Sabtu, 06 Oktober 2012

Refleksi 5 Oktober: Sudahkah TNI (Menjadi) Profesional?


Refleksi 5 Oktober:
Sudahkah TNI (Menjadi) Profesional?
Joko Riyanto ;  Koordinator Riset Pusat Kajian dan Penelitian Kebangsaan, Surakarta
MEDIA INDONESIA, 05 Oktober 2012


SETIAP 5 Oktober menjadi hari yang akan selalu membuat dada tiap prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) bergetar. Kehormatan, kebanggaan, dan tanggung jawab sebagai perisai bayangkari negara memuncak dalam hati mereka. Tanggung jawab amat mendalam (deep sense of responsibility) atas keutuhan kedaulatan negara, selain merupakan nilai dasar etika profesionalisme prajurit, juga telah terbangun melalui rangkaian panjang pengabdian TNI sejak berdirinya Republik Indonesia.

Ada pertanyaan mendasar saat TNI memasuki usia ke-67 tahun ini, sudahkah TNI menjadi profesional? Tiga belas tahun reformasi yang dilakukan, harus diakui, belum sepenuhnya menjadikan TNI profesional. Walau demikian, upaya TNI keluar dari kancah politik dan menata diri tetap perlu diapresiasi sebagai prestasi. Krisis kredibilitas yang pernah dialamatkan ke institusi tentara akibat tindakan-tindakan di luar norma profesionalisme militer, secara perlahan, telah mengembalikan rasa percaya diri.

Masih banyak persoalan sebagai penghambat terbentuknya TNI yang profesional. Kendala-kendala tersebut secara agak sistematis dapat dijelaskan. Pertama, masih kuatnya perbedaan persepsi di kalangan internal TNI tentang ancaman negara. Kecenderungan dalam tubuh TNI Angkatan Darat (AD) masih menganggap bahwa ancaman terhadap eksistensi negara ialah masalah keamanan dalam negeri yang dapat memancing campur tangan asing. Adapun TNI Angkatan Udara (AU) dan Angkatan Laut (AL) menganggap ancaman dari luar justru muncul dari perbatasan-perbatasan negara RI yang sebagian besar adalah laut dan udara. Pendapat itu masuk akal mengingat letak geopolitik Indonesia sebagian besar memang laut. Oleh karena itu, TNI memerlukan kekuatan laut dan udara yang dilengkapi dengan peralatan canggih.

Kedua, belum jelasnya persoalan antara bidang pertahanan dan bidang keamanan. Kaburnya batasan mengenai persoalan tersebut berakibat pada rawannya konfl ik antara polisi dan tentara. Walaupun persoalan telah diatur dalam Tap MPR No VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri serta Tap MPR No VII tentang Peran TNI dan Peran Polri, ketetapan itu masih bersifat sangat umum karena tidak memuat secara rinci tentang tugas keamanan dan tugas pertahanan.

Tap No VI/MPR/2000 Pasal 2 ayat 1 berbunyi, ‘TNI adalah alat negara yang berperan dalam pertahanan negara’. Ayat 2 dari pasal tersebut berbunyi, ‘Kepolisian Negara RI adalah alat negara yang berperan dalam bidang keamanan’. Adapun ayat 3 tetap pasal yang sama berisi, ‘Dalam hal terdapat keterkaitan kegiatan pertahanan dan kegiatan keamanan, TNI dan Kepolisian Negara RI harus bekerja sama dan saling membantu’.
Tidak rincinya penjelasan konsep pertahanan dan keamanan tidak hanya membuat TNI dan Polri gamang dalam melakukan tugas, tapi juga merepotkan pemerintahan sipil dalam menentukan sebuah kasus.

Ketiga, keterbatasan anggaran yang dimiliki ketiga matra TNI tersebut. Dengan minimnya anggaran tersebut, rasanya sulit mewujudkan tentara yang betul-betul profesional. Selain itu, gaji tentara yang sangat tidak memadai telah ikut andil dalam mengikis kemampuan profesional mereka.

Secara Bertahap

Oleh karena itu, cita-cita membangun profesionalisme TNI tidak mungkin dilakukan secara cepat, tetapi harus bertahap. Padahal, menjaga keutuhan wilayah NKRI yang sebagian besar laut membutuhkan peralatan canggih yang tentunya akan sangat mahal.

Permasalahan lain yang menjadi penghambat profesionalisme militer ialah belum adanya platform yang jelas dan tegas dari kekuatan sipil untuk bersa ma-sama m e m batasi ruang gerak mili ter dari politik. Naifnya, sebagian dari kekuatan sipil acap kali m memolitisasi militer dengan m mengajak ke dalam koalisi taktis mereka. Akibatnya militer sering kali memanfaatkan fragmentasi tersebut untuk secara perlahan-lahan mengembangkan pengaruh politik.

Pasal 2 huruf d UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI dengan tegas mengamanatkan arti dan makna tentara profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional dan hukum internasional.

Profesionalisme itu terkait dengan reformasi TNI. Setelah 13 tahun berjalan, reformasi di tubuh TNI belum selesai dan masih jauh dari sempurna. Harus diakui, pencapaiannya masih jauh dari sasaran yang diharapkan. Penyebabnya ialah TNI hanya merupakan bagian dari sistem nasional yang tidak mungkin menentukan sendiri langkah menuju sasaran yang disepakati bersama.

Momentum ke-67 ini pen HUT ke-67 ini penting bagi negara, TNI, dan kita semua untuk menuju ter wujudnya TNI yang profesional seperti dicita-citakan Jenderal Soedirman. Tentara yang tidak berpolitik, tidak berbisnis, taat kepada hukum lokal, nasional, dan internasional, patuh kepada keputusan otoritas sipil yang berdaulat, dan menghargai hak asasi manusia.

Untuk itu, ada lima hal yang perlu dikedepankan dan menjadi tanggung jawab seluruh komponen bangsa. Pertama, sarana-prasarana lembaga pendidikan dan pelatihan, terutama profesionalisme para instruktur. Kedua, pembinaan ilmu militer (military science) dengan otoritas pemberian gelar kesarjanaan ilmu militer pada lembaga pendidikan TNI. Harus ada program yang terukur dalam jangkauan lima tahun mendatang. 

Ketiga, skala prioritas belanja kebutuhan peralatan militer. Keempat, komitmen terhadap pengembangan industri strategis pendukung pertahanan nasional. Kelima, meningkatkan secara bertahap dan berkesinambung an kesejahteraan prajurit TNI.

Menjadi prajurit TNI profesional yang dicintai rakyat bukanlah hal yang mustahil. Prajurit TNI profesional itu pribadi yang berkarakter, menyatu bersama rakyat, ber akhlak mulia, yang keberadaannya menjadi daya tarik lingkungan dan masyarakatnya. Dengan demikian, rakyat tanpa ragu memberikan dukungan penuh terhadap setiap tugas dan pengabdian mereka. Kita harus tetap optimistis bahwa TNI dapat mewujudkan jati diri sebagai tentara rakyat, prajurit pejuang, dan militer profesional. Dirgahayu TNI. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar