagian dari sistem nasional yang tidak mungkin menentukan sendiri langkah
menuju sasaran yang disepakati bersama.
Momentum
ke-67 ini pen HUT ke-67 ini penting bagi negara, TNI, dan kita semua untuk
menuju ter wujudnya TNI yang profesional seperti dicita-citakan Jenderal
Soedirman. Tentara yang tidak berpolitik, tidak berbisnis, taat kepada hukum
lokal, nasional, dan internasional, patuh kepada keputusan otoritas sipil yang
berdaulat, dan menghargai hak asasi manusia.
Untuk
itu, ada lima hal yang perlu dikedepankan dan menjadi tanggung jawab seluruh
komponen bangsa. Pertama, sarana-prasarana lembaga pendidikan dan pelatihan,
terutama profesionalisme para instruktur. Kedua, pembinaan ilmu militer (military science) dengan otoritas
pemberian gelar kesarjanaan ilmu militer pada lembaga pendidikan TNI. Harus ada
program yang terukur dalam jangkauan lima tahun mendatang.
Ketiga, skala
prioritas belanja kebutuhan peralatan militer. Keempat, komitmen terhadap
pengembangan industri strategis pendukung pertahanan nasional. Kelima,
meningkatkan secara bertahap dan berkesinambung an kesejahteraan prajurit TNI.
Menjadi
prajurit TNI profesional yang dicintai rakyat bukanlah hal yang mustahil.
Prajurit TNI profesional itu pribadi yang berkarakter, menyatu bersama rakyat,
ber akhlak mulia, yang keberadaannya menjadi daya tarik lingkungan dan
masyarakatnya. Dengan demikian, rakyat tanpa ragu memberikan dukungan penuh
terhadap setiap tugas dan pengabdian mereka. Kita harus tetap optimistis bahwa
TNI dapat mewujudkan jati diri sebagai tentara rakyat, prajurit pejuang, dan
militer profesional. Dirgahayu TNI. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar